Bencana yang sedang dialami seluruh dunia, tengah mengguncang Indonesia. Aku mengambil prodi Pend. Bahasa Indonesia, nyastra. Dari dulu aku suka tulis menulis, mencatat rangkuman sampai semua isi buku LKS terpindah pada buku tulis bigbos dengan tebal 38 lembar. Aku juga suka dengan kata-kata puitis yang maknanya dalam, padahal aku sendiri pun tak maksud dengan apa yang tersirat. Celoteh manja atau kadang sebuah khayalan melengos ketika aku menulis, semisal jika hubunganku dengan Mas Ody akan seperti apa? Bagaimana cara Allah mempertemukan kami dan lain halnya. Itu kutoreh semua dalam kertas. Alhasil, agar tulisanku bermanfaat aku mengambil prodi ini dan menyamankan diri. Banyak teman-teman baru, beberapa dari kami sama-sama menyukai buku Conan Doyle, seorang pengarang dengan karya terkenalnya, Sherlock Holmes serta teka-tekinya.
Aku pulang tiga bulan sekali, hanya untuk melihat keadaan keluarga. Saat kemarin pulang keadaan masih aman dan damai, tidak ada yang mengejutkan kecuali berita dari anak nenek, siapa lagi sosok paling aneh di muka bumi ini? Ya, katanya beliau menikah lagi menggunakan wali hakim, di Bandung. Satu kota denganku, tapi kami tak pernah sekali pun bertemu. Aku dan dia tidak bisa akur, mungkin. Setiap kali aku merasa menerima bahwa aku adalah anak wanita seperti dia, kerap kali juga otak warasku membantah untuk mengakuinya. Kiranya, begitulah akhir kami.
"Jadi pulang?" tanya Kang Anjar menepuk pundakku. "Mas Shohib is Calling, tuh!"
Setelah mengangguk juga memperhatikannya aku mengarahkan pandangan pada gawai yang berada di samping kanan laptop.
Mas Shohib is Calling....
Aku mengangkatnya di sana, di depan laki-laki yang kukenal saat pertama kali di ospek.
"Assalamu'alaikum ...," kataku. Suara di seberang sana hanya suara tarikan napas.
"Wa'alaikumsalam, kapan Hayu pulang?" tanyanya langsung. Ada apa dengan laki-laki satu ini?
"Padahal gak sekampung, ya? Mau apa emang?"
"Hish! Cuma mau ngingetin aja Mas. Ke mana-mana pakai masker, ya. Jaga kebersihan juga." Bukan mendengarkan nasihat Mas Ody, aku berbalik menatap Kang Anjar yang saat ini sedang merangkul wanita. Beh! Mesraan jangan di sini, dong.
Cup!
"Iya, Mas. Makasih banyak udah ngingetin." Seharusnya aku mengerjakan tugas di kampus bukan di taman kotor seperti ini, ternyata ada juga orang Indonesia yang berpikiran liberal.
"Hayu lagi apa? Ehm, suarany—"
"Bentar!" Aku merapikan barang bawaanku. "Hayu pindah dulu, ya. Mereka gila emang."
"Ahaha! Kang Anjar lagi pacaran, ya?" Hm, aku memang bercerita padanya, tapi aku tidak tahu kalau dia akan mengingatnya dengan detail. Aku terdiam di tempat parkir berniat menyimpan barang yang acak tadi untuk dimasukan dalam file. Memasukkan laptop pada tempatnya.
"Iya. Ehm, Mas–" Sial! Kenapa ini jantung ngebut juga. "Semoga kita bisa ketemu, ya."
"Hayu pengen ciuman juga?"
"Somplak!" Ketawanya membahana. Laki-laki idiot yang belum pernah kutemui, tapi aku mengaguminya sampai hari ini. Pemikirannya yang paling tidak bisa ditebak membuatku kadang jengah sendiri. "Mau nikahlah. Enggak banget dicium tapi enggak dikawin."
Tawa Mas Ody makin tergelak. Aku sudah selesai merapikan barang-barang tadi dan kembali menelusuri taman. Saatnya kembali ke asrama. Gamisku tertiup angin, kerudung segiempat polos yang dikenakan tak lepas pula dari embusannya. Bayu sore ini menyejukkan, terlebih suara Mas Ody menambah nuansanya jadi bersemi.
"Kok diem?" tanyanya. Kapan kita ketemu?
"Enggak diem, ini lagi jalan," kataku jujur.
"Kapan ya kita ketemu?" tukasnya, apa kami sudah satu hati? "Hayu sekarang sibuk banget pasti, ya."
"Tapi pulang, kok. Bulan Desember akhir atau enggak Januari awal." Sebelum menyeberang aku memasang headset agar bisa sambil jalan. "Nenek pengen ngobrol sesuatu katanya."
"Iyalah harus pulang. Yaudah lagi di jalan, kan? Fokus dulu sama rutenya, nanti salah belok."
"Mas Ody cenayang, ya?"
"Itu kebiasaanmu, toh. Kita kenal udah setahun loh."
"Oh, ya? Aku lupa! Hahaha."
Seperti katanya aku memang harus fokus, itu kelemahanku. Jika mengerjakan dua pekerjaan dalam satu waktu, hasil akhirnya akan sama. Dikerjakan dua kali. Persis sekarang, aku fokus berbicara padanya dan hasilnya aku mendapati belokan yang salah. Good Job!
"Yaudah, hati-hati ya." Dan, telepon terputus.
***
Sosok wanita gemuk dan pendek tengah memotong rumput menggunakan arit di bawah pohon jambu, di halaman depan. Laki-laki dengan kulit keriput jelas pada tangannya yang tengah membabat rumput pun tidak jauh di sana. Mereka tim yang solid. Kakek dan nenekku, di terpa terik matahari yang begitu menyengat tetap mereka lalui. Padahal, bisa saja mereka meminta orang lain menggunakan alat lebih canggih.
Aku membuka pagar dan berujar semangat, "Assalamu'alaikum ...."
"Wa'alaikumsalam, tah si Hayu. Kamana heula?¹" tanya Kakek. Aku hanya tersenyum dan beralih pada nenek yang sedang mengelap dahi dipenuhi keringat. Aku duduk di teras, kenyamanan tiada tara itu saat kaki dan tubuhmu panas oleh terpaan sang surya, keramik dingin di bawah menjadi penyejuknya.
"Azan, tah. Hayu beresan heula." Kakek mengambil arit dan cangkul yang dipakai lalu menaruhnya di samping rumah. Bersih-bersih di samping kiri, kolam ikan, lalu melewatiku dan masuk ke rumah.
Aku dan nenek ikut masuk barengan. Di ruang tv sudah tersedia makanan beraneka ragam. Daging sapi di masak asam manis membuat air liurku keluar. Ah! Nenek sangat hapal memanjakan kita. Sedari dulu, seharusnya aku lebih peduli padanya karena hanya dia yang memedulikanku. Cita-citaku tercapai juga karena doa-doanya yang ikhlas untukku.
Mas Shohib is Calling....
"Udah sampai?" tanyanya langsung.
"Salam dulu, kek. Alhamdulillah baru aja," ketusku, pura-pura.
"Salamin buat nenek sama kakek, ya. Buat kamu, Mas harap enggak ada lagi beban yang menyakitkan saat bertemu mereka. Ciaaa gaya gak, kata-katanya?" cecarnya memberondong.
"Enggak, kok. Makasih pengertiannya."
"Dah! Waktu bersama keluarga itu paling menyenangkan. Kalau udah pada enggak ada pasti deh kerasa rindunya."
Dia benar. "Terima kasih, Mas Jody ... untuk dirimu juga. Salam buat ibu."
"Wa'alaikumsalam. Udah ya, nanti malam dilanjut."
Nenek dan kakek memperhatikan gelagat masa remajaku. Aku tersenyum simpul menanggapi pemantauan dari mata mereka.
"Ayo makan." Nenek mengajakku dengan penuh semangat. Makan keluargaku meski hanya bertiga, ini adalah hal yang paling membahagiakan.
__________________________________________
¹) Kamana heula: ke mana dulu?
Selesai!
KAMU SEDANG MEMBACA
Edrea Ivona [Completed]
Fiksi RemajaAku berusia delapan belas tahun saat berani berkata kebenaran pada wanita sepuh yang mengajariku berbicara. Berusaha berjuang mengubah arus takdir. Meski pada kenyataannya kami tetap harus tinggal di belakang. Sherly Lituhayu nama pemberian dari ay...