Satu bulan berlalu sejak kejadian itu, selama enam puluh hari terbilang aku bekerja tanpa libur. Besok tepatnya, kami sekeluarga berpindah rumah setelah meminta tenggat waktu setengah bulan sampai kakek pulih. Bi Ema dan aku—kakek dan nenek—memutuskan untuk tinggal bersama lagi dan bibi yang lainnya terpisah, tetapi tetap berdekatan.
Sinar matahari menerobos ke dalam kamar melalui celah gorden usang yang belum dicuci selama tiga bulan. Aku mengerjapkan mata dengan malas, mencoba menyesuaikan kilat cahaya yang menyerang pada kornea mata. Masih dalam posisi tidur miring ke sebelah kanan, tangan dan kaki seolah-olah memberi izin agar tetap kaku. Baru sadar jika keningku mengeluarkan keringat dan badanku bergulung selimut. Aku demam, semalam suntuk mata tak mampu terpejam karena tubuh rasanya sakit semua. Namun, sebuah panggilan menyadarkanku dari merenungi derita semalam. Kau harus kerja!
Saat semua orang tengah sibuk mengepak baju, menurunkan pigura, mencabut kabel tv, mengikat perabotan dapur jadi satu, dan menyusun semuanya di depan rumah sebelum diangkut. Aku hanya bisa berjalan gontai untuk pergi mandi, memakai baju yang sudah aku siapkan sebelum di-pak semalam, kemudian mengorder go-jek untuk pergi bekerja.
"Makan dulu?" tanya Kakek yang masih membenahi kabel-kabel yang sudah dicabut. Dia hanya bisa melipat kaki kanan, luka di sebelah kiri masih basah meski sudah sebulan berlalu. Dengan posisi santai begitu, dia melihatku menunggu jawaban, mungkin.
"Hayu langsung berangkat, makan mah di toko aja," jawabku sekenanya. Meski aku tak yakin, laki-laki yang sebagian ubannya kini tertutup peci itu percaya. Namun, beliau tidak terlalu banyak bertanya seperti nenek. Kalau nenek pasti udah nanya berkelanjutan. Tumben, biasanya makan dulu di rumah. Orang masih jam segini, masih ada waktu lima belas menit atau paling enggak dengan ejekan mautnya, kamu marah gara-gara pengen libur? Ya libur mah libur we. Kamu ini kan, yang dipecat. Bah! Males banget denger itu pagi-pagi.
"Iya, hati-hati."
Aku mengangguk dan menampilkan beberapa gigi yang tidak rapi di bagian depan. Tidak terlalu maju, juga tidak bertumpuk hanya gigi kampaknya sedikit bergeser. Saat melangkah hendak keluar, nenek ternyata sedang bisik-bisik tetangga dengan Bi Ika dan Bi Ema di ruang parkir.
"Tumben banget gak makan dulu." Nenek angkat suara melihatku berjalan.
Kan ... apa aku bilang.
"Makan di toko we," jawabku sambil nyengir. "Berangkat, nya."
Mengambil sendal kesayanganku—karena hanya itu sendal yang aku punya—di rak sepatu, lalu keluar rumah dengan menentengnya. Langkahku bersemangat melewati gang-gang kecil untuk keluar menuju jalan besar. Sebenarnya, bukan karena aplikasi go-jek tidak bisa melacak rumah di dalam gang atau rumahku di daerah terpencil. Oh, tidak! sudah aku bilang, kan, aku tinggal di kota, ko-ta!
Aku berbohong pada orang rumah. Untuk menempuh jalan agar sampai ke toko hanya memakan waktu tujuh menit dengan mengendarai motor. Jadi, butuh waktu dua kali lipat agar aku mencapai toko tepat waktu dengan berjalan kaki, kan? Ya, aku jalan kaki sambil lari-lari kecil, membuat tubuh berkeringat, dan menghirup udara pagi yang sejuk lebih lama. Meskipun di kota, daerahku masih banyak ditumbuhi pohon. Itu alasan aku lebih suka jalan kaki dari pada mengendarai sepeda bermesin itu.
Kenapa aku berbohong? Sederhana, kalau bilang sama nenek atau kakek pasti maksa-maksa aku untuk naik motor aja, naik gojek, diantar Mang Acek atau Mang Iman. Jadi, dari pada meminta izin, bukankah minta maaf karena berbohong itu lebih mudah? Hehe.
Telat ternyata, aku berangkat jam 06.51 sampai toko pukul 7.34. Tempatku bekerja selama dua bulan ini sudah terbuka dan siap melayani. Ini ketiga kalinya aku meminta maaf pada laki-laki yang hobi memakai topi dengan bentuk bulat di bagian kepalanya. A Umay hanya tersenyum kecut dan mengangguk saja. Shit! Padahal dia lebih sering telat dari pada aku, alasannya pun banyak dan kadang enggak masuk akal. Aku buru-buru menyimpan tas dan membuka jaket hitam berplat pink di bagian tangan sampai lengannya. Merapikan jilbab dan baju abu-abu yang dikenakan, lalu membenarkan pajangan.
"A Umay mau makan?" tanyaku membuka percakapan. Pukul 08.02 perutku sudah keroncongan dan tubuh bergetar hebat. Kepalaku juga mendadak pusing, pandangan kabur, tangan juga ikut bergetar. Padahal dari setengah jam yang lalu aku hanya duduk. Aku tidak jadi beranjak dari bangku plastik ini, rasanya dunia tempatku tinggali tengah berputar.
"Hay!" teriak A Umay. Aku mencengkeram kuat tiang wagon agar tidak terjatuh. A Umay sudah memanggilku berkali-kali, tapi untuk menjawab saja aku tak bisa, telingaku juga ikut kehilangan fungsinya.
"Gering lain¹?" tanyanya, "urang beli nasi heula atuh. Can sarapan lain²?"
Aku memejamkan mata untuk mengatur rasa pusingnya. Ada yang masuk! Aku beranjak, tetapi penglihatanku malah semakin blur dan titik-titik bercahaya memenuhi penglihatan. Di mana aku?
"Teh," panggil si ibu tadi.
"Iya, peryogi nu kumaha?³" tanyaku setelah berhasil menghilangkan kunang-kunang sialan yang tadi mengelilingi. Aku memang anemia, tetapi pusing hebat ini adalah pertama kalinya.
"Pengen pasmina aja, Teh. Warna hitam, ya," pintanya.
Aku menunjuk jilbab yang tergantung dengan gantungan plastik warna hijau. Memperlihatkan sederetan kerudung pasmina dengan banyak warna dan mudah untuk menyentuh bahanya karena sudah terbuka. Wanita tadi melepas kain persegi panjang yang sudah dilipat simetris, lalu mencobanya dan tanpa banyak cekcok. Fiks, dia pelanggan. Aku beruntung karena si ibu tadi tidak menambah rasa mualku dengan harus melakukan tawar-menawar yang akan diakhiri halal bihalal. Lebih beruntung karena makanan datang tepat pada waktunya. Apa ini teguran karena aku berbohong tadi pagi?
__________________________________________
Catatan kaki!¹) Gering lain?: Sakit bukan?
²) "urang beli nasi heula atuh. Can sarapan lain?": "Kita beli sarapan dulu, belum makan, ya?"
³) peryogi nu kumaha?: Butuh yang gimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Edrea Ivona [Completed]
Teen FictionAku berusia delapan belas tahun saat berani berkata kebenaran pada wanita sepuh yang mengajariku berbicara. Berusaha berjuang mengubah arus takdir. Meski pada kenyataannya kami tetap harus tinggal di belakang. Sherly Lituhayu nama pemberian dari ay...