Hipertensi, begitu dokter bilang setelah melakukan pengecekan dengan sebuah alat. Aku memang tidak tahu apa nama benda yang dipompa itu dan tidak terlalu memikirkannya. Yang sedang aku selidiki sekarang, bagaimana seorang gadis remaja berusia sembilan belas tahun mengalami hipertensi? Aku! Tekanan darah tinggi? Maag dan anemia mungkin aku masih bisa maklumi karena aku memang manusia dengan pola makan yang tidak baik apalagi setelah kerja di pasar, sarapan dan makan siangku tak tentu. Akan tetapi, ini ... hipertensi? Hipertensi itu penyakit seusia nenek, kan, harusnya?
"Konyol!" tukas Bi Nining, "Namanya penyakit bisa nempel ke siapa aja. Buktinya anak-anak usia dua tahun bisa kena kanker, padahal makan sama minumnya masih diurusin orang tua!" jawab Bi Nining sambil menatapku greget, lalu dia menatap Bi Ema yang ikut terkekeh. Bi Nining menyerahkan kembali resep yang usai dibacanya, untuk obatku. Bi Nining bekerja di sini, klinik Ervik Medika, sebagai seorang kasir dan salah satu kepercayaan dokter. Jadi, sedikitnya dia tahu tentang jenis atau macam obat. Saat tahu aku sakit, dia menyuruhku ke sini dengan dalih biayanya akan lebih murah, tetapi tetap saja bayar, kan?
"Sherly!" panggil petugas di bagian apotik. Aku berjalan lemah, badanku terasa ringan seolah melayang. Begini mungkin yang nenek rasa setiap kali tensian-nya naik karena memikirkan sesuatu. Aku mengangguk dan tak lupa tersenyum, memahami penjelasan dari wanita yang bentuk wajahnya sepertiku. Bulat dan pipi chubby, tapi badannya kecil. Hebat!
"Bi." Aku memanggil bibi dengan suara rendah. Bi Ema ternyata memperhatikanku, tanpa banyak kata dia menghampiri.
"Ning, Ema balik," katanya dan dibalas singkat oleh Bi Nining. Bi Ema memapahku ke jalan, mengambil obat-obatan dari tanganku dan memasukan mereka ke dalam tasnya. Dia melambaikan tangan ke jalan dan memberhentikan angkot, kami masuk dan duduk berdekatan di dalam mobil. Aku tertidur tidak pulas, hanya memaksakan terpejam untuk mengurangi mual yang lagi-lagi menyerang.
***
"Karunya¹ ... kalau pengen libur, ya gak apa-apa libur sehari, kan, gak jadi masalah. Dari pada sampai darah tinggi kitu, karunya," jelas Bi Ema pada nenek. Mereka berbincang di luar kamar baruku, mungkin tak jauh dari tembok penyekat antara kamar dan ruang tv. Kami sudah pindah dua hari yang lalu.
Saat A Umay membawa makan hari itu, pusingku sudah hilang, mual juga tidak terasa sampai sore Mang Iman menjemput dan langsung membawaku ke rumah ini. Rumah baru di daerah Cimanggah, sebelum Selabintana. Perjalanan ke sini memakan waktu lebih lama kalau dari pasar. Namun, yang aku sukai adalah tampilan rumah yang dichat warna putih dan biru toska. Di depan ada pohon jambu besar, halaman yang juga luas. Di belakang rumah ada kebun dengan lima pohon yang tinggi menjulang, terpisah jarak yang lumayan luas dan ada empang. Bagiku, bangunan ini tidak terlalu luas dengan harga 10Jt per tahun. Akan tetapi, halaman depan, kebun, dan kolam ikan melebihi dua kali lipat luasnya. Anggap saja kami menyewa empang untuk satu tahun penuh. Begitu kata kakek.
Esoknya, aku juga mengabaikan sedikit pusing yang masih tersisa. Mungkin saat makan nanti, pusingnya hilang seperti kemarin, pikirku. Namun, saat siang menjelma dan perut sudah berteriak minta di isi, aku belum punya kesempatan untuk memberi asupan. Toko mendadak ramai sekali dari jam satu siang. Bos Subhan, A Umay, dan A Andri-yang diminta untuk membantu di sini-juga bekerja cekatan. Alhasil, pukul 15.12 kami baru bisa menyantap makan siang dengan nasi padang paket sepuluh ribu. Setelah makan dan salat Asar pusing dan mual itu menyerang kembali sampai sekarang. Ya, mungkin begini rasanya mabok saat hamil. Ngeri!
"Kan, diimah oge arek naon²?" kata Nenek. Aku mendengar jelas jawaban itu.
"Eta ning geringna jadi katutuluyan³?" balas Bi Ema. Suara Nenek tak terdengar, aku terus menguping untuk mendapat jawaban. Aku juga bingung, kenapa nenek terus memaksaku untuk tetap bekerja. Dengan seribu satu alasan yang aku punya. Misalnya, A Umay juga kemarin libur dua hari jenguk ayah sama ibunya di Cianjur, atau yang paling klise A Epul udah seminggu gak masuk dengan alasan sakit, tapi mereka gak ada yang dipecat. Nenek selalu punya seribu dua cara agar membuatku tetap bekerja. Apa lagi? Aku ingin kuliah dan itu tamengnya.
Terlalu bosan untuk melakukan hal yang sama berulang kali, aku membuka google dan mencari program beasiswa. Pertama yang aku cari pastinya kampus sekitaran Sukabumi, Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) masuk di kategori teratas pencarian. Aku akan mendaftarkan bidik misi lagi tahun ini dan melengkapi semua persyaratan. Semoga takdir mendukungku tahun 2019 ini. Jika bukan bidik misi, paling tidak aku bisa mendapat beasiswa untuk di awal semester.
Pesan masuk biasanya hanya dari grup, jika bukan dari keluarga, teman kerja atau teman main aku pasti sudah skip. Namun, kini ....
WhatsApp 301 pesan dari 14 ch....
[Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh]
[Mas ganggu gak, ya?]
[Mas pengen diskusi sama Sherly] @JSA~Aku mengerutkan kening, admin dari grup diskusi keagamaan yang kemarin memperkenalkan diri dan mengajakku menjadi admin, kembali memulai percakapan. Aku kepikiran, kenapa di antara banyak wanita di grup, laki-laki ini memilihku untuk memegang tanggung jawab itu? Aku hanya muncul sekali dua kali dan menjawab sekenanya jika bisa, itu pun tanpa disertai dalil agar mereka mencari sendiri. Siapa sangka hari ini dia mengajakku diskusi.
Ah, jangan banyak berpikir! Dia mungkin bisa menjadi tempat bertanya yang baik, kan? Telunjukku menyentuh layar tepat di notifikasi yang muncul. Gerak layar membuatku terkejut apalagi dengan isi pesan berikutnya.
[Lagi gak bisa diganggu, ya?] @JSA~
Hish! Sabar dong, Maaas!
__________________________________________
Catatan kaki!
¹) Karunya: Kasihan
²) Diimah oge arek naon?: Di rumah juga mau apa?
³) Eta ning geringna jadi katutuluyan: Lah, itu sakitnya makin menjadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Edrea Ivona [Completed]
Teen FictionAku berusia delapan belas tahun saat berani berkata kebenaran pada wanita sepuh yang mengajariku berbicara. Berusaha berjuang mengubah arus takdir. Meski pada kenyataannya kami tetap harus tinggal di belakang. Sherly Lituhayu nama pemberian dari ay...