Dia akhirnya tahu.
Pagi ini, setelah sarapan dan melakukan kegiatan lain di ndalem. Kepalaku mendadak terasa pening dan aku jatuh pingsan.
Aku tak ingat apa-apa. Namun, ketika kesadaran kembali memeluk dan kedua kelopak mataku terbuka, tubuhku tiba-tiba sudah terbaring di atas ranjang.
Seorang dokter dengan wajah teduh tersenyum padaku di balik balutan jilbab birunya. Dokter Helly. Perempuan paruh baya yang kuketahui sebagai dokter keluarga ndalem Sidoarjo---ndalem kedua mertuaku itu memberi tahu segalanya.
"Sudah sadar rupanya." Dokter Helly masih mempertahankan senyum di wajahnya.
"Jadi apa yang terjadi kepada menantuku, Dok?" Umi---panggilan yang kutunjukkan kepada mertuaku yang tak lain Ibu Gus Aji---melayangkan tanya pada dokter Helly. Aku baru sadar ternyata ibu mertuaku itu berada di sampingku. Beliau duduk di tepi ranjang yang sedang kutiduri.
Diam-diam aku kemudian mencari keberadaan Gus Aji.
Ketemu.
Suamiku itu berdiri dengan tangan bersedekap menatapku. Ada Abah di sisinya. Aku membiarkan pandangan mata kami beradu setelahnya.
"Biasa, Bu Nyai. Menantu njenengan kecapekan. Bulan-bulan di awal kehamilan tubuh ibu hamil memang mudah lemas dan kelelahan." Dokter Helly berkata.
"Apa? Hamil, Dok?"
Mendengar penuturan Dokter Helly, suara Umi terdengar naik beberapa oktaf dengan nada tak percaya. Tidak perlu melihat wajahnya, dari suaranya aku tahu Umi terkejut. Apa lagi? Beliau pasti kaget karena beliau memang tahu bagaimana hubungan rumah tanggaku selama ini dengan Gus Aji.
Di sisi lain aku tetap bertukar pandang dengan Gus Aji yang wajahnya hampir tidak menunjukkan perubahan sama sekali keculi sebelah alisnya yang sedikit terangkat.
"Iya, Bu Nyai. Menantu njenengan sedang hamil. Hampir menginjak dua bulan."
"Syukur alhamdulillah ya Rob!" Umi berseru senang. "Bah! Abah! Mantu kita hamil, Bah." Beliau beranjak dari duduknya di tepian ranjang dan menghampiri Abah.
Karena Gus Aji mengalihkan pandangannya sebentar untuk menatap kedua orang tuanya yang sedang berbahagia aku pun melakukan hal yang sama.
"Kita akan punya cucu, Bah!" seru Umi dengan wajah gembira.
"Iya, Mi. Alhamdulillah." Abah Gus Aji mengiyakan dengan raut wajah yang serupa.
Andai suamiku seperti mereka.
Setelah berbincang beberapa lama, Dokter Helly kemudian pamit undur diri. Aku berakhir saling pandang lagi dengan Gus Aji.
Rasanya ... aku benar-benar ingin menangis saat ini.
Seperti tadi, suamiku itu hanya diam. Bahkan saat Abah mengucapkan selamat atas kehamilanku sembari menepuk-nepuk bahunya dia tidak berkata-kata.
Tatapannya padaku pun masih sama.
Dingin membekukan dan penuh kebencian.
Aku kembali merasa terbuang.
"Selamat ya, Nduk. Umi senang mendengar kamu sudah hamil," kata Umi dengan senyumnya yang cerah lagi hangat. Beliau sudah duduk lagi di sampingku. "Kata Dokter Helly sudah dua bulanan, masa sebelumnya kamu tidak tahu?"
Aku membalasnya dengan senyum terpaksaku.
Tentu saja aku mengetahuinya bahkan sejak bulan pertama. Tapi tetap saja, mana mungkin aku bercerita saat kehamilan ini adalah hasil dari aku yang menjebak putranya? Gus Aji bahkan bersikap lebih memusuhiku semenjak malam itu. Oleh karena itu aku merasa ragu untuk memberi tahu siapa pun karena belum siap menghadapi situasi yang seperti ini (dengan suamiku sendiri).
Melupakan pertanyaannya yang tadi, Umi lalu mengatakan banyak hal mengenai perempuan hamil, gejalanya, pantangan-pantangan yang dipercayai tidak boleh dilanggar oleh masyarakat Jawa, doa yang sebaiknya selalu kubaca, pun makanan dan minuman yang dianjurkan untuk kukonsumsi.
Semuanya kudengar tanpa perhatian.
Saat lama kelamaan Gus Aji keluar dari kamar menyusul Abah yang sudah pergi sejak tadi, aku bisa merasakan setetes air mata yang basah di pipi.
Sudah tak terbendung lagi.
Keterdiaman Gus Aji adalah siksaanku selama ini. Dan sekarang, bungkamnya adalah dosa yang kuterima karena cintaku yang sangat besar kepadanya.
Ya. Meski di sisi lain aku tidak menampik fakta, di matanya, mungkin rasaku adalah obsesi gila.
Namun aku memang benar mencintainya.
Jadi aku harus bagaimana?
Chapter two > FIN / 6 Aug 2020

KAMU SEDANG MEMBACA
SHOFIYA NADA HANNAN
Ficción General[Spin-off Neng Zulfa: Part Gus Aji dan Neng Shofiya ] Shofiya hanya mencintai Aji Shaka, suaminya. Namun sepertinya, sampai mati pun Aji tidak akan pernah membalas cintanya. A short story by Puput Pelangi