SHOFIYA NADA HANNAN / 05

356 50 23
                                    

Assalamualaikum. Haloo, masih ada yang baca? Semoga masih, yaa 🙈

Tolong kasih tahu Puput kalau ada typo atau kalimat yang janggal.

Disarankan baca ulang part 4 dulu sebelum baca bagian ini. Jika sudah lupa semua alurnya, disarankan baca ulang, yaa 🙏🏻

Happy reading~

***

"Alhamdulillah janinnya sehat, Gus, Neng. Perkembangannya juga bagus," kata Dokter Silvi dengan senyum di wajahnya. Namun, aku tidak terlalu menghiraukannya.

Setelah anamnesis, kami baru saja selesai menjalani prosedur USG di ruangan praktiknya dan kini kembali duduk ke meja periksa untuk saling berhadapan.

"Tiga minggu dari sekarang Neng Shofiya dan Gus Aji bisa datang kembali untuk USG dan check-up lagi. Saat itu insyaallah kita sudah bisa melihat jenis kelamin bayinya." Perempuan cantik dengan jilbab cokelat tua itu masih melanjutkan kata-katanya.

"Njenengan berdua ingin bayi laki-laki atau perempuan?" Ia tersenyum lagi, dan seperti tadi, kurasakan sunggingan manis itu bertitik beratkan pada Gus Aji. Seolah-olah aku tidak ada di sini. Di antara mereka.

Kulirik Gus Aji di sebelahku dan kudapati dirinya yang hanya diam tanpa kata untuk menanggapi kalimat dokter cantik bernama Silvi itu. Namun, dengan senyum cerah yang terpasang di wajah tampannya. Hatiku pun menjadi semakin dongkol tak terkira.

Tiga minggu lagi, ya, katanya? Kalau begitu aku tidak akan pernah datang ke klinik ini lagi untuk periksa.

Aku tidak mau menginjakkan kakiku lagi di klinik perempuan cantik yang berhasil mencuri senyum Gus Aji. Akan lebih baik mengantre lama di rumah sakit umum atau mencari klinik lain.

"Kami hanya ingin anak pertama kami lahir dengan sehat, Dok." Aku menyahut sembari tersenyum dan menatapnya tajam. Memberinya sinyal peringatan agar tidak terlalu beramah-tamah dengan suami orang meskipun sebelumnya mereka saling mengenal, atau bahkan saling dekat.

Perempuan itu akhirnya mentapaku. Mengalihkan atensinya dari wajah Gus Aji yang ada di sisi kananku.

Ia terdiam sebentar sebelum mengatakan, "Ah, iya, Neng Shofiya," dengan senyum teduh yang kembali tersungging entah bagaimana bisa.

Ia kembali menatap Gus Aji dan tersenyum cerah lagi setelahnya, sebelum meraih sebatang pena dari tempat alat tulis di mejanya kemudian menggoreskan tinta ke selembar kertas.

"Ini saya resepkan vitamin. Bisa ditebus di apotek nggih?" katanya yang sepertinya hanya ditujukan kepada Gus Aji.

"Oke, Sil. Matur nuwun, ya." Gus Aji berkata sembari menerima secarik kertas resep yang baru disobek perempuan cantik itu yang kuyakin memang dengan sengaja diangsurkan dokter itu kepadanya alih-alih padaku.

Dokter Silvi masih merekahkan senyumnya. "Nggih, sama-sama."

Beberapa lama, keduanya saling bertatapan.

Aku semakin meradang melihat interaksi mereka. Namun tentu saja, meski kutunjukkan dengan jelas betapa cemburunya aku lewat tatapan mata dan ekspresi wajahku, Gus Aji tidak akan peduli akan hal itu. Sebab sekali pun ia tidak pernah mau melirikku. Apalagi melihat dan menatapku dengan kedua manik mata berwarna cokelat kopinya.

Aku benar-benar ingin pergi dari klinik ini segera.

Setelah bersabar membiarkan mereka berdua berbasa-basi---yang semoga untuk terakhir kali---karena aku tidak akan pernah sudi pergi ke sini lagi, aku dan Gus Aji keluar dari ruang pemeriksaan untuk pergi menebus resep vitamin di apotek klinik.

Kali ini kubiarkan Gus Aji pergi sendiri dan memilih mengistirahatkan diri di sebuah bangku tunggu sembari menantinya selesai menebus vitamin yang diresepkan oleh dokter cantik itu.

Aku ingin mencari tahu apakah dia akan mencari keberadaanku nanti, karena kali ini, kubiarkan dia berjalan dan pergi sendiri. Toh, selama ini berjalan bersisian dengannya tidak ada bedanya dengan berjalan sendirian saja karena Gus Aji yang begitu enggan kugandeng tangannya.

Kuedarkan pandanganku ke sekitar. Saat melihat ada pasangan yang mengumbar kemesraan, aku hanya bisa meringis dalam diam.

Saat ini aku duduk di deretan bangku tunggu yang masih ada di depan ruang pemeriksaan, jadi di sekitarku ada banyak pasien yang sedang antre dan menunggu gilirannya dipanggil masuk.

Sungguh, aku sangat cemburu melihat pasangan muda yang tampak begitu mesra di sebelah kanan seberang bangkuku. Duduk kami hanya terpisah beberapa kursi dan ruang kosong yang digunakan orang untuk melintas akibat perbedaan badan kursi panjang yang kami duduki.

Aku duduk di bangku kursi panjang sebelah kiri sedangkan mereka duduk di bangku kursi panjang sebelah kananku.

Perempuan dengan gamis navy yang kuyakini masih seumuran denganku itu menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. Terlihat sangat nyaman. Sedangkan suaminya, tangan kirinya menggenggam erat tangan kanan istrinya itu yang duduk di sebelah kiri sang suami dengan tangan lain laki-laki itu yang membelai lembut perut besar sang istri. Keduanya tampak bercakap-cakap lirih yang sesekali diselingi tawa. Sungguh, aku sangat iri melihat pemandangan manis yang dilakoni mereka berdua.

Andai saja aku dan Gus Aji bisa seperti itu.

Kutundukkan kepalaku lalu kuusap halus permukaan perutku yang terasa sudah semakin menonjol. Sekitar tiga minggu lagi usia kehamilanku akan menginjak empat bulan. Meski begitu, sekali saja Gus Aji belum pernah menyapa anaknya dengan menyentuh perutku meski hanya sebentar.

Entah bagaimana bisa, tiba-tiba setetes air mata jatuh di pangkuanku. Segera aku pun menyeka kedua mataku yang terasa berair.

Tidak boleh! Aku tidak boleh cengeng. Aku tidak boleh menjadi lemah.

Namaku Shofiya Nada Hannan. Dan apa pun yang aku inginkan, pasti bisa kudapatkan.

Aku menghela napas lirih. Membenarkan kerudungku sebentar kemudian meraih bedak yang kusimpan dalam tas kecil di tanganku.

Tidak boleh ada sisa air mata kesedihan di wajahku meski hanya sedikit. Aku harus mengenyahkannya. Dan menyapukan bedak sepertinya bukan pilihan yang buruk juga.

"Shofi."

Tidak lama aku merasa terkejut ketika mendengar panggilan itu.

Saat masih memulaskan bedak ke wajahku, tiba-tiba suara dingin Gus Aji menyebut namaku.

Kututup wadah bedakku dan menoleh ke samping kiri. Di sana, kutemukan presensi Gus Aji yang tengah berdiri.

Dengan kedua manik kopinya ia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun melihat ekspresi wajahnya, kudapati ada sedikit raut kekesalan di sana.

Aku langsung tersenyum ke arahnya. Dugaanku dia pasti kesal karena tidak menemukanku di sisinya dan harus masuk kembali ke dalam untuk menemukanku, karena aku tahu, apotek klinik ini ada di bagian luar. Aku melihatnya tadi saat pertama kali datang.

"Ayo pulang!"

Aku bangkit dan segera menyusul langkahnya yang sudah kembali berjalan di depanku dengan hati yang sedikit ringan.

Gus Aji, kamu harus bisa kutaklukkan.

Chapter five > FIN / 20 Feb 2024

Terima kasiih sudah membaca. Hampir empat tahun sejak part 4 tulisan ini diunggah di Wattpad barengan sama cerita Neng Zulfa 🙈
Semoga cukup 'menghibur', yaa.
Kalau rame insyaallah akan segera dilanjutkan setamatnya Dunia Pelita (yang insyaallah kalau segalanya lancar) berarti gaakan lama lagi xixixi

Bantu kasih 100 vote dan/atau komentar yaa kalau mau cerita SNH ini lanjut.

Kabooor🏃‍♀️

Terima kasiih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 15, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SHOFIYA NADA HANNANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang