14 - Semuanya Karena Keberuntungan

19 11 0
                                    

"Halo, assalamu'alaikum." Suara laki-laki di seberang sana menggema. Bernada rendah dengan volume minim, tetapi tetap kedengaran.

"Wa–waalaikumsalam, Mas," ucapku terbata-bata. Kyaa, aku enggak bisa ngontrol suara serak ini.

"Mas ganggu enggak? Sherly pasti mau tidur, ya?"

"Ehm, enggak kok. Hay–Sherly belum mau tidur."

"Santai aja. Mas tahu kok panggilan Hayu. Nama Lituhayu kayak orang Jawa, ya?" kekehnya dalam bertanya. Hish! Dasar orang Jawa.

"Entah, Mas. Kata mama emang suami dia orang Jawa. Jadi, kasih namanya gak jauh-jauh dari bahasanya kali. Hihi," jawabku sambil berpikir benar atau tidak. Kalau tidak salah Mama pernah cerita suaminya itu orang Jawa. Jadilah, Sherly Lituhayu tercetus pada hari pertama aku dilahirkan.

"Jangan kesel gitu nadanya, to," usilnya, terdengar tawa kecil menyelimuti nuansa berkabungnya. "Mas minta maaf kalau jadi ngingetin Hayu, ya."

"Hihi, udah bisa ketawa. Enggak apa-apa, kok. Hayu biasa aja."

"Heem, makasih Hayu udah mau nemenin Mas. Udah tiga minggu padahal, tapi kayak masih ada aja di sini. Masih enggak nyangka bapak udah enggak ada."

Aku hanya bisa menghibur dengan celotehan manja untuk menghindarkannya dari kesedihan. Namun, untuk sebuah kehilangan apalagi laki-laki yang sangat dicintainya, tentu saja berat. Pun untukku, bayangan ketika jatuh hati itu menakutkan apalagi pada laki-laki yang aku kenali wajah, suara, tapi tidak dengan pribadinya.

Aku jatuh hati? Pada Mas Ody?

***

Kabar mengharukan aku dapat dari teman-teman. Ternyata tahun ini mahasiswa baru yang masuk di universitas negeri mendapat hadiah dari pemerintah Sukabumi. Dua teman di MA sudah masuk universitas yang mereka inginkan, UIN Sunan Gunung Jati Bandung. Pada kesempatan yang berbeda, aku duduk di depan toko menunggu pengunjung. Takdir mereka bukan takdirku, keberuntungan dan perjuangan mereka berbeda dengan perjuangan dan keberuntunganku. Begitulah, gaya dari rezeki kaget.

Tiga hari lagi memasuki bulan Ramadan. Bos Subhan sudah mewanti-wanti untuk aku bekerja lebih pagi, maksimal jam tujuh toko harus siap melayani. A Umay juga sudah memberitahu dari bulan lalu kalau bulan Ramadan pasti rame banget. Semua orang yakin dengan keagungan bulan suci ini, di mana ucap baik menjadi doa, perbuatan baik dan tidur menjadi pahala, dan segala doa akan terlaksana. Ya Allah, aku ingin kuliah!

Sore hari pengunjung toko ramai, ada dua orang di dalam yang sedang diladeni Bos dan A Umay. Aku tersenyum saat beberapa ibu membawa anak-anak mereka memasuki toko dan memenuhi ruangan. Tiga orang ibu berdiri ngerumpi di jalan masuk, itu artinya dari luar toko akan terlihat penuh karena gantungan stainless berbentuk bulat setinggi dadaku memadati ruang tengah. Empat anak laki-laki dan tiga anak perempuan memutarinya, kadang goyang ke samping kiri-kanan karena jilbabnya ditarik ulur. Aku berdiri tepat di jalan masuk lain memperhatikan mereka semua. Aku tersenyum jutek pada ibu-ibu yang melarang anaknya dengan ocehan, bola mataku juga bermain lincah pada seornag ibu yang tidak melarang anaknya menaiki kursi untuk tidur di atas wagon. Hey Bu! Ini anakmu kayak di rumah sendiri aja. Tiga orang ibu lainnya tengah memilah segi empat di wagon satunya. Tentu saja sambil melayani aku juga melotot kepada anak laki-laki tadi.

"Turun, Rendi!" pinta ibu yang tadi asyik menikmati tekstur jilbab berbahan silk dengan corak bunga besar di pinggirannya. "Ceu! Anakmu ih nakal. Si tetehnya udah marah gitu."

Aku tersenyum kecut, akhirnya ada yang mengerti dengan pelototan tajam yang siap menerjang anak tak sopan ini.

"Ih, punten ya, Teh. Turun atuh, Jang." Ibu kerudung cokelat dengan gamis warna moka itu menghampiri si anak dan menggendongnya. Dasar ibu lemah! Si anak dengan sigap akan menaiki kursi lagi saat ibu tadi menurunkannya. Aku buru-buru menyingkirkan kursi dan menaikkan sebelah kaki agar dia tidak bisa menggeser. Anak laki-laki ini ternyata melotot dan akan menurunkan kakiku, tetapi anak lain yang tadi bermain di kolong stainless ingin mengajaknya.

"Ren! Hayu sini, main donal bebek!" Gadis kecil dengan rambut yang dikuncir seperti ekor kuda. Greget! Apa iya menurut penglihatan mereka ini seperti taman kanak-kanak dan aku ibu Paud-nya?

Aku menurunkan kaki dan melayani lagi keinginan mereka. Membutuhkan waktu sekitar lima belas menit untuk mengumpulkan kerudung yang mereka mau. Syukurlah! Bos Subhan memang sudah menyediakan stok satu bal segi empat motif. Jadi, lima belas jilbab yang sama pasti bisa didapatkan.

"Mamaaaaa!" teriak salah satu anak. Aku yang berjongkok langsung berdiri, penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Anak tadi terjatuh dan tertiban gantungan bulat. Anak yang lain jatuh ke samping kiri dengan kerudung berjatuhan di dekat mereka. A Umay yang selalu sigap jika ada kejadian seperti ini. Aku? Tentu saja aku kembali berjongkok untuk memenuhi keinginan pelanggan, kan? Sembari berteriak puas, puas, puas!

Begitulah kebahagiaan, sesimpel itu. Bertambah bahagia karena motif bunga-bunga yang tidak pernah aku sukai tapi orang lain begitu mengagumi terkumpul semua. Selanjutnya kuberikan pada Bos yang lebih pandai mengobrak-abrik harga dan aku menonton. Tawar-menawar kelas kakap itu adegan yang harus dipuja, ini persaingan debat yang paling esensial dari pada debat yang ada di siaran tv. Itu menurutku tentu saja.

"Gini aja, saya kasih harga jual aja, ya. 25 ribu jadinya." Bos Subhan menghela napas sambil pura-pura pasrah.

"Turunin atuh Bang. Dua ribu aja! Jangan susah, gak jadi, nih." Satu ibu-ibu sebagai jubir tetap ngotot dengan harganya. Ibu yang lain hanya "hayu atuh, Bang", begitu saja.

"Udah gak bisa turun lagi ibu. Ini mah udah murah banget. Kalau gak jadi berarti emang bukan rezeki saya. Enggak apa-apa."

"Ish! Susah banget ya Allah. Ini, kan, belinya 15 biji. Masa gak bisa kurang?" Si Jubir menggertak. Wadidaw! Bawa-bawa Gusti Allah, gimana kalau dia bawa kebohongan di sini.

"Iya, Ibu. Kalau ada lebihnya pasti saya turunin," tutur Bos Subhan sabar.

"Yaudah gak jadi aja, Pak. Kalau 23 ribu saya ambil semuanya." Mereka semua beranjak dengan gelagat yang sama persis seperti orang-orang sebelumnya.

Aku mengalami ini bisa dibilang sering. Melayani, mengumpulkan semuanya, masalah harga biar Bos atau A Umay yang lebih pandai berargumen. Kebanyakan ibu-ibu akan pura-pura mengabaikannya dan beranjak pergi karena kesal harganya tidak bisa turun lagi. Akan tetapi, semuanya cepat berlalu karena lima menit setelahnya mereka berada di toko ini lagi sambil tersenyum dan meyakinkan. Beneran gak bisa kurang? Hingga akhirnya pilihan mereka hanya membeli. Jarang sekali penjual jilbab apa lagi jajaran kaki lima bisa mempunyai lima belas jilbab dengan motif dan warna sama.

"Beresin lagi, Hay." Ini yang paling aku suka dari gaya si Bos. Seolah-olah tidak acuh padahal hatinya menjampi doa agar rombongan wanita tadi kembali. Sok tahu! Tentu saja enggak. Beliau mengatakan itu pada kami.

"Ish! Beneran gak bisa kurang Bos? Sedikit aja atuhlah, kurangin seribu, ya?" Kan!

"Hatur nuhun, Bu. Kanggo abina¹." Bos langsung mengambil hp di atas laci kecil di ujung mejanya.

"Yaudah atuh, Teh. Jadi berapa semuanya?" Finally. Mereka juga enggak mau lelah dengan harus berkeliling pasar, kan?

"375 ribu semuanya."

__________________________________________
¹) Kanggo abina: Buat sayanya.

Edrea Ivona [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang