Hari ini aku pergi memeriksa kandungan. Tentu saja tidak sendirian melainkan dengan Gus Aji yang mengantar.
Sebenci apa pun dia padaku, Gus Aji tidak bisa menolak permintaan Umi yang menyuruhnya mengantarku.
Sama seperti saat kami dijodohkan, dia tidak bisa menghindar karena birrul walidain-nya yang luar biasa kepada kedua orang tuanya.
Abahku dan Abah Gus Aji adalah sahabat semenjak lama. Persahabatan mereka terjalin sejak belia ketika masih sama-sama santri yang ber-tholabul-ilmu di salah satu pondok pesantren Madura. Bisa dibilang, persahabatan beliau berdua sama seperti persahabatan Gus Aji sendiri dengan Gus Adhim, kakak Neng Zulfa yang mereka jalin saat masih sama-sama mengenyam bangku pendidikan pondok pesantren di Ponorogo.
Segala cara kulakukan agar Abah mau menikahkanku dengan Gus Aji.
Jangan salah! Meski keinginanku selalu beliau turuti hanya satu itu yang kuperoleh setelah hampir mati dehidrasi. Aku mengurung diri di kamar berhari-hari tanpa bicara, makan, dan minum hingga Abah akhirnya luluh saat pintu kamarku berhasil didobrak dari luar dan beliau menemukan diriku yang pucat dan hampir hilang kesadaran. Mungkin juga sudah di ambang kematian.
Sejak aku masih mondok di pesantren keluarga Gus Fatih di Jombang, aku selalu membujuk Abah agar mau menjodohkanku dengan Gus Aji, laki-laki yang bisa menguasai hatiku untuk pertama dan terakhir kali. Pasti tidak sulit karena Abah dan Kiai Baihaqi, abahnya Gus Aji adalah sahabat.
Namun bukannya mengabulkan, Abah menolaknya terang-terangan. Maka hari itu, ketika aku yang masih duduk di bangku kelas 3 aliyah (setingkat dengan SMA) menangis tersedu di hadapannya karena permintaanku yang tidak bisa dikabulkannya, aku mengingat hari itu sebagai hari di mana aku memperoleh penolakan Abah yang pertama.
Hari-hari selanjutnya aku terus melayangkan permintaan yang sama kepada Abah namun tidak beliau gubris sampai aku lulus madrasah aliyah dan boyong kemudian melakukan pengurungan diri itu.
Abah menuruti keinginanku dan Gus Aji pun menjadi suamiku.
Alasannya satu, Gus Aji tidak bisa menolakku karena baktinya kepada Abahnya. Dan Abahnya, Kiai Baihaqi sangat menghargai Abahku sebagai sahabatnya.
Gus Aji menikahiku sekalipun terpaksa dan hari ini mau mengantarku karena sebab-musabab yang sama. Baktinya kepada orang tua.
Haah~ Bagaimana aku tidak mencintainya kalau dia didamba oleh banyak wanita dan pada kedua orang tuanya memiliki sikap yang begitu terpujinya?
Setelah menghabiskan beberapa menit perjalanan, Alphard hitam Gus Aji melirih kemudian berbelok ke dalam sebuah halaman klinik obgyn milik anak perempuan Dokter Helly.
Dokter Helly adalah dokter umum, jadi beliau merekomendasikan aku pergi memeriksakan kandungan kepada putrinya saja yang merupakan spesialis kandungan. Namanya Dokter Silvi.
Daripada repot ke rumah sakit, Umi Gus Aji menghendakiku pergi ke klinik ini saja karena kata beliau, Dokter Silvi tidak kalah berpengalamannya dari dokter-dokter kandungan yang ada di seluruh rumah sakit Kota Sidoarjo.
Kliniknya cukup besar. Aku dan Gus Aji masuk ke dalam dengan berjalan saling bersisian.
Sebenarnya aku ingin menggandeng tangannya jika bisa, namun laki-laki itu memasukkan kedua tangannya ke saku jaket kulit yang dia kenakan. Hendak menggamit, aku cukup sadar diri jika Gus Aji tidak akan sudi. Jadi meski jalan bersisian kami seperti dua orang asing yang tidak saling kenal.
Menyedihkan.
"Monggo, silakan masuk, Gus, Neng!"
Seorang perempuan berjilbab cokelat tua dengan wajah cerah bak sinar matahari pagi menyambut kami saat aku dan Gus Aji masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
Sebelum ke mari kami sudah membuat janji dengan bantuan Umi dan Dokter Helly. Sehingga saat masuk ke dalam dan melakukan konfirmasi kedatangan kepada bagian resepsionis, aku dan Gus Aji langsung dipersilakan masuk. Padahal jika ditilik, pada kursi tunggu yang jumlahnya mencapai belasan bahkan lebih, sudah terdapat banyak orang yang mengantre. Entah pasangan suami-istri atau seorang wanita yang terlihat duduk bersama teman atau keluarganya sampai yang terlihat sendirian saja. Kebetulan Dokter Silvi baru saja menyelesaikan sesi konsultasinya dengan pasiennya yang sebelumnya.
Sebenarnya ada dua orang obgyn di klinik ini, terlihat jelas dari jumlah ruangan pemeriksaan yang tersedia. Namun entah kebetulan juga atau apa, Dokter Silvi sendiri yang akan memeriksaku.
Pandanganku langsung mengedar ke ruangan bernuansa putih yang baru kumasuki, mencari keberadaan Dokter Silvi. Namun seberapa banyak mataku menatap sekeliling, tidak ada orang lain di dalam ruang pemeriksaan selain perempuan berjilbab cokelat tua yang tadi menyambutku dengan senyum cerahnya.
"Mari Neng Shofiya, Gus Aji! Duduk dulu!" Suara perempuan itu menarik penuh atensiku.
Aku segera mengambil kursi dan duduk di depan meja kayu berlapis kaca yang di atasnya terdapat papan nama berbahan kaca akrilik bertuliskan dr. Silviana Mecca, Sp.OG. yang diukir indah.
Tidak salah lagi, ini pasti ruangan Dokter Silvi!
Gus Aji menarik kursi dan duduk di kursi yang ada di samping kananku.
Perempuan berjilbab cokelat tua itu duduk di kursi tunggal yang ada di depanku.
Kemudian aku baru sadar jika Dokter Silvi adalah perempuan cantik dengan senyum cerah itu.
Kupikir, Dokter Silvi putri dari Dokter Helly yang sebelumnya memeriksa kehamilanku adalah perempuan dewasa dengan rentang usia akhir dua puluhan atau awal tiga puluhan. Namun aku salah, Dokter Silvi ternyata seorang perempuan muda yang dari wajahnya sepertinya seusia Gus Aji atau bahkan lebih muda lagi. Dia memiliki paras dengan tipe kecantikan alami dan inner beauty yang memancar. Susunan wajahnya pun manis menawan.
"Suwe ora ketemu, Vi." (Lama tidak bertemu, Vi.)
Suara berat Gus Aji membuatku berhenti mengagumi kecantikan Dokter Silvi.
Menolehnya, kutemukan Gus Aji yang menatap lurus Dokter Silvi dengan lengkungan senyum di bibirnya.
Saat kutatap sang penerima kudapati raut semringah yang sama. "Hahaha. Iya, Gus. Lama tidak bertemu." Dokter Silvi menyahut sambil tertawa menampakkan barisan gigi putih rapinya.
Mereka saling lempar senyum seolah tidak ada aku di sana.
Ada apa?
Jadi, mereka saling mengenal sebelumnya?
Bagaimana bisa?
Anamnesis pun dimulai setelahnya. Gus Aji dan Dokter Silvi tidak berkata-kata lagi ganti aku yang seolah diwawancarai oleh Dokter Silvi. Tanya-jawab biasa yang dilakukan seorang dokter dengan pasien.
Chapter four > FIN / 20 Aug 2020
A/n: Jadi makin panjang 😅
Catatan baru: Jangan terlalu dinanti jika tidak ingin sakit hati 🥲🙏🏻💔

KAMU SEDANG MEMBACA
SHOFIYA NADA HANNAN
General Fiction[Spin-off Neng Zulfa: Part Gus Aji dan Neng Shofiya ] Shofiya hanya mencintai Aji Shaka, suaminya. Namun sepertinya, sampai mati pun Aji tidak akan pernah membalas cintanya. A short story by Puput Pelangi