Padanya, wanita sepuh berusia 65 tahun itu aku kembali membentak. Jika di antara hidup dan mati ada pilihan, maka malam ini aku tengah membicarakan hal itu. Disepakati atau tidak, aku tetap akan melakukannya. Kuliah! Aku harus.
"Cari yang gratis! Udah tahu hidup kita susah, masih aja ngotot pengen kuliah. Bi Nining oge cuma sekolah paket bisa jadi asisten dokter," cerca Nenek padaku. Di klinik, kata hati menggerutu saat hal ini terus terulang.
"Iya." Aku ingin beranjak, tapi rasanya sulit. Gratis? Ah! Bidik misiku ditolak gara-gara pendataan yang enggak benar. Lelah memikirkan, aku merobohkan badan ke lantai karena bokongku sudah tak kuat menahan. Adem, lantai rumah selalu sedingin ini, kapan pun. "Makan! Bisi lapar," celetuk Nenek sambil berlalu. Aku tak acuh.
Gawaiku bergetar. Tadi siang saat laporan bidik misi keluar aku langsung memberi tahu pihak sekolah lewat WhatsApp dan inilah balasannya.
[Datang ke sekolah, ya, ke Bu Didah.] Hida Office
***
Kantor guru itu bertengger di bagian paling ujung di lantai dua. Luas ruangannya hampir sama dengan kelas yang sering kupakai. Yang membedakan hanya dari wangi semerbak yang menusuk ketika pertama kali memasukinya. Bukan lemon. Tak tahu apa nama aroma itu, tetapi aku menyukainya. Anggap saja itu wangi kedamaian batin.
Lima belas menit berlalu. Namun, sosok yang memanggilku ke sini, ibu kepala sekolah yang anggun, belum muncul juga. Meninggalkan diriku seorang diri. Ayolah! Ini di kantor guru, ada berkas-berkas penting yang ditakutkan hilang dan pastinya aku jadi tersangka utama atau korban salah tangkap karena berdiam di sini sendirian. Lebih parahnya, di belakangku ada loker para guru yang bisa jadi, salah satu isinya menyimpan segepok uang. Ups! Ok, ini bukan drama, tapi sekali lagi ini enggak asyik. Setidaknya bisakah sediakan makanan ringan atau minuman yang menemani penantian ini?
"Cie, nungguin ...," cibir Pak Abdullah, yang menjadi pengawas UN MTs. Kelihatan banget apa, ya, aku lagi tunggu orang?
"Eh, Pak Abe!" sapaku seraya berdiri kemudian mengangguk dengan menampilkan senyum, sekadar untuk menunjukkan rasa hormat atau mungkin ini refleks yang biasa aku lakukan pada seseorang bertitel guru.
"Nuju naon?" Dia melangkah melewatiku, tepat berjalan ke arah belakang punggungku, membuka loker yang bertajuk namanya. Pertanyaan tadi jelas bukan basa-basi karena setelah itu dia duduk di meja kerjanya. Tepat di samping kiriku, di meja kedua bagian tengah. Syukurlah, setidaknya aku aman dari tuduhan mengerikan yang terpikirkan tadi.
"Dipanggil sama Bu Didah, Pak."
"Bu Didah? Eh, beliau mah masih asyik ngobrol sama guru-guru yang lain. Oh iya, dilanjut ke mana? UN, kan, udah beres? Udah persiapan?" cecarnya dengan nada santai.
"Wah! Lama pasti, ya." Aku menghela napas untuk menjawab pertanyaan selanjutnya. "Enggak kayaknya, Pak. Bidik misi Hayu ditolak."
Padat. Itu jawaban yang memang sudah seharusnya. Aku melihat Pak Abe sekilas, mata kami bertemu dan dia tersenyum. Selanjutnya, dia mengalihkan pandangan ke notebook-nya dan kembali bertanya, "Berarti kerja atau enggak ... nikah?"
"Hehe." Aku nyengir ditambah nyinyir. Apaan sih, Pak? Masa nikah?
Bu Didah datang tepat waktu. Tanpa basa-basi wanita beranak tiga itu mengajakku ke ruangannya, ruangan super mungil yang pernah aku impikan.
Kami mulai berdiskusi setelah beliau menyuruhku duduk. Bu Didah menjelaskan secara rinci prospek kerja bidik misi, bantuan dari pemerintah untuk siswa kurang mampu. Tak luput aku juga menjelaskan tragedi kenapa bidik misiku ditolak. Dia hanya tersenyum ramah seperti biasa, memang apa lagi yang harus dia lakukan. Kepala sekolah itu bukan tulang punggung keluarga, masih bagus beliau mau turun tangan membantuku, menggantikan wali kelas yang sedang cuti.
Aku pamit undur diri, mencium tangannya untuk hari-hari terakhir menjelang perpisahan. Dia berpesan, pesan yang selalu disampaikan pada kami setiap kali pembelajarannya selesai. Meski selalu sama, tetapi kadang aku lupa untuk menerapkan nasihat itu. Aku tersenyum menanggapi, kemudian berlalu setelah mengucapkan salam.
"Hayu, ini buat bekel." Dia memasukan amplop ke saku rok abuku. Kenapa aku bisa tahu itu amplop? Mataku yang baru minus satu, masih bisa membedakan antara uang dan amplop tanpa harus mengenakan kacamata. Aku mengangguk dan lirih menjawab, "Terima kasih."
"Hati-hati, Hay. Oiya, perpisahan dimajuin udah tahu, kan?"
"Iya, Bu. Udah, kok, dari anak-anak." Aku mengangguk lagi.
Hayu ... kenapa namaku segitunya banget, Sherly Lituhayu, euh. Aku melewati Pak Abe yang masih berkutat. Jam 10.14 WIB saat aku melihat jam digital di dinding ruangan. "Pak, Hayu pulang," pamitku.
"Hati-hati, Hay."
Aku berjalan cepat, memandang sekolah ini lama-lama membuatku ingin menjadi tua dengan cepat. Aku stres. Bukan karena kuliah atau sekolah ini memiliki kesan buruk. Percayalah! Aku bisa mendaras Al-Qur'an dengan baik berkat bersekolah di sini, MA Amal Islami. Akan tetapi, rasa minder itu yang buat nyaliku menciut jika harus bertemu teman-teman atau adik-adik kelas.
Angkot hijau tua nomer ... aku lupa, lewat di depan sekolah. Aku buru-buru masuk dan bersandar di sana, bagian paling dalam. Merebahkan diriku dari sesak yang terjadi lagi. Masa sulitku di MTs yang meski akhirnya bisa diteruskan ke MA seakan-akan terulang. Bergelut lagi dengan takdir yang aku pun tak tahu, apakah masih akan membantu atau tidak.
Baru jam sebelas siang, tetapi Sukabumi zaman kiwari benar-benar panas. Aku berjalan setelah turun dari angkot yang mengantarku ke persimpangan Pasar Gudang. Di seberang jalan ada mobil 01 berwarna merah muda tengah berjajar. Jika sudah lelah, aku pasti naik angkot itu menuju rumah. Namun, untuk saat ini aku harus menghemat. Bisa jadi, besok aku harus mulai mencari pekerjaan agar setelah perpisahan aku bisa langsung bekerja. Apa iya ini keputusanku? Apa cari kerja itu gampang?
Berjalan menapaki gang yang beraturan, seperti sengaja di buat simetris agar mudah dihapal. Hanya ada dua belokan menuju rumahku, kanan dan kiri. Ini sungguhan, pertama belok kanan jika dari sekolah. Lalu, setelah lurus sedikit lama, tinggal belok kiri. Lurus, melewati jembatan dan ... sampai. Rumahku tepat di depan masjid.
Lain kali akan aku ceritakan bentuk rumah kontrakan yang aku tinggali kini, tetapi itu rasanya enggak penting. Setelah membuka gerbang setinggi pinggangku, aku melihat sendal aneh. Bukan, pemiliknya yang aneh.
Sosok itu muncul sebelum aku sempat berpikir akan memulai dengan apa saat masuk nanti.
"Eh, Hay. Udah pulang."
"Yes!" hardikku.
![](https://img.wattpad.com/cover/231663160-288-k348132.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Edrea Ivona [Completed]
Teen FictionAku berusia delapan belas tahun saat berani berkata kebenaran pada wanita sepuh yang mengajariku berbicara. Berusaha berjuang mengubah arus takdir. Meski pada kenyataannya kami tetap harus tinggal di belakang. Sherly Lituhayu nama pemberian dari ay...