Gia termenung di atas tempat tidurnya, di luar masih terdengar tangisan Ibunya yang mencoba ikhlas dengan apa yang terjadi. Rahmi masuk ke dalam kamar Gia sambil membawa bubur di atas baki, ia mendekati tempat tidur.
"Neng, makan dulu ya. Jangan diam terus seperti ini, nanti Neng Gia sakit," bujuk Rahmi.
Gia menatap ke arah Rahmi dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.
"Bu...," bisik Gia.
Rahmi pun meraih Gia ke dalam pelukannya.
"Menangis saja Neng, tumpahkan semuanya sama Ibu. Jangan ragu-ragu, bilang semuanya sama Ibu. Jangan dipendam sendirian," ujar Rahmi sambil mendekap tubuh Gia.
"Kenapa begini Bu? Apa salahku? Kenapa mereka begitu tega memfitnahku seperti ini? Kenapa?" tanya Gia di tengah isak tangisnya.
"Sabar ya Neng, pasti akan ada jalan keluarnya. Neng Gia pasti akan menikah dengan Nak Fakhrul dan mendapat restu kembali dari Bu Yuni," bujuk Rahmi sambil mengusap punggung Gia dengan lembut.
"Nggak Bu, aku yang tidak akan mau lagi bersanding dengan Akh Fakhrul. Aku tidak mau lagi berurusan dengan orang yang tidak bisa mempercayaiku. Hatiku sudah hancur Bu, di saat aku butuh dukungan, mereka malah berpaling dariku dan merasa jijik terhadapku. Aku tidak mau ambil resiko, kalau suatu hari nanti akan ada lagi fitnah yang datang padaku lalu aku kembali ditinggalkan seperti saat ini. Aku lebih baik memilih ikut menyerah dan tidak lagi berharap pada hal itu Bu. Aku tidak mau lagi melangkah ke arah itu, aku tidak mau," ungkap Gia.
"Tapi ini masih bisa diperbaiki Neng, ini masih bisa kita perbaiki. Ibu mendukung kamu, kamu jangan menyerah," Rahmi terus memberi semangat pada Gia.
"Syukron Bu, tapi keputusanku juga sudah bulat. Aku tidak mau lagi menatap ke arah itu. Aku tidak mau bersanding dengan orang yang tidak bisa mempercayaiku," putus Gia, mantap.
Rahmi ikut menangis bersama Gia malam itu, mereka menumpah segalanya yang begitu mengganjal di dalam hati masing-masing.
* * *
Lastri memegangi kartu nama yang tengah dipandanginya sejak tadi dengan tubuh yang gemetar luar biasa. Ia menutup pintu kamarnya dan menguncinya rapat-rapat. Ia menekan angka pada ponselnya untuk menghubungi orang yang memberikan kartu nama itu padanya.
"Assalamu'alaikum, dengan siapa ini?" tanya Halima saat mengangkat teleponnya yang berdering.
"Wa'alaikumsalam Bu Halima, ini saya Lastri, Ibunya Neng Gia," jawab Lastri.
"Oh Bu Lastri, apa kabar Bu? Apakah semuanya baik-baik saja?" Halima mendengar suara isakan di seberang sana.
"Bu Halima, apakah saya bisa meminta bantuan Bu?"
"Insya Allah bisa Bu, selama saya mampu maka saya akan bantu. Katakan Bu Lastri, ada apa?" Halima berusaha untuk mencoba membuat Lastri tenang.
"Neng Gia Bu, Neng Gia difitnah menggelapkan dana keuangan sekolah oleh Kepala Sekolah di tempatnya mengajar. Uang itu tiba-tiba masuk ke rekening milik Neng Gia tanpa tahu asal muasalnya Bu. Pernikahan Neng Gia yang hanya tinggal beberapa hari lagi akhirnya dibatalkan oleh Ibu dari calon menantu saya, semuanya hancur akibat fitnah itu Bu," Lastri tak mampu menahan airmatanya.
Halima segera mencatat keterangan itu di atas sebuah kertas yang ada di meja kerjanya.
"Nama Kepala Sekolahnya siapa Bu?" tanya Halima.
"Mila, Ibu Mila namanya," jawab Lastri.
"Baik Bu Lastri, sekarang Bu Lastri tenang dulu dan biarkan saya menangani masalah ini. Saya akan kabari secepatnya," ujar Halima.
"Baik Bu Halima, saya sangat berterima kasih sebelumnya atas bantuan Ibu. Saya akan membayar semuanya Bu, Insya Allah," janji Lastri.
Halima tersenyum.
"Bu Lastri, tidak ada yang perlu dibayar. Ibu tenang saja, saya akan membebaskan Mbak Gia dari fitnah keji dan kotor itu secepat mungkin," Halima meyakinkan.
"Baik Bu, saya akan menunggu."
Lastri terus menangis di dalam kamarnya dan mengingat nasib Gia yang kembali merasakan pahitnya sebuah rencana pernikahan yang tidak pernah terjadi. Ini bukan pertama kalinya, ini sudah kesekian kalinya, dan Gia sudah terlalu sering menghadapi situasi seperti ini. Membuat Lastri takut kalau Gia akan berhenti memiliki harapan untuk membangun keluarga.
Tok..., tok..., tok...!!!
Lastri menghapus airmatanya saat suara ketukan pintu itu terdengar. Ia beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas membuka pintu.
Farid. Wajah itu yang dilihat Lastri pertama kali saat pintu kamarnya terbuka. Ismail ada di sampingnya, berdiri sambil menepuk-nepuk punggung pemuda itu seakan berusaha memberikan kekuatan.
"Mi, saya tahu kalau saya pernah berbuat salah dengan menolak perjodohan yang Ummi dan Abi ulurkan pada keluarga saya. Saya tahu kalau saya sangat bodoh ketika memalingkan wajah hanya untuk keinginan saya yang semu. Tapi hari ini saya tidak akan pernah mengulangi hal yang sama lagi, saya tidak akan pernah berpaling lagi dari Ukhti Gia. Saya berjanji di hadapan Allah bahwa saya akan menjaganya dengan sepenuh hati selama sisa umur saya, dan Insya Allah saya tidak akan pernah membuatnya menderita dan menangis lagi Mi. Saya janji," ujar Farid dengan mantap.
Lastri kembali menangis. Ismail tahu kalau Istrinya juga sangat menderita saat itu, atas apa yang terjadi berulang-ulang pada putri mereka.
"Apa kamu sudah tanya pada Neng Gia?" tanya Lastri.
"Belum Mi, saya butuh restu dari Ummi lebih dulu sebelum memintanya sendiri pada Ukhti Gia," jawab Farid, jujur.
Lastri pun menganggukan kepalanya.
"Ummi selalu merestui Nak, apapun yang akan menjadi kebahagiaan Neng Gia, Ummi tidak akan pernah menghalang-halangi. Sekarang kamu hanya perlu bertanya pada Neng Gia, apakah dia bersedia menikah denganmu," ujar Lastri sambil terus menyeka airmatanya yang tak kunjung berhenti.
Farid menganggukan kepalanya lalu hendak berbalik menuju ke arah kamar Gia.
"Saya bersedia Akh Farid. Saya bersedia menikah dengan Akh Farid," ujar Gia yang ternyata sudah berdiri di ujung ruangan bersama Rahmi yang terus merangkulnya.
Ismail dan Lastri saling menggenggam tangan saat mendengar jawaban putri mereka.
"Hanya saja, saya tidak mau menunggu hari esok untuk mewujudkan hal itu. Saya mau sore ini juga menikah dengan Akh Farid agar tidak ada lagi halangan yang akan terjadi. Saya harap Akh Farid mengerti akan keinginan saya saat ini. Setelah semua yang saya lalui, setelah semua rencana pernikahan yang terus saja gagal, saya tidak mau menunda-nunda apapun lagi. Nikahi saya sore ini, itu adalah satu-satunya syarat yang harus Akh Farid penuhi," pinta Gia dengan penjelasan yang panjang.
Farid sekali lagi menganggukan kepalanya dengan mantap.
"Baiklah jika itu adalah syarat yang Ukhti Gia ajukan. Sore ini, ba'da shalat ashar saya akan menikahi Ukhti Gia. Saya juga tidak akan menunggu hari esok agar hal itu terjadi. Saya tidak ingin Ukhti Gia ragu akan keseriusan saya kali ini. Insya Allah, saya akan menunaikannya hari ini juga," Farid memberi jawaban.
"Alhamdulillah Ya Allah..., Alhamdulillah...," Lastri pun melakukan sujud syukur untuk melepas semua beban yang tertanggung di pundaknya.
'Allah tidak tidur. Semua hal yang kau anggap awal dari sebuah bencana selalu bisa berubah menjadi kebaikan jika kau percaya kepada-Nya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?'
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Berserah Kepada-Nya [PROSES PENERBITAN]
Espiritual[COMPLETED] Apa yang bisa kuperbuat jika Allah tak menakdirkan hatimu untuk menerima kehadiranku? Selain ikhlas, aku tak bisa melakukan apa-apa lagi. Bagiku, Allah pasti sudah menentukan jalan yang terbaik dalam takdirnya, untukmu dan juga untukku. ...