[Semoga dilancarkan semuanya, ya, Mas Ody.]
Pesan ini telah dihapus
[Sherly ikut mendoakan.] Sherly LituhayuGaswat! Untung pesan di whatsapp bisa ditarik, kalau enggak ketahuan deh aku dipanggilnya apa.
Balasan datang lima menit kemudian, usai aku membayar lima porsi bubur dengan gerutu di dalam hati.
[Alhamdulillah udah dapat perawatan, tggl nngu hsilnya.]
[Makasih, ya, Sher]
[Kamu sarapan, jngan telat makan biar gak sakit] Mas ShohibPlease! Aku paling enggak bisa baca tulisan singkat begini. Syukurlah kalau enggak apa-apa, semoga hasilnya juga baik. Aku menjawabnya dalam hati. Pesan itu belum kubuka, baru muncul di ujung layar atas. Nenek dan kakek sudah jalan lebih dulu saat aku sedang fokus pada layar ponsel. Sebelum mengantongi benda pipih itu, aku mengecek jamnya kembali, pukul 06.15.
Di rumah, keluargaku sedang menyantap sarapan juga. Nasi, telur, dan ayamku ... mereka semua ludes tak tersisa hari ini. Biasanya, selalu ada nasi untuk makan siang tanpa perlu menanak lagi, kata Nenek saat aku hendak ke kamar. Waw! Bertambah tiga perut itu ternyata membutuhkan modal yang tak sedikit. Mama memanggilku dan aku menoleh, tanpa sadar orang-orang juga menatap kami bergantian. Ada apa dengan tatapan mereka?
"Naon?"
"Kadieu coba," ajak Mama ke arah dapur. Aku mengikutinya, mataku tak sengaja bersinggungan dengan Bi Ema yang berekspresi manyun. Aku menyamainya.
Mama tidak berhenti di dapur, tetapi di halaman belakang yang memperlihatkan hamparan tanah cokelat dengan daun-daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Aku tahu apa yang dia inginkan, berpura-pura lupa atau tidak acuh hal yang paling baik yang bisa aku lakukan saat bersamanya. Hanya satu pengakuan! Aku bisa hidup tanpa kehidupan darinya dan aku bahagia meskipun jadi anak yang tersisih.
"Mana duit, teh?" Tuh! "Tong bebeja ka¹ si Nenek. Pasti dibayar da." Dibayar sih, tapi lama.
Aku mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana dan menjawabnya, "Satu bulan, nya. Kade poho.²"
Senyum kemenangan aku berikan padanya dengan penuh rasa hormat. Ya, begitulah kiranya fakta pertemuan kami. Kenapa aku menyebutnya aneh salah satunya ya ini, kami bertemu jika ada sesuatu yang dia perlukan, jika bukan tenaga nenek berarti uangku!
Aku langsung meninggalkan Mama, tidak mau basa-basi dan terlambat kerja.
[Semoga hasilnya baik, ya, Mas Ody.]
[Oya, dirimu juga jangan telat makan, ya. Emang pasti gak enak, tapi paksain. Biar gak ikutan sakit.] Sherly LituhayuTerkirim! "Maaf Mas Ody, aku lupa belum jawab," gumamku sambil menaiki motor metik putih dengan pengendara pribadi yang sudah siap.
"Ngomong jeung saha³?" tanya Kakek menatapku aneh.
"Hehe, ngomong sendiri."
Parah, Hay! Telinga kakekmu itu, kan, anugerah terbesarnya, pendengaran amat tajam!
***
Tuh, kan! A Umay terlambat lagi. Semua pajangan sudah rapi tersusun, patung dengan model sama sudah aku ganti. Lantai sudah bersih, pelanggan juga sudah banyak yang datang, tapi dia belum datang juga. Giliran aku yang telat dia jutek banget, giliran dia cuma bilang 'maaf' setelahnya benerin pajangan atau nyalain kipas, kemudian duduk tampan. Dan ... taraaaa!
Suara Mio Soul sudah terdengar menggema di luar, hampir enam bulan dan aku sangat mengenali deru motor berusia delapan tahun itu. Di dalam, aku tengah membuka plastik dengan jilbab berwarna biru dongker dan hitam, warna favorit jaman sekarang karena bisa dipadukan di semua warna, baju terutama. Wanita tua di bawah kipas sedang menggendong bayi, pipinya masih sangat merah. Aku bergegas mematikan kipas, si ibu tersenyum dan terima kasih sudah mengerti. Wanita muda yang mengambil jilbab berwarna hitam itu sedang mencobanya di depan kaca, tepat di depan ibu tadi.
"Punten," sapaku karena aku tak tahu apa dia akan protes atau enggak.
"Gak papa, Teh," ucapnya mengangguk pada kami.
"Tah eta sae.⁴" Bukan suaraku. Itu suara laki-laki yang baru datang dan langsung menyambar pelanggan yang sedang aku layani. Kamvert! Kalau enggak lagi ngeladeni pembeli udah aku cerca dalam doa.
"Iya, jadi yang ini aja ya?" kataku mengambil kerudung biru dongker dari tangan ibu yang menggendong bayi.
"Iya, yang itu aja, Teh. Jadinya 45 ribu?" tanyanya pura-pura. Jelas kalau ini teknik tawar-menawar yang khas.
"Hehe ... 50, Bu. Udah murah."
Wanita itu tidak banyak mendebat. Selama dia belanja di sini, sejak hamil sampai sekarang, tidak pernah sekali pun tidak jadi beli. Ini tipe pembeli yang disukai semua penjual. Gak banyak tawar, gak banyak gaya, dan jadi beli!
Namun, hidup itu tak pernah datar. Kalau ibu-ibu tadi jadi membeli, ibu setelahnya belum tentu. Seperti wanita muda ini misalnya.
"Kan yang tadi juga bisa 50, kok saya gak bisa turun, sih?" imbuhnya ketus. Yang tadi mah bahannya juga Jersey, yang ini bahannya Seruti. Dari namanya aja udah beda buajiii. Sebel aku!
"Kan yang tadi mah bahanya Jersey. Kalau yang ibu mau ini bahannya Seruti. Seruti memang mahal harganya. Bahkan kainnya aja 60 ribu satu meter. Jadi, wajar kalau udah jadinya lebih mahal lagi," jelasku tak melepaskan senyuman. A Umay memperhatikan kami.
"Yaudah turunin lagi sedikit atuh, Teh."
"Ku abi gunting heulanya, pondokan?°¹ Hehe," tukas A Umay.
Bah! Hahaha, bisa wae juragan. Wanita muda itu juga tertawa.
"Bisa wae si Aa, mah. Jadi kumaha?" tanyanya lagi. A Umay malah menatapku yang kembali fokus melipat pakaian.
"Gimana, Teh?" tambah wanita muda tadi yang beralih mengikuti pandangan A Umay.
"Iya, Teh. Itu mah udah harganya, gak bisa turun lagi," jelasku, kemudian berlanjut merapikan kerudung yang tadi dibuka.
"Oh gitu? Yaudah," katanya.
"Yang ini aja, Bu?" tanyaku ingin mengakhiri.
"Yaudah, gak jadi aja, Teh. Kan, gak bisa kurang," timpalnya seraya menyimpan jilbab itu dan berlalu.
Mak deg!
__________________________________________
¹) Tong bebeja ka: Jangan bilang ke siapa-siapa.
²) Kade poho nya: Awas lupa, ya.
³) Ngomong jeung saha?: Bicara sama siapa?
⁴) Tah eta sae: Nah, itu bagus.
°¹) Ku abi gunting heulanya, pondokan?: Sama saya guntingin, ya. Kecilin!
KAMU SEDANG MEMBACA
Edrea Ivona [Completed]
Novela JuvenilAku berusia delapan belas tahun saat berani berkata kebenaran pada wanita sepuh yang mengajariku berbicara. Berusaha berjuang mengubah arus takdir. Meski pada kenyataannya kami tetap harus tinggal di belakang. Sherly Lituhayu nama pemberian dari ay...