Ch. 02 🔮 Truth

25.7K 3K 162
                                    

               ✧           .      '          ❀          ,              ,        .    ✧                °

                     ᵐ ᵃ ᵍ ᶦ ᶜ ᵃ ˡ     ˡ ᵒ ᵛ ᵉ
                          ᴄʜᴀᴘᴛᴇʀ ᴛᴡᴏ

 "              .     *           °        .         ✱       .     


Keesokan paginya Draco bangun dengan suasana hati yang buruk. Seprai kasurlah yang menjadi pencetusnya. Oh betapa dia merindukan kasurnya yang berbalut seprai sutra berkualitas premium di kediaman Malfoy. Hal itu membuatnya kesal. Ayahnya harus mendengar tentang hal in-

"Oh, ya…." Draco seketika itu teringat bahwa nama keluarga Malfoy telah kehilangan kepercayaan di mata dunia sihir Inggris.

Jadi dia hanya bisa menghela napas. Lebih baik dia mandi di kamar mandi dalam kamar tidurnya. Salah satu keuntungan tidak memiliki teman sekamar; dia bisa menggunakan kamar mandi kapanpun dan selama apapun yang dia mau. Persediaan air hangat untuknya semua –walau Draco lebih sering mandi dengan air dingin.

Beruntung sekali hanya ada sembilan siswa laki-laki tahun tujuh yang kembali untuk mengulang pelajaran. Dan Draco adalah satu-satunya siswa Slytherin di antara mereka.

Setiap kamar di asrama Secretus Prisma berisi dua kasur yang dilengkapi sebuah kamar mandi. Sebenarnya tidak ada yang spesial di asrama itu. Tidak ada atribut keempat asrama Hogwarts yang dipajang. Satu-satunya hiasan di asrama itu adalah kaca-kaca prisma di dinding lorong dan ruang santai yang memantulkan cahaya dari jendela. Cahaya yang dipantulkan benar-benar indah. Bak pelangi bercahaya yang menyinari ruang asrama mereka. Konsep pencahayaan yang sama persis dengan yang digunakan Draco untuk vila pribadinya. Benar-benar pemandangan yang menakjubkan.

Satu-satunya indentitas penunjuk penghuni asrama itu hanyalah simbol Hogwarts yang dilukis ditengah-tengah dua pintu masuk asrama.

"Hmm, mungkin aku harus membaca edisi baru buku Hogwarts: A History. Siapa yang tahu ada rahasia apa saja yang tersimpan di sisi baru kastil Hogwarts ini," pikir Draco seraya memasuki kamar mandi.

Selesai menyimpul dasinya dengan sempurna, Draco memperkirakan dia masih punya waktu satu jam sebelum waktu sarapan selesai. Saat keluar dari kamarnya, Draco melihat asramanya sangat sepi. Nampaknya seluruh siswa-siswi tahun delapan sudah pergi ke aula utama untuk sarapan. Ketika Draco hendak membuka pintu asrama, dia mendengar suara derap langkah cepat dan sesaat kemudian tubuh Draco terhempas ke depan menghantam pintu, terdorong oleh seseorang dari belakang.

"Oh, Merlin, maaf! Aku sedang terburu-buru dan kukira semua orang sudah pergi meninggalkan asrama," ucap Potter sambil membetulkan posisi kacamatanya dan melihat ke depan.

"Potter," Draco menyerukan nama itu dengan muak, "bagaimana kau tidak bisa melihatku dengan kacamatamu itu benar-benar mengherankan."

"M-Malfoy…" Potter nampak terkejut dan tubuhnya menjadi kaku.

A-ha! Sekarang adalah waktu yang tepat untuk menginterogasi remaja berambut gelap ini, pikir Draco. Jadi ketika dia melihat tangan Potter hendak meraih gagang pintu—sepertinya dia berniat kabur keluar asrama—, Draco menegakkan badannya dan melangkah mendahului Potter, berdiri di belakang pintu menghalangi jalan keluar.

"Tidak secepat itu, Potter. Kita masih punya urusan yang belum terselesaikan." Draco mengangkat dagu.

"U-urusan apa, Malfoy? Bisakah kita bicarakan nanti saja? Kita akan melewatkan waktu sarapan." Potter kembali berusaha meraih pintu.

"Tidak, Potter. Sebelumnya kamu telah menghindar dan aku memiliki firasat yang jitu bahwa kau akan menghindar lagi nanti. Jadi sekarang, Potter, kuminta untuk yang terakhir kalinya, kembalikan tongkatku." Draco menatap tajam mata sang remaja yang lebih pendek darinya itu.

Potter menelan ludah.

"Potter, aku akan tetap menunggu di sini sampai kau mengembalikan tongkatku." Draco menyilangkan kedua lengannya di depan dada.

Beberapa waktu yang sangat singkat kemudian Potter menghela napas, menyerah.

"Baiklah, aku menyimpannya di koper. Ayo kita ambil." Potter berjalan kembali menuju kamarnya.

Draco mengerutkan kening. Aneh sekali Potter membiarkannya memasuki kamarnya. Lagi pula kenapa Draco harus mengikutinya? Potter bisa mengambilkan tongkatnya selagi dia menunggu di ruang santai.

Saat Draco melangkah masuk kamar Potter, kakinya berhenti di ambang pintu. Diperhatikannya bahwa kamar itu hanya dihuni satu orang.

"Kupikir kau sekamar dengan Weasley?" Draco ingat betul saat pembagian kamar, Potter dipasangkan dengan Weasley sahabatnya. Draco, penuh rasa syukur, tidak mendapat seorang siswa tahun delapan yang tersisa untuk berbagi kamar.

Potter yang tengah membuka kopernya terperanjat kaget mendengar suara Draco dan tanpa sengaja melepaskan penutup kopernya hingga tertutup kembali.

"Apa? Tidak. Tidak, Ron memutuskan untuk bergabung dengan Hermione di kamarnya." Potter memiringkan kepalanya, menatap Draco dengan mata waspada. Ada kesan hampa dalam suara Potter.

"Tentu saja. Tidak ada lagi larangan untuk para murid tahun delapan rupanya. Potter, tongkatku." Draco menengadahkan tangannya kepada Potter.

"Er…ya." Potter kembali membuka kopernya dan mencari-cari di dasar koper yang isinya berantakan.

Potter kemudian mengeluarkan kantong beludru berwarna hijau. Dia melangkah menghampiri Draco. Saat jarak di antara mereka hanya sepanjang dua langkah, Potter mengeluarkan isi kantong tersebut.

Kesunyian melanda seketika.

"Potter, apa itu?" tanya Draco, hampir tanpa emosi.

"Er..tongkatmu."

Suasana benar-benar sunyi senyap.

"Apa kau bilang tadi?"

"Tongkat—"

Benar-benar keheningan yang memekakkan telinga hingga Draco tak bisa mendengar apa yang Potter ucapkan.

Draco yakin wajahnya kini sepucat merak-merak albino di kediaman keluarga Malfoy. Dia sedang memandangi apa yang terlihat seperti kepingan kayu Hawthorn di tangan Potter.

"Um… Malfoy?"

"Wow, Potter, untuk sesaat kukira itu mirip seperti sisa-sisa tongkatku." Suara Draco sangat datar.

"Uh, ini memang tongkatmu…."

Tongkat sihir Draco yang terpecah belah.

Wajah Draco menjadi pucat pasi. Potter sudah bersiap-siap dengan tongkat sihirnya jika dia harus menggunakan mantra Levicorpus untuk melayangkan sang remaja beramput pirang itu jika dia jatuh pingsan karena terguncang. Draco merasa kakinya berubah menjadi selembek jeli. Tapi, tidak, dia bisa mengendalikan diri. Dia akan tegar berdiri dengan tegak, tidak panik, tidak menjerit, tidak menangis. Draco memegang rangka pintu, menenangkan detak jantung dan suaranya.

"Potter, apa yang telah terjadi pada tongkatku?" Draco memejamkan mata, menahan emosi.

"Yah, ketika aku bertarung dengan Voldemort, dia melemparkan mantra mematikan dengan menggunakan Tongkat Elder. Mantranya mengenai tongkatmu yang saat itu kugunakan, lalu, um…." Daripada melanjutkan kalimatnya, Potter menyerahkan tongkat yang terpecah belah itu kepada Draco seraya menundukkan kepala, tidak berani menatap Draco.

Kesunyian berlanjut.

Draco melangkah maju dan mengambil ketiga kepingan tongkatnya beserta kantong beludru hijaunya dari tangan Potter. Dia memasukkan kepingan tongkatnya ke dalam kantong kecil tersebut dan pergi tanpa kata. Potter melihatnya berjalan ke arah kamarnya yang terletak paling ujung.

Sesampainya di kamar, Draco menatap kantong hijau di tangannya. Dia terus memandanginya tanpa bergeming. Kemudian dia bergerak menuju kopernya dan meletakkan kantong hijau tersebut di dalam koper dengan hati-hati.

✧, ♡ . ´ ° 𝐌𝐀𝐆𝐈𝐂𝐀𝐋 𝐋𝐎𝐕𝐄 .° ' ,♡ .
⠈⠂⠄⠄⠂⠁⠁⠂⠄⠄⠂⠁⠁⠂⠄⠄⠂⠁⠁⠂⠄⠄⠂⠁

𝕸𝐀𝐆𝐈𝐂𝐀𝐋 𝕷𝐎𝐕𝐄 [ᴅʀᴀʀʀʏ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang