15 | Yang Tak Pernah Kamu Tahu

93 13 12
                                    

Gia masih membaca daftar belanjaan yang dibawanya dari rumah. Pasar tradisional sangat ramai di hari minggu, banyak orang yang berbelanja kebutuhan pokok di sana lebih dari hari biasanya.

"Jagung manisnya dua kilo Bu," pinta Gia.

Penjual itu mengambilkan apa yang Gia pinta. Setelah membayar, Gia kembali berjalan dan mencari yang ia perlukan sesuai catatannya. Ia berhenti di salah satu penjual lainnya.

"Saya kan sudah minta harganya agak dimurahkan, belanjaan saya banyak ini Pak. Hanya kurang lima ribu saja, karena uang saya pas-pasan," pinta seorang Ibu yang berdiri di samping Gia.

"Tidak bisa Bu, itu sudah harga pas. Lagipula masa Ibu tidak punya uang? Dompet Ibu saja besar seperti itu," penjual sayur itu tak mau mengerti.

"Demi Allah Pak, saya bawa uangnya pas-pasan. Makanya saya minta kurang lima ribu rupiah saja, karena uang saya hanya ada segini," jelas Ibu tersebut.

"Tidak bisa Bu! Pokoknya Ibu harus bayar sesuai dengan jumlah harga belanjaan Ibu!" tegas penjual sayur itu.

"Sudah Pak, ikhlaskan saja. Hanya lima ribu rupiah, balasan untuk bantuan Bapak karena memaklumi kekurangan uang dari Ibu ini akan berkali-kali lipat di mata Allah. Bapak tidak perlu takut, karena rezeki sudah di atur oleh Allah. Saat ini Bapak menerima yang kurang, di lain waktu Bapak mungkin menerima yang lebih," saran Gia.

Bapak penjual sayur itu pun akhirnya mengikhlaskan lima ribu rupiahnya dan membiarkan si Ibu tadi membayar apa adanya.

"Mbak, terima kasih ya karena sudah membantu saya menjelaskan pada Bapak ini," ucapnya.

"Sama-sama Bu, kita sesama manusia memang diharuskan untuk saling membantu saat menghadapi keadaan yang sulit," balas Gia.

"Mbak mau pulang? Bagaimana kalau saya antar sekalian?" tawar Ibu tersebut.

"Tidak usah Bu, saya tidak mau merepotkan. Lagipula belanjaan saya banyak, nanti Ibu malah repot karena mengantar saya," tolak Gia baik-baik.

"Tidak repot sama sekali Mbak, Insya Allah saya ikhlas mengantar Mbak sampai di rumah. Oh ya, perkenalkan nama saya Halima," Ibu itu mengulurkan tangannya pada Gia.

Gia menyambutnya dengan sangat hangat.

"Nama saya Gia Bu, saya mengajar di Madrasah Aliyah," ujar Gia.

"Wah, anda seorang Guru? Pantas saja anda sangat mengerti saat menjelaskan pada Bapak penjual sayur tadi," Halima begitu takjub.

"Alhamdulillah Bu, mungkin karena saya terbiasa menjelaskan pada anak-anak, jadi saya bisa menjelaskan pada Bapak itu untuk memaklumi keadaan Ibu Halima, tadi."

"Masya Allah, mari Mbak Gia saya antar pulang."

Halima benar-benar mengantar Gia pulang sampai ke depan rumahnya. Lastri meletakkan selang air saat melihat sebuah mobil masuk ke halaman rumahnya. Gia turun bersama Halima dari dalam mobil itu.

"Assalamu'alaikum Mi, kenalkan ini Bu Halima. Kami tidak sengaja bertemu di pasar tadi," ujar Gia.

"Wa'alaikumsalam, silahkan masuk dulu Bu Halima," Lastri mempersilahkan.

"Terima kasih Bu, mungkin lain kali. Saya mengantar Mbak Gia karena ingin berterima kasih atas bantuannya saat di pasar tadi. Kalau Mbak Gia tidak ada mungkin saya akan berdebat panjang dengan Bapak penjual sayur hanya karena kekurangan uang lima ribu rupiah," jelas Halima.

"Masya Allah, sungguh kebetulan yang sangat tidak terduga," ujar Lastri.

Halima mengeluarkan sebuah kartu nama dan memberikannya pada Lastri.

"Itu kartu nama saya Bu, kalau ada apa-apa atau ada hal yang mendesak, Ibu bisa menghubungi saya kapanpun. Insya Allah saya akan membantu sebisa mungkin jika ada hal yang darurat," ujar Halima.

Lastri membaca kartu nama itu bersama Gia yang masih berdiri di sampingnya.

"Halima Mawardi, Kepala kejaksaan tinggi. Masya Allah, Ibu seorang jaksa?" tanya Lastri.

"Betul Bu. Kalau begitu, saya pamit dulu ya Bu. Insya Allah kalau ada waktu saya akan benar-benar mampir untuk bertamu," pamit Halima.

"Baik Bu. Terima kasih atas kunjungannya ke rumah kami. Kami akan menyambut Ibu jika bertamu nanti, Insya Allah," janji Lastri.

"Alhamdulillah. Baik kalau begitu Bu, saya permisi dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab Lastri dan Gia.

Setelah Halima pergi, Gia dan Lastri bekerja sama membawa belanjaan ke dalam rumah. Mereka berdua segera kembali pada kegiatan hari itu.

"Bagaimana rencana pernikahanmu Neng?" tanya Lastri.

Gia tersenyum dari balik niqob-nya.

"Aku hanya menerima saja Mi, selebihnya ya terserah Ummi dan Abi," jawab Gia.

"Abimu sedang ke percetakan untuk mengambil undangan pernikahan kalian. Insya Allah kalau tidak ada halangan besok lusa undangannya sudah bisa disebar," ujar Lastri.

"Alhamdulillah, aku akan mengabari Umminya Akh Fakhrul setelah selesai memasak ya Mi," pinta Gia.

"Iya, kamu boleh mengabarinya."

* * *

Rahmi sedang membersihkan piring di dalam lemari, Farid menghampirinya untuk duduk di dekatnya.

"Akh Fakhrul barusan telepon aku Bu," ujar Farid.

"Apa katanya? Undangan pernikahan mereka sudah siap?" tebak Rahmi.

Farid menangkap kekecewaan dari raut wajah Ibunya dan juga nada suaranya. Ia kembali menundukkan kepala untuk menatap lantai yang dipijaknya.

"Seharusnya itu adalah kamu. Kalau saja kamu tidak sombong dan tidak tergila-gila pada Sarah, maka kamu yang akan bersanding dengan Neng Gia saat ini. Tapi apa boleh dikata, kamu lebih memilih jurang penuh lumpur daripada jembatan yang begitu kokoh," ujar Rahmi sambil menahan airmatanya.

"Maafkan aku Bu. Aku memang salah waktu itu, seharusnya aku mengikuti apa yang Bapak dan Ibu katakan. Tapi aku malah mengambil keputusan sendiri dan menyesatkan jalanku," Farid mengakui kesalahannya.

"Nasi sudah jadi bubur. Sekarang kamu meminta maaf seperti apapun, tidak akan mengubah kenyataan kalau Ibu sudah kecewa."

"Bu, aku menyesal. Tolong jangan tambah daftar penyesalanku dengan kekecewaan Ibu yang tidak akan berakhir. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya Bu," pinta Farid.

"Dengan cara apa kamu mau memperbaikinya? Apa kamu tahu kalau Ibu sangat ingin kamu menikah dengan Neng Gia? Apa kamu tahu kalau semua kebaikannya membuat Ibu sayang sama dia? Apa kamu tahu kalau Ibumu ini belum pernah terhina lebih dari saat keluarganya Sarah menghina Ibu ketika datang ke rumahnya? Apa kamu tahu itu?" tanya Rahmi, meluapkan semua yang dipendamnya selama satu tahun belakangan.

Farid menangis mendengar betapa besar rasa sakit hati Ibunya saat datang ke rumah keluarga Sarah. Ia benar-benar tak menginginkan hal itu dan ia sangat tak menduganya.

"Kamu tidak tahu bagaimana mereka memperlakukan Ibu dan Bapakmu ini! Kamu tidak tahu kalau kami bahkan harus menahan rasa haus selama dua jam penuh hanya karena mereka merasa tak menginginkan kehadiran kami di rumahnya sehingga merasa tak perlu memberi minum! Kamu tidak tahu! Yang kamu tahu hanya jatuh cinta pada Sarah dan tergila-gila sampai menolak perjodohan dengan Neng Gia! Kamu hanya tahu bagaimana cara membuang sebuah berlian tapi tidak tahu bagaimana cara mendapatkannya kembali! Kamu memang tidak tahu apa-apa, karena bukan kamu yang menghadapi semua itu, melainkan kami!" ungkap Rahmi sambil menangis di hadapan putranya sendiri.

Agus keluar dari dalam kamar dan melihat bagaimana Istrinya sedang begitu terpuruk ketika meluapkan rasa kecewanya. Ia mendekat lalu membujuknya untuk pergi meninggalkan Farid.

'Ya Allah, mengapa aku harus terpuruk sampai sedalam ini?'

* * *

Berserah Kepada-Nya [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang