SHOFIYA NADA HANNAN / 03

1K 100 16
                                    

"Sampai kapan akan mengabaikanku dan anakmu, Gus?"

Sore hari, aku sedang menyeduh susu hamil di dapur saat Gus Aji yang baru pulang dari kantornya berdiri tidak jauh dariku.

Aku di depan meja pantry sedangkan dia berdiri di depan pintu kulkas yang terbuka dengan sebotol air mineral dingin di genggaman tangannya.

Melirikku sebentar laki-laki itu menenggak minumnya dalam diam.

Dia masih memakai setelan kerjanya, celana kain hitam dengan kemeja putih yang berbalut jas kerja warna hitam yang lengannya digulung sebatas siku. Pantofel pria yang warnanya sukar dibedakan entah cokelat atau hitam menjadi alas kakinya. Di ndalem keluarga ini semua orang memang mengenakan alas kaki meski berada di dalam.

Gus Aji menyelesaikan acara minumnya kemudian mengembalikan botol air itu ke dalam bilik kulkas.

Kupikir, suamiku itu akan mengatakan sesuatu padaku karena tadi sempat melirikku. Namun tidak, dia langsung berbalik menuju pintu penghubung dapur khusus ndalem dan ruang makan, berniat pergi mau meninggalkanku sendiri setelah menutup pintu lemari pendingin.

Dia masih mengabaikanku.

Tuk

Merasa kesal, kuletakkan dengan kasar sendok teh yang baru saja kugunakan untuk mengaduk susu ke meja kemudian berjalan cepat menyusulnya.

"Mas mau ke mana?" ucapku menahan tangannya. "Jangan menyalahkanku untuk semuanya!"

Gus Aji menghentikan langkah dan berbalik setelahnya. Ekspresi wajah yang ditunjukkannya masih seperti biasa ketika dia menatapku. Dingin dan tidak bersahabat. Saat manik hitamnya kemudian menyorot lengannya yang kupegang, aku langsung menarik tanganku sembari membalasnya dengan tatapan tajam.

"Kamu tidak bisa mengabaikanku terus seperti ini, Gus!" kataku kemudian merapatkan gigi.

Ya, beginilah aku saat berkomunikasi satu arah dengannya. Kadang dia kupanggil 'Mas' dan kadang kupanggil 'Gus'. Semuanya sesuka hati. Dan yang kumaksud komunikasi satu arah di sini adalah aku yang selalu bicara sendiri tanpa respons darinya sedangkan Gus Aji hanya diam bak prasasti atau batu arca.

Aku benci kebergemingannya.

"Bagaimanapun, aku adalah istrimu, Gus. Perempuan yang kamu nikahi dengan Abahku yang mengucapkan ijab dan kamu sendiri yang mengucapkan qobul. Para masayikh yang menjadi saksi pernikahan kita dan mereka pula yang mendoakannya. Kamu tidak bisa terus mengabaikanku yang saat ini mengandung anakmu! Kamu tidak bisa mengabaikan kami, Gus! Karena bagaimanapun juga, anak ini adalah darah dagingmu sendiri!"

Berapi-api aku menatapnya dengan wajah yang sedikit menantang. Tidak usah mengurus sekitar. Aku yakin di ndalem ini tidak ada siapa pun selain kami berdua. Abah dan Umi Gus Aji sedang pergi menghadiri undangan mantenan (pernikahan) dan para abdi ndalem sedang kembali ke kamar asramanya masing-masing. Jadi jika sekarang kami harus bertengkar sekalipun, aku tidak masalah karena merasa tidak memiliki beban dan harus menjaga sikap.

Gus Aji akhirnya menatapku dengan perubahan di wajah bekunya. Kedua alisnya sedikit terangkat. Rahangnya tampak mengeras dan aku tahu, suamiku itu akhirnya tersulut seperti keinginanku. Laki-laki itu melemparkan tatapan nyalang ke arahku dan aku tersenyum lebar untuk itu.

"Kenapa? Sampean mau memukulku?" tantangku melihat kedua tangannya yang terkepal kuat dengan suara yang sengaja kukatakan setenang mungkin. "Pukul, Gus! Pukul saja!" seruku masih bernada tenang sembari mendekatkan diri ke arahnya.

Gus Aji menghela kasar napasnya. "Jangan uji kesabaran saya, Shofiya!" Laki-laki itu akhirnya bersuara sebelum memejamkan kedua matanya sebentar.

Aku menikmati bagaimana Gus Aji mencoba menahan emosinya itu.

"Kenapa, Gus?" sahutku saat suamiku itu membuka pejamannya.

Dia kembali tak bersuara.

"Kamu takut berakhir menganiaya perempuan ular ini?" tanyaku tanpa berpikir sama sekali.

Aku yakin, di mata Aji Shaka aku memang seperti apa yang barusan kukatakan.  Perempuan ular. Bagaimana aku memfitnah Neng Zulfa, perempuan yang dicintainya saat kami masih mondok dulu pasti membuatku mendapat julukan itu di matanya.

Tidak mengapa. Toh aku memang sejahat itu pada Neng Zulfa. Dulu aku tidak pernah bersikap baik kepadanya. Perempuan yang nyaris sempurna dengan wajah dan kepribadian seorang dewi. Disandingkan dengannya aku hanya jelmaan iblis di dunia ini.

Pantas memang jika Gus Aji begitu memuja dan mencintainya walau saat ini Neng Zulfa sudah menikah dengan Gus Fatih, putra Kiai Adnan, kiai kami ketika masih sama-sama mondok di Jombang. Gus Aji di pondok pesantren putra Nurul Anwar sedangkan aku dan Neng Zulfa di pondok pesantren putri Al-Khadijah yang masih satu yayasan di bawah asuhan Kiai Adnan dan Bu Nyai Fatimah.

Perbuatan yang terakhir kulakukan padanya pun mungkin sudah di luar batas menurutnya; menjebaknya dengan obat tidur dan obat perangsang sehingga aku bisa mengandung seperti sekarang. Tapi aku istrinya bukan? Memangnya istri mana yang bisa tahan tidak dianggap dan dipandang oleh suaminya sendiri? Bahkan berbulan-bulan setelah pernikahan kami, Gus Aji belum pernah menyentuhku sama sekali. Benar-benar tidak menyentuh. Melihat saja enggan, apalagi melakukan sentuhan yang lain sekecil bersalaman sekali pun.

Selain dingin Gus Aji benar-benar tidak tersentuh. Ia berhasil kusentuh hanya saat kegilaan menguasai kepalaku. Aku takut kehilangan suamiku hingga malam itu aku nekat bertindak di luar batas sampai dia beralih dari tidak menyukai menjadi membenciku.

Tapi sungguh, setidak-sukanya dia kepadaku bahkan sampai begitu membenciku, bukanlah hal yang adil jika dia membenci benihnya yang terlanjur tumbuh dalam rahimku.

Anak ini tidak bersalah. Dia suci seperti baju putih yang bersih belum pernah tercemar noda sama sekali. Gus Aji harus mengerti hal yang satu ini. Dia harus menerima anaknya, darah dagingnya.

Chapter three > FIN / 8 Aug 2020

A/n: Lama-lama kok jadi makin panjang aja chapter-nya. Padahal niat awal mau bikin short story aja wkwk.

SHOFIYA NADA HANNANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang