5 | Meragu

116 12 12
                                    

Fakhrul dan Farid duduk bersampingan di dalam masjid usai Shalat Maghrib. Kajian malam itu akan dimulai sebentar lagi. Jama'ah yang datang begitu banyak, hingga masjid itu sangat penuh.

"Penceramah malam ini Kiayi Haji Amir Muttaqin," ujar Fakhrul.

Farid menatap ke arah Pria itu.

"Abinya Ukhti Safira?"

"Iya, benar sekali," jawab Fakhrul

Kiayi Amir pun naik ke atas mimbar setelah pembacaan ayat suci Al-Qur'an selesai.

"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh."

"Wa'alaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh," jawab seluruh jama'ah yang hadir.

"Alhamdulillahi rabbil'aalamiin, washsholaatu wassalaamu 'ala asyrofil anbiyaa i walmursaliin, wa'alaa alihi washohbihii ajma'iin ammaba'du. Robbisrohli shodri wayassirli amri wahlul uqdatam mil-lisani yafqohu qouli."

Kiayi Amir menatap ke arah seluruh jama'ah Pria yang ada di hadapannya seraya tersenyum.

"Apa itu do'a?" tanyanya, "do'a adalah ibadah yang hakiki karena menunjukkan kepasrahan diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan berpaling dari selain-Nya."

Fakhrul melirik ke arah Farid yang terlihat begitu serius mendengarkan kajian.

"Secara keseluruhan, kata do'a dalam Al-Qur’an diulang sebanyak dua ratus tiga belas kali dalam lima puluh lima surat dan di dalam Al-Qur’an, paling tidak ada enam makna do'a yang berbeda-beda," ujar Kiayi Amir.

Beberapa jama'ah yang terlambat datang segera duduk di barisan paling belakang.

"Pertama, dalam surat Al-A'raf ayat seratus sembilan puluh empat di sebutkan bahwa kata do'a yang tercantum dalam ayat ini bermakna Ibadah. Innallaziina tad'uuna ming duunillaahi 'ibaadun amsaalukum fad'uuhum falyastajiibuu lakum ing kungtum shoodiqiin. Artinya,'Sesungguhnya mereka berhala-berhala yang kamu seru selain Allah adalah makhluk yang lemah yang serupa juga dengan kamu. Maka, serulah mereka lalu biarkanlah mereka memperkenankan permintaanmu, jika kamu orang yang benar."

Beberapa jama'ah yang masih bersekolah terlihat mencatat pada buku di barisan depan.

"Dalam ayat itu Allah menentang orang-orang musyrik yang menyembah selain Allah, yang membuat permintaan selain kepada-Nya, karena berhala-berhala yang mereka sembah tidak dapat memberi manfaat apapun dan tidak mampu memperkenankan permintaan siapapun," jelas Kiayi Amir, "kedua, dalam surat Al-A'raf ayat seratus sembilan puluh tiga disebutkan bahwa kata do'a dalam ayat ini memiliki makna seruan. Yang mana ketika seseorang berdo'a maka ia telah menyeru Tuhannya untuk mengabulkan hajat yang dimilikinya."

Fakhrul menyenggol lengan Farid agar menoleh ke arahnya.

"Kamu mengerti dengan penjelasannya, kan?" bisik Fakhrul.

"Insya Allah Akh," balas Farid yang juga ikut berbisik.

"Wa ing tad'uuhum ilal hudaa laa yattabi'uukum, sawaaa'un 'alaikum a da'autumuuhum am angtum shoomituun, yang artinya dan jika kamu wahai orang-orang musyrik menyerunya berhala-berhala untuk memberi petunjuk kepadamu, tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruanmu, sama saja hasilnya buat kamu menyeru mereka atau berdiam diri. Nah menurut pendapat Thahir Ibnu Asyur bahwa do'a pada ayat tersebut adalah seruan yang ditujukan kepada kaum muslimin, seandainya kaum muslimin mengajak para penyembah berhala itu menuju jalan Allah dan beriman serta beramal shaleh, ia yakin bahwa sebagian penyembah berhala itu tidak mau mengikuti seruan kaum muslim, terlepas dari mengajak ataupun tidak mengajaknya."

"Luar biasa, aku tidak akan sanggup jika harus diminta menyampaikan kajian seperti itu. Aku masih sering mengandalkan buku panduan untuk menyampaikan suatu materi," ujar Farid.

"Belajar. Kalau tidak belajar ya mana bisa," balas Fakhrul sambil terkekeh pelan.

Farid tersenyum malu mendengar apa yang Fakhrul katakan. Usianya sudah hampir menginjak angka dua puluh lima tahun, rasanya ia sudah mulai kesulitan jika harus terus belajar seperti anak sekolah lagi.

"Sebaiknya kita tetap berada di posisi sebagai penerima ceramah saja Akh, saya kurang fokus saat ini kalau harus mendalami dunia penyampaian," ujar Farid.

"Kenapa tidak Akh? Namanya belajar itu tidak mesti harus benar-benar fokus. Belajar sedikit demi sedikit, lama-lama kita akan terbiasa menyampaikan seperti yang Kiayi Amir lakukan saat ini," Fakhrul berusaha meyakinkan.

"Saya tahu Akh, tapi saya rasa kesanggupan saya yang masih harus dipertanyakan."

"Insya Allah, nanti juga pasti kamu bisa," Fakhrul tetap memberi dukungan.

* * *

Farid memarkirkan motornya di halaman rumah setelah selesai menghadiri kajian malam. Agus membuka pintu sebelum sempat Farid mengetuknya.

"Eh, Assalamu'alaikum Pak," Farid jadi serba salah.

"Wa'alaikumsalam. Sudah selesai kajian malamnya?" tanya Agus.

"Alhamdulillah sudah Pak," jawab Farid.

Agus terlihat menghela nafasnya pelan-pelan.

"Bapak mau ngomong sama kamu."

Farid duduk di sebelah Ayahnya, ia memilih untuk terdiam.

"Apa kamu yakin akan bisa menerima kehadiran Neng Gia jika Bapak sama Ibu mengkhitbahnya lagi? Bapak menanyakan ini karena Bapak tahu betul kalau kamu belum sepenuhnya melupakan Sarah," Agus mencoba menggali perasaan Putranya malam itu.

"Pak, saat Sarah mempermalukan aku di depan umum beberapa bulan yang lalu, di saat itu pula perasaan cintaku untuk dia sudah padam tak bersisa. Dia menghancurkan perasaanku dan itu tidak akan bisa diperbaiki sekalipun dia mungkin saja akan meminta aku mencintainya lagi. Aku sudah tidak punya perasaan apapun padanya, Allah saksiku Pak," jelas Farid.

"Bapak sudah sering mendengar hal itu dari mulut kamu Nak. Bapak tahu itu. Yang Bapak ingin tahu adalah, apakah kami bisa menerima kehadiran Neng Gia sebagai Istrimu apabila kalian menikah nanti? Neng Gia belum tentu memiliki kecantikan yang sebanding dengan Sarah, apakah hatimu bisa menerima kekurangannya jika kalian memang benar-benar akan menikah?" Agus mempertegas maksudnya.

Farid terdiam, ia memikirkan dengan keras pertanyaan itu di dalam benaknya. Ayahnya benar, Gia belum tentu memiliki kecantikan yang sebanding dengan kecantikan Sarah. Selama ini ia memang hanya mengutamakan paras ketimbang akhlak ketika menilai seseorang.

Tapi apakah standar kecantikan itu penting untuk diperdebatkan saat ini setelah Sarah mempermalukannya, setelah Sarah menghancurkan perasaannya, dan setelah Sarah pergi menikahi laki-laki lain? Apakah masih penting?

Agus merangkul pundak Putranya dengan erat.

"Jika di hatimu masih ada setitik saja keraguan mengenai Neng Gia, maka Bapak dan Ibu tidak akan mengkhitbahnya untukmu. Dia terlalu baik untuk terus-menerus dipermainkan oleh Pria yang di hatinya hanya dipenuhi oleh syahwat duniawi. Dia berhak mendapatkan Pria yang memiliki hati bersih agar bisa menerima kehadirannya dengan semua kekurangan yang dia miliki," ujar Agus.

Farid tetap saja tak mengatakan apapun, membuat Agus semakin yakin kalau Putranya memang tak bisa lepas dari bayang-bayang Sarah. Sarah memang luar biasa, Wanita itu memiliki kecantikan yang selalu di agungkan oleh Pria manapun yang hatinya tidak bersih. Tapi Sarah juga manusia, yang di mana ketika ia memiliki kelebihan maka ia juga memiliki kekurangan. Kekurangan Sarah hanya satu, akhlak!

"Ayo masuk, terus memikirkan Sarah dan standar kecantikannya yang semu takkan membuat hidupmu bahagia," ajak Agus, dengan keputusan bulat di hatinya bahwa Putranya memang tidak pantas untuk Gia.

* * *

Berserah Kepada-Nya [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang