Dimulai dari diskusi yang menjadi delusi. Akhir-akhir ini aku terlalu sering berkhayal. Membentangkan sayap kemudian terbang setinggi-tingginya agar mencapai angan dan kepuasaan. Melupakan sejenak cita-cita dan mimpi yang ternyata terlalu sulit untuk kugapai. Berjalan tujuh bulan bekerja, ke sana ke mari mencari informasi beasiswa. Namun ternyata, info yang didapat tidak valid atau yang lebih mengerikan program itu sudah dihapus dan lain sebagainya. Jadi, bukan berarti aku menyerah, oh, jangan sampai Gusti ... hanya saja beban itu terlalu berat jika harus kutanggung di pundak yang bahkan tidak bisa disebut bidang.
[Jangan telat makan siang kalau gak mau sakit] Mas Shohib
[Hihi, enggak dong. Ini lagi makan.] Sherly Lituhayu.
Aku seharusnya tidak menerima ajakan Mas Shohib untuk diskusi hari itu. Mungkin juga, aku bisa mengabaikan pesan tersebut dan pura-pura tertimbun chat yang lain, tapi aku enggak bisa. Aku menjawabnya bahkan dengan senang hati membicarakan perihal 'makna hijrah yang sesungguhnya' bersama laki-laki berusia 26 tahun ini. Ya, kami berbeda tujuh tahun, dia sangat dewasa untuk wanita dengan gaya kekanak-kanakan sepertiku.
[Jangan mikirin, Mas. Baca doa harusnya.] Mas Shohib
Aku terkekeh membaca pesan barusan, kurang asem emang! Tanpa dibaca, aku langsung mematikan ponsel saat kulihat Bos Subhan menuju ke mari. Dia telah menyelesaikan ibadah zuhurnya pada pukul 13.34, yang artinya makan siangku dilaksanakan pukul dua. A Umay libur karena ada keperluan mendesak, katanya, tak tahu ke mana. Tapi yang jelas tidak ada A Umay sama dengan telat makan, tidak ada A Umay sama saja membuatku menderita.
Kebohongan yang biasa aku lakukan semakin mendarah daging. Kalau itu nenek, kakek, atau orang-orang di dunia nyata yang bertanya, aku pasti jawab jujur, apa lagi perihal makan. Lah, pada Mas Shohib ngapain, ya kan? Dia enggak bakal ngasih makan kalaupun aku bilang belum. Perhatian? Preeet! Itu cuma basa-basi yang basi banget.
"Hay!" panggil Bos Subhan. Akhirnya ....
Senyumku tumbuh menjadi seringai, lalu bangkit menyambut seruannya, "Iya, Pak?" Sambil pasang wajah yang pura-pura bego.
"Pesen makan ke mana, Hay?" Yeay! Hayu udah pesen dong, Pak. "Sekalian sama saya ya. Laper eung!"
"Ke Teh Mia aja, Pak." Bos Subhan membalasnya dengan anggukan dan aku pun berbalik tanpa membutuhkan persetujuannya lagi.
***
Sandal berbahan karet dengan warna pink lecek itu belum diganti. Alas itu bahkan sudah tipis dan hampir berlubang, tetapi si Pemilik sepertinya biasa saja dengan hal yang bisa melukai kakinya. Wanita dengan watak aneh itu berkunjung ke rumah, bertamu ke orang tua kalau meminjam bahasanya. Aku masih berdiam di depan pintu saat kakek menyadarkanku untuk segera masuk.
Kakek membuka pintu dan langsung dihadiahi dengan raut wajah orang-orang yang hampir beberapa bulan tidak kutemui dan kuketahui keberadaannya. Mama dan kedua adik perempuanku sedang makan mie. Mereka menunjukan nyengir tak wajar dengan menampilkan semua giginya. Kakek masuk lebih dulu disusul aku yang lekas menutup pintu.
"Abah ... Teh Hayu ...," sapa Tiara dan Kanaya berbarengan. Wajah mereka tampak kusam juga tak terurus. Baju kaus yang dipakai, rambut yang sedikit acak-acakan, dan—
Aku memalingkan wajah ke mana saja, mungkin ke segala arah sampai menemukan cara yang tepat untuk memandang mereka, apalagi ibuku. Agar tatapanku benar, tidak mengasihani, tidak memandang aneh, atau yang lainnya.
"Karek balik lain¹?" tanya Mama setelah menyuapi anak bungsunya. Keliatannya? Cengiran Mama masih menghiasi wajah sayu itu, sorot mata yang tak bisa diartikan tengah menatapku, menanti jawaban.
"Heem," jawabku singkat. "Di mana bapak barudak²?"
"Geus paeh!³" balas Mama. Ah! Aku tahu kenapa dia mampir ke sini. Watak seseorang memang tidak bisa berubah cepat meski takdir sudah memorakporandakan mereka.
"Hush! Jangan seenaknya kalau ngomong. Gimana kalau diijabah?" kataku ketus. "Hayu mau bersih-bersih dulu." Sebelum berlalu aku menyapa kedua adikku sejenak, mengacak rambut mereka.
Ternyata nenek ada di kamar. Ruang berbentuk persegi panjang sempit yang muat di isi satu ranjang dan satu lemari saja. Nenek ingin meminjam uang untuk anaknya, Bi Iya. Beliau bilang untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga selama satu minggu ini dan berjanji akan menggantinya bulan depan.
Dan aku mengajukan pertanyaan pertama dengan keyakinan jawaban memenuhi otakku. "Uangnya udah dikasih?"
"Engges. Kan minjemna ge tadi berang."
"Terus kenapa tanya boleh atau enggak kalau uangnya udah dikasih? Toh, gak bisa diambil lagi sekarang, kan?" Aku menyakitinya, aku yakin bahwa kata-kata sindiran ini melukai perasaanya. Akan tetapi, beliau sangat lihai dalam menyembunyikan.
"Iya, basa-basi aja gitu. Maafnya, uang Hayu kepake lagi."
Aku mengangguk, belum percakapan ini selesai teriakan lain sudah menyapa telingaku.
"Hay!" Pintu itu terbuka bersamaan suara berat kakek. "Boga duit, teu? Pangbelikeun rokoknya, satengah we."
Tersenyum, mengangguk, tersenyum mengangguk, kenapa kepalaku tak bisa menggeleng bahkan untuk sekali saja pada permintaan mereka.
Masih berpakaian lengkap, aku menaruh tas yang tanpa sadar masih kugendong. Beranjak keluar kamar dan meninggalkan nenek yang jadi melamun setelah kakek pergi. Aku menyenggolnya dan bertanya ingin titip apa dari warung. Kepala yang dipenuhi rambut putih itu menggeleng.
Melewati ruangan yang tadi ditempati Mama dan buru-buru keluar. Kalau mereka ikut ke warung, mungkin gaji lima puluh lima ribuku akan ludes seketika. Membayangkan saja sudah menakutkan apalagi benar-benar terjad—
"Hayu!" teriak Mama yang langsung kujawab dengan balik badan. Dia sendiri!
"Mama mau ngobrol. Sambil jalan, we."
"Naon," balasku ketus.
"Mama pinjem uang." Kan .... Aku bilang apa? Aku tahu alasan wanita ini kemari. "150.000 nanti akhir bulan diganti. Mang Maloy dagangna ewehan, jaba geringan wae. Aya meren sakitu mah.⁴"
"Ada," kataku singkat. Hahaha, setelah ini aku merutuki kebodohanku karena membenci sekaligus menyayanginya!
Izinkan aku bertanya? Kenapa kau meninggalkanku kalau hanya membuat hidupmu lebih menyedihkan dan menderita? Kenapa kau memilih durhaka jika setelahnya kau kembali meminta bantuan dari orang tua?
_________________________________________
Catatan kaki:
¹) Karek balik lain?: Baru pulang bukan?
²) Barudak: Anak-anak.
³) Geus paeh!: Sudah mati!
⁴) Mang Maloy dagangna ewehan, jaba geringan wae. Aya meren sakitu mah: Mang Maloy (Subjek, panggilan Mang itu khusus bagi orang dewasa laki-laki (Sunda) jualannya gak laku, terus penyakitan. Ada kali segitu (uang))
![](https://img.wattpad.com/cover/231663160-288-k348132.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Edrea Ivona [Completed]
Teen FictionAku berusia delapan belas tahun saat berani berkata kebenaran pada wanita sepuh yang mengajariku berbicara. Berusaha berjuang mengubah arus takdir. Meski pada kenyataannya kami tetap harus tinggal di belakang. Sherly Lituhayu nama pemberian dari ay...