2 - Kelulusan atau Ketulusan

94 31 49
                                    

"Biasa we atuh, Hay," balasnya dengan muka datar. Muka sewotku ternyata tak pernah membuatnya malu atau tersindir. Baru majas ironi ternyata, harus sarkas.

Tak menggubris perkataannya, aku berjalan melewati tubuhnya yang kurus tinggal tulang. Tinggi yang kini sama, kulit mulai keriput dan makin hitam, membuatku memalingkan wajah. Enggan menatapnya, melupakan tata krama yang seharusnya dilakukan. Yang dia lakukan pun tak jauh berbeda, bergulir begitu saja seperti waktu. Aku memegang gagang pintu, mengatur napas dan ekspresi sebelum masuk. Nenek tak suka kalau aku cemberut atau bermuram durja ketika pulang. Masalah di luar jangan dibawa masuk ke rumah, udah jelek tambah jelek, masa jadi cewek gak ada someah sama sekali. Begitu selalu yang diucapkannya.

Gagang pintu aku turunkan sampai menimbulkan bunyi biasa, mengucapkan salam dan terdengarlah suara-suara cempreng memekakkan telinga. Ruang pertama ini kosong, khusus tempat parkir motor. Membuka sendal Eiger yang aku kenakan ke tempat asalnya, rak sepatu, katanya. Padahal yang digunakan adalah alas meja tingkat yang di atasnya ada akuarium tak berisi. Belum melangkahkan kakiku ke ruangan selanjutnya. Pemilik suara-suara tadi sudah ada di belakangku, mengejutkanku.

"Teh Hay!" panggil mereka bersamaan. Empat orang anak yang beda usianya hanya selisih hitungan bulan saja tengah berjejer. Heran! Kenapa setiap hamil mereka bisa barengan. Mama, bibi-bibi, dan saudara jauh. Ya ... kata orang-orang keluargaku mempunyai rahim yang subur. Ah, bahkan saingan dengan keluarga sendiri saja sering terjadi. Hak kasih sayang, misalnya.

Mereka meraih dan mencium punggung tanganku. Tanda rasa hormat karena aku cucu paling besar di sini.

"Apa ...," jawabku dengan huruf 'a' di ujung dipanjangkan. "Dari kapan Tiara datang? Eh, Anna sama Moul, Kanay ...." Aku menyapa mereka. Tiara, si adik kedua. Anna dan Moul adalah sepupu.

"Ara baru nyampe tadi, Teh Hay. Hihi." Dia tersenyum sambil menunjukkan gigi-gigi susunya yang sudah tanggal. "Teh Hayu katanya mau perpisahan?" imbuh Kanaya—adik bungsu—datar, .

"Heem, hayu ah masuk. Capek." Aku pergi meninggalkan mereka. Enggak basa-basi aku hanya mengangguk pada Ayah mereka—Tiara dan Kanaya yang notabenenya adalah adik satu ibu—yang tengah duduk bersandar pada tembok sambil nonton tv. Aku langsung ke kamar lagi-lagi merebahkan diri di lantai, menatap langit kamar. Kenapa aku bisa lupa kalau seminggu lagi perpisahan.

Malamnya.

Aku kena pelototan mata tajam nenek. Bukan ingin membalas memelototi, tetapi saraf otakku sudah kehilangan fungsi untuk tetap diam saja, bukan juga ingin membuat kekacauan saat makan malam. Nyatanya ini sudah di luar batas toleransiku. "Nanti aku ganti," ucapnya polos.

"Mana ada? Belinya di warung Mang Rozak, di sekolah. Tanya dulu makanya, itukan jajanan mau Hayu makan sekarang!"

"Sherly!" bentak Nenek. Aku tahu, ini masalah sepele. Tapi ....

"Naon?" ucapku tak kalah ketus. "Si Mamah yang salah. Kenapa aku yang dimarahin."

Aku beranjak, tanpa memedulikan cerocosan sang Ibu Penguasa Rumah juga kata maaf dari bibir anaknya, ibuku. Mengunci diri di kamar adalah yang terbaik, meski aku yakin esok pagi cerocosan itu tak akan mereda. Aku meraih ponsel, ada beberapa pesan dari grup keagamaan yang aku ikuti dan dari grup kelas.

[Besok diukur baju, gengs. Jangan pada lupa, ya?] Shella Agustiana

[Ok, Cantek.] Sharah AWJ

[Eh, dimana teh?] Nudia Akmila

[Di bibinya Keke. Ya ampun, Teh Nud ke mana aja meni enggak tahu? 🤭😔] Shella Agustiana

[Jam berapa, euy? Bareng yu?] Lulu

[Yups, ketemuan di Kobong Ammah Lina, yuk?] Dwi

Tanpa bertanya pun informasi sudah jelas, bukan? Ah, aku paling tidak suka dengan ukur-mengukur badan. I'm is Curvy. Apalagi kita barengan dalam satu ruangan. Mereka tidak akan menertawakan tentu saja, tetapi aku risi membayangkan mereka tahu bentuk baju apa yang pas dengan badan sialan ini.

[Jam 10, ya. Jangan pada ngaret, bibiku banyak banget kerjaannya.]
[Stand by jam 9 di Ammah atau di aku. Ketemuan di gang deket pom bensin.]
[Duitnya jangan lupa dibawa] Keke

Anak satu ini bisa juga ngatur-ngatur, ya. Aku tersenyum getir, dia anak paling muda di kelas yang hanya berjumlah enam belas orang, tiga belas wanita dan sisanya laki-laki.

Keke sedang mengetik ....

[Jangan lupa bawa cemilan, ya?]

Gubrak! Emang ada-ada aja kelakukan ini bocah.

Paginya.

Fiting baju selesai. Yups! Aku kebagian terakhir dengan keikhlasan hati yang bersedia menunggu. Mungkin hari ini kebersamaan terakhir kami karena setelah perpisahan mereka akan mengurus keperluan masing-masing.

Kami berpisah setelah request untuk baju dan jilbabnya disepakati. Sebagian orang, termasuk aku memilih untuk langsung pulang. Sebagian lagi kembali ke Kobong untuk ikut pakai WiFi dan jajan seblak. Lumayan, kan, bisa nonton drakor sambil jajan bareng. Sebenarnya aku ingin melakukan itu 'tuk terakhir kali, tapi rasanya enggak mungkin menimang pesan Nenek tadi pagi yang sangat jelas. Mungkin beliau masih marah. Ah, sudahlah!

Ternyata tidak. Dia hanya menasihati supaya aku tidak terlalu kasar pada Mama. Baiklah. Toh, Mama di sini hanya beberapa hari. Aku akan melakukannya kalau begitu, asal Nenek tenteram dan enggak migrain.

"Em, Hayu mau nyoba kuliah di Bandung," ujarku akhirnya.

"Biayanya berapa? Yang deket dululah kenapa harus jauh ke Bandung?"

"Kan, biaya hidup di Bandung gak mahal, Nek? Di Sukabumi enggak ada universitas negeri."

"Terus? Ongkos ke sana udah punya? Siapa yang ongkosin? Biaya hidupnya yang murah dari siapa? Kamu bisa sendiri di sana, padahal nyuci baju aja masih dicuciin!" cercanya. Aku diam seribu kata.

Ibu juga kerja dulu kok, Hay. Malah kerja ibu di pabrik, tapi sekarang bisa tamat S1 tanpa ngebebanin orang tua. Ibu yakin, Hayu bisa lebih sukses dari ibu. Kata-kata Bu Siska selalu terngiang di saat begini. Aku takut, kalau takdir mengancamku untuk mengubur mimpi saat aku sudah terbangun untuk mencapainya.

***

Satu hari menjelang perpisahan.

Pembagian kelulusan diberikan hari ini, dengan nilai-nilai yang ... memuakkan. Itu kata Hasna. Bagiku angka 4 itu fantastis karena belajarku yang enggak maksimal dan malah memikirkan kuliah. Kami duduk berputar, membentuk lingkaran kecil, dengan menghadap pada tiga guru di depan. Aku duduk berdekatan dengan Lulu, Dwi, Hasna, dan Elvira.

Semua teman-teman hanya diam dan sesekali mengulum senyum saat berita satu per satu dikemukakan kepala sekolah, Bu Iin selaku wali kelas kami dan Bu Siska sebagai pendampingnya pun ikut hadir untuk sama-sama bernostalgia, saling memaafkan, dan berdiskusi ke depannya. Tak ayal obrolan pun beralih ke acara pelepasan besok. Hanya dua orang yang terlihat muram, aku menyentuh bahu Hasna untuk menyemangatinya. Dia memang bukan juara kelas, tetapi untuk nilai akademiknya tak diragukan lagi. Mungkin kalau nilai keagamaannya bagus dan enggak sering telat kayak aku, dia pasti mendapatkannya dengan mudah. Satu lagi Nudia, si juara kelas yang mungkin membatin dengan nilai akhirnya yang kurang memuaskan.

"Udah nentuin kuliah ke mana, kan? Ibu harap kalian gak putus sekolah dan terus semangat belajar." Bu Didah membuka pembicaraan dengan hal fatal karena kata-kata itu buatku meringis.

"Alhamdulillah, Dwi udah keterima di SEBI. Semoga semuanya bisa ikut nyusul Dwi, ya," imbuhnya sambil melihat Dwi yang ada di sebelahku, tepat di kananku. Aku hanya menunduk karena teman-teman pun ikut menatap ke arah kami.

Bu Iin dan Bu Siska ternyata bukan menatap ke arah Dwi, lebih tepatnya ke arahku. Bukan tatapan bangga, tetapi mengiba karena dari 13 anak hanya masa depanku yang tak terlihat dan tak tentu arah.

Di hari kelulusan, aku berharap dapat menerima hari selanjutnya dengan tulus. Meski bukan seperti yang didambakan, tetapi setidaknya tidak tergelincir terlalu curam.

Edrea Ivona [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang