Aku pulang, jalan kaki. Matahari pukul empat masih panas menerpa permukaan kulit, meski terhalang tudung jilbab tetap saja tak mengurangi sengatannya pada wajah. Tangan, kaki, punggung, juga tak kalah berlomba-lomba mengeluarkan keringat. Baju putih yang dipakai pun memberi hasil bahwa peluh benar-benar hebat membanjiri. Sebentar lagi langkah akan singgah pada muara teduh yang nyaman. Saat belokan menuju jembatan aku berhenti, memasuki warung kecil untuk membeli KopiKap, minuman pereda panas karena dia disimpan dikulkas. Segera berlalu setelah membayarnya atau air es rasa kopi itu akan bertambah jadi dua.
Nenek ada di teras rumah, tidak sendiri, dia tengah bersalaman dengan dua laki-laki. Kedua laki-laki itu lantas berlalu, meninggalkan nenek dengan mimik wajah tak terprediksi. Aku menghampiri sebelum beliau masuk ke rumah. Memberi salam, masuk bersama, dan membicarakan tentang pekerjaan yang akan aku ambil, di pasar.
Mengambil posisi nyaman di depan tv. Berselonjor manja dengan merenggangkan kaki dan sesekali menumpuknya, kadang kaki kanan di atas kadang sebaliknya. Lalu, membersihkan diri saat keringat sudah terserap pakaian, dilanjut makan, salat, lalu pulas. Apa lagi? Tuhan aku lelah!
***
"Hayu diterima di pasar, jadi pelayan toko," kataku, mengganggu fokus mereka yang tengah menatap layar kaca dengan menampilkan aneka adegan. Nenek menatap ke arahku.
"Heem, bagus atuh, jadi ada kegiatan. Berapa jam kerjanya? Gajinya berapa?" tanyanya. Sedari bangun tidur, magrib tadi, nenek tidak berbicara sepatah kata pun. Tepatnya setelah dua laki-laki yang tidak kuketahui pergi, nenek membisu.
"Entah kalau gaji. Tapi kerjanya dua belas jam." Aku menimpali, sambil terus menerka-nerka apa yang sedang dipikirkannya. Sulit, menerka pikiran seseorang bukan menebak kebohongan yang telah dilakukan. Keduanya menurutku tidak mudah. Hanya orang-orang kelas atas yang sudah berpengalaman mampu melakukannya. Nenek misalnya, dia pasti tahu kalau aku sudah berbohong, sekecil apa pun itu.
"Coba dulu aja, kalau gak sepadan minta berhenti. Gajinya perhari atau perbulan?" Kakek yang sedang fokus pun ikut mencuri dengar dan memberi saran. Aku pun berpikir begitu, kerja apa pun yang penting halal dan gajinya sepadan sama kerjaannya.
"Heem, bener." Hanya itu yang keluar dari mulut nenek. Aku hendak bertanya ada apa saat Bi Ika dan Bi Ema keluar dari kamarnya. Mereka juga ikut menggagas pemikiran untuk kriteria penyambung hidupku. Aku mengangguk yakin, bekerja adalah jalan. Toh, dengan melakukan sesuatu yang baru aku juga belajar.
Paginya. Seperti waktu yang disepakati, aku sudah berada di pasar mengenakan baju warna merah maroon dengan bagian tangan berbentuk balon dan celana bahan hitam. Menunggu di depan toko, tepatnya di penjual rampai bunga dan kopi. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, lalu melihatnya sekilas. Setengah jam? Apaan ini? 07.34 tertera di layar, padahal aku yakin, enggak kepagian. Ok, fiks! Memang dia yang telat.
Laki-laki dengan motor Mio Soul yang kaca spionnya hilang di sisi kiri tengah berbelok ke mari, mengatur kendaraan roda dua itu untuk diparkirkan. Setelah di rasa pas dan aman, laki-laki itu turun dan menghampiri toko, membuka dua gembok yang menjadi pengaman rolling door. Aku menghampiri, menunggu dirinya untuk membuka lebih lebar. Dia berbalik, mata sayunya menatap disusul anggukan kepala, kedua tangannya disatukan dan menyalamiku dengan memperkenalkan diri. "Saya Umay, nama teteh siapa?" katanya.
Aku tersenyum, sambil menyambut tangan itu dengan cara yang sama lalu menjawab singkat, "Hayu."
Kami memasuki toko, berbenah sebelum siap melayani, mungkin. Cara berjalan A Umay yang khas baru aku sadari setelah dia mengepel lantai depan yang sudah kusapu. Hihi, tentu saja aku menyapu karena disuruh olehnya. Kakinya yang satu memberi tekanan pada kaki yang lain, em, seperti kakek. Hanya saja sedikit berbeda, menurutku. Kalau kakek karena patah kaki sewaktu narik beca dulu, tidak terlalu ketara. Ah, sudahlah ... mari kita mulai!
Handphone aku matikan, ditakutkan fokusku malam menonton drama atau baca buku pdf. Aku melakukan ini seperti saran nenek tadi malam. Kebanyakan yang aku lakukan di hari pertama ini hanya diam. Ada yang bertanya harga aku lempar ke A Umay, bertanya nama hijab langsung kusampaikan ulang padanya. Bahkan saat ibu-ibu bertanya, "Ada daster gak di sini?"
Aku langsung memangil namanya. "A Umay, di sini ada daster?"
Untungnya dia sudah sangat dewasa untuk men-training orang sebodoh aku. Tidak terbawa suasana dia hanya tersenyum dan menimpali ibu-ibu tadi, menjelaskan bahwa toko ini hanya menyediakan khusus jilbab dan menunjukkan arah toko yang menjual daster. Aku lagi-lagi hanya melengkungkan bibir, menggaruk kening yang tidak gatal, kemudian merutuki kebodohan dan ketololanku.
Tadi pagi sekitar jam sepuluh, Bos yang kini aku tahu bernama Subhan, memberitahu perihal gaji. Gaji perhari lima belas ribu, perminggu dua ratus ribu, dan makan ditanggung toko. Ini pekerjaan pertamaku dan aku ... tergiur. Ayolah! Angka lima belas ribu itu uang jajanku sehari saat di MA dan gajinya bersih karena tidak ada pengeluaran uang makan, kan? Yang lebih membuatku bergairah kalau toko rame mungkin gaji Hayu akan ditambah, kata terakhir dari Bos Subhan. Ah, karena Bos Subhan memberiku pilihan ingin digaji perhari atau perminggu, maka aku putuskan untuk di gaji perhari. Empat puluh tiga ribu, hasil setelah dihitung keseluruhan dan dibagi tujuh hari.
Ada satu hal yang terpaksa kulakukan. Saat hati mengatakan tidak dan otak memaksa mengiakan. Kalian pasti tahu, kan, bagaimana rasanya tersiksa melakukan hal yang tidak kita sukai, tetapi pada kenyataannya harus benar-benar kita lakukan?
Azan Magrib berkumandang, ada tiga orang laki-laki yang datang bersama dengan bos. A Umay menjelaskan bahwa mereka juga pegawai di sini, mendapat bagian menjaga jongko di atas, bersama bos. Setelah selesai salat secara bergantian, kami bersiap pulang. Memasukan seluruh patung dan gantungan, lalu dibagikan gaji.
Aku pulang dijemput kakek, dia bertanya apa aku suka dengan pekerjaannya atau tidak saat dalam perjalanan. Beliau mengatakan aku terlihat semringah, orang-orang rumah pun berbicara begitu. Iyakah? Aku hanya bahagia karena membuktikan pada diri sendiri bahwa aku bisa bekerja dan menghasilkan uang, meskipun belum seberapa.
Nenek menemuiku di kamar, pukul sembilan malam ketika aku hendak tidur. Mimik wajahnya tetap sama seperti kemarin, meneliti mata itu seolah-olah semua beban bertumpuk hanya pada pundaknya. Akan tetapi, itu memang kenyataan. Bahkan orang tuaku membebankan tanggungjawab mengasuhku padanya, bukan?
Kami duduk di ranjang, saling diam untuk waktu yang cukup lama. Terkadang, aku ingin memasuki pikirannya, sedalam mana harus masuk agar bisa membagi apa yang tengah ia pikirkan. Hatinya, aku ingin menjamah, sedalam mana sakit dan perih yang telah beliau rasakan sampai usianya kini. Akan tetapi semuanya nihil, yang aku lakukan kini hanya ingin mendengar, setidaknya keluh kesahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edrea Ivona [Completed]
Teen FictionAku berusia delapan belas tahun saat berani berkata kebenaran pada wanita sepuh yang mengajariku berbicara. Berusaha berjuang mengubah arus takdir. Meski pada kenyataannya kami tetap harus tinggal di belakang. Sherly Lituhayu nama pemberian dari ay...