"Minal aidzin wal Faidzin, ya. Maaf kalau saya pernah ada salah sama kalian. Kalian juga kalau ada salah ke saya udah saya maafin," tutur Bos Subhan.
"Muhun. Saling bebaskan ya A, insyaallah." Suara bariton berapat lemah lembut keluar dari bibir A Umay. Selaku ketua atau sesepuh untuk mengucapkan kata timbal balik itu. Ditemani deru takbir yang bersahutan di masjid terdekat, kaset CD yang diputar berulang dan serempak, terdengar membahana serta menyejukkan. Bibir pun ikut mendendangkan kalimat agung itu saat punya kesempatan, hati juga tak berhenti memuja.
00.13
Masih ada yang berkeliaran pada pukul ini. Aku bahkan sudah mengantuk, tapi melihat mereka yang masih bersemangat. Aku menaikturunkan kelopak mata mengatur kesadaran. Semua orang sama-sama melayani satu orang di penghujung malam ini, aku tak bisa egois dengan memejamkan mata lagi sambil duduk di dekat wagon dengan menopang kepala.
"Cantik enggak, Beb?" tanya wanita yang tengah aku layani. Aiyyah! Jijik aku. Baju overall pendeknya tidak pantas untuk memakai jilbab. Kenapa wanita ini harus repot-repot?
"Cantik, dong. Eh, kamu bagus pakai jilbab deh, Yang." Laki-laki dengan potongan rambut khas bangsawan jaman dulu memuji wanitanya. Ganteng? Ya, laki-laki masa iya cantik?
"Berapa Teh, semuanya?" tanyanya sembari membenarkan kancing overallnya yang terlepas. "Eh, aku lebih cocok pakai warna apa, Teh? Biasanya yang jualan suka bagus nentuin warna."
"Kulit putih mah pakai warna apa pun juga bagus, Teh. Hehe," sahutku.
"Ah, bisa we."
Pasmina, jilbab berbentuk persegi panjang dengan ukuran 170×60 sedang laris bulan ini. Siapa pun orangnya, entah yang tua dengan gaya rupa-rupa, entah yang muda dengan gaya antah-berantah sampai anak-anak yang aksi berhijabnya macam-macam, pasti menyukainya. Katanya, dari bentuknya yang hanya punya panjang dan lebar, kerudung ini bisa dibentuk sedemikian rupa. Harga yang lumayan terjangkau menjadi alasan ke sekian.
"Jadi 235 ribu, Teh."
"Kurangin lima ribu, ya?" tawarnya. Aku tersenyum menggeleng, wanita cantik tadi hanya tersenyum kecut dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Seratus ribu dua carik dan satu carik lima puluhan.
"Kembaliannya ... terima kasih sudah berbelanja." Memberikan kembalian pada sang wanita yang sudah melangkah, laki-laki tadi menjinjing belanjaan dan mengambil kembalian. Dunia terbalik memang benar adanya! Sungguh terlalu mengesankan, eh, mengenaskan.
Vokal dari sang penguasa toko telah memberi perintah, saatnya tutup rolling door. Kami dibagi gaji lagi untuk yang terakhir selama tiga bulan berbalut dengan kegaduhan di sini, besok liburan idulfitri. Libur yang selalu aku nantikan dan ingin kujumpai. Tiga ratus ribu untuk malam ini aku kantongi.
Ramadan akan selalu dirindukan oleh setiap orang. Ah! Sampai jumpa tahun depan.
"Liburnya sehari doang, ya. Siapa yang mau masuk pertama?" tanya Bos Subhan bernada serius, bukan nada ala-ala ibu guru yang ingin anak didiknya berani maju ke depan.
"Hayu aja, Pak." Lagi butuh duit soalnya.
Nenek benar, aku sadar sekarang. Kerja itu tidak melelahkan kalau kita menjalaninya dengan rida.
***
"Hampura nya, Mak. Bah, nyuhunken dihampura." Air mata tak sanggup dibendung, meski aku tidak tahu menit selanjutnya akan melakukan kesalahan lagi atau tidak. Namun, kebanyakan orang pasti melakukan dosa lagi bahkan setelah halal bihalal dilakukan di detik sebelumnya.
"Hampuranya, Bi. Bi Ika, Bi Ema, Bi Nining, Bi Iya. Minal aidzin wal faidzin," pintaku pada mereka yang tengah berkumpul di rumah. Bergiliran, sepupu yang lain menyalamiku tanpa ragu mengecup punggung tangan berukuran tiga kali lipat dari mereka.
Aku mengenakan baju gamis putih dengan corak bunga biru bertabur di seluruh bagiannya, simpel. Tahun ini aku dan nenek mengenakan baju tahun lalu, tak ada yang istimewa, kakek mendapat bagian dari anak laki-lakinya yang tak bisa datang. Bibi-bibi sedang berfoto bersama keluarga masing-masing dengan kamera ponsel yang bagus, punyaku. Pose-pose acak yang mengenaskan terjadi, dan fotografer super ciamik membuat keadaan rumah tak terkendali. Geger!
Berbagai pose diarahkan olehku untuk mendapatkan hasil yang bagus, menimang gaya mereka yang tidak pernah fotogenik menjadi kaku. Parahnya keluargaku! Kakek hanya menonton TV, nenek main game fuzzle star, lalu menoleh dan memasang senyum lagi pada kamera membuat anak-anak menggerutu lalu menceramahi mereka. Namanya sudah tua, kembali lagi ke anak-anak sikapnya!
Pintu yang terbuka menampilkan sosok aneh, yang katanya akan membayar utang dalam waktu sebulan, tapi pergi selama tiga bulan tanpa berkabar. Bersama dengan dua anak wanitanya mereka dipersilakan masuk oleh Bi Ema. Yang tadinya riuh ramai menjadi bisu. Ketika kakiku akan melangkah ke dunia kedamaian, nenek memanggilku serta tegas menegurku untuk tetap di sini dan meminta maaf pada ibuku.
"Hampura nya, Mah." Mencium tangannya dan kembali ke tempatku tadi menaruh benda paling setia yang menemaniku. Tiara juga Kanaya mencium punggung tangan semua orang dan duduk ke sampingku. Senyum mereka, ah ... sungguh tidak pernah aku rindukan. Malah terkadang aku lupa, siapa aku untuk mereka dan siapa mereka untuk aku akui?
[Minal aidzin juga, Mas. Love you ...] Sherly Lituhayu
[Tumben pake Love u. Hihi, Salam buat nenek dan kakek, ya.] Mas Shohib
Nenek dan Mama tengah berbincang, bibi-bibi kembali berswafoto dengan keluarganya sampai pukul dua siang.
"Akhirnya!" Suara Bi Ema memenuhi ruangan. Kelegaan itu terbilang cukup menyimpulkan bagaimana berbahagia hatinya, kan?
"Why? Are you okey, hm?" Gayaku dengan nada meniru adegan di film The Flu yang kita tonton bersama.
"Arek sare¹ atuh. Haha." Bi Ema langsung memasuki kamarnya setelah menyapu ruang tengah.
Aku dihadapkan pada situasi lain, di mana sepasang mata mengeluarkan air mata dengan kedua tangan menyeka silih berganti. Bibir itu mulai mengumbar duka, entah nyata atau hanya maya yang aku percaya dan tidak.
***
"Mang–eh, Jaka!" panggilku semangat. Dia salah satu teman tercerdas yang karenanya aku berhasil menghitung rumus aljabar dengan benar pertama kali. Makanya, mataku yang minus satu ini berhasil mengenalinya tanpa kacamata.
"Hey! Kerja di sini?" Setelan yang digunakannya rapi. Dunia telah mengubahnya.
"Iya, Jak. Mau ke mana dikau? Hebat euy, pake almamater." Aku mengucapkan kata-kata basi. Mumpung aku kerja seorang diri hari ini, jadi aman dari cemeehan A Umay.
"Abis kumpul, Hay. Iya dong. Jaka kuliah kan. Hayu udah kuliah?" Mak deg, aku menyesal karena sudah bertanya.
Mengerucutkan bibir dan enggan menjawab, "Belum."
"Eh! Kenapa? Hayu yang ditakuti karena susah sekali direbut posisi peringkatnya enggak kuliah?" Aku makin memajukan bibir, jahat dia! "Bercanda, tapi beneran sayang kalau Hayu gak kuliah. Ambil bidik misi di Syamsul Ulum aja, Hay. Jaka juga gratis, nih. Alhamdulillah."
Pembicaraan menjadi panjang karena aku menahannya lama di sini. Meminta informasi paling penting yang bisa didapatkan, membuat otakku mencerna dan membuat planning kedua.
"Ok, deh. Nuhun ya. Hati-hati di jalan." Aku melambaikan tangan dan menatap laki-laki itu menjauh.
__________________________________________
¹) Sare: Tidur
KAMU SEDANG MEMBACA
Edrea Ivona [Completed]
Ficção AdolescenteAku berusia delapan belas tahun saat berani berkata kebenaran pada wanita sepuh yang mengajariku berbicara. Berusaha berjuang mengubah arus takdir. Meski pada kenyataannya kami tetap harus tinggal di belakang. Sherly Lituhayu nama pemberian dari ay...