Iringan 18 : Resah

390 74 38
                                    

Lima hari berlalu dan kerjaan gue masih sama. Melihat dan mengecek hp gue tanpa henti dengan siklus yang akan sama. Mencoba menelepon sekali─tentunya enggak diangkat, kemudian mengecek deretan pesan gue yang enggak dibaca satu pun. Yang gue lakukan selalu sama, menunggu sosok cewek yang gue namai dengan angka 520 dalam kontak gue untuk membalas pesan atau mengangkat telepon gue.

Terlintas di pikiran gue untuk datang tiba-tiba ke rumahnya atau memunculkan diri di kampusnya, tapi gue mengurungkan niat itu cepat-cepat. Sita enggak akan suka dan hanya akan membuat dia jadi lebih marah lagi dari sebelumnya.

Worst scenario-nya kalau gue memaksa ke rumah Sita, Kak Yasa yang sebelumnya enggak tahu masalah kita akhirnya jadi tahu. Atau bahkan malah membuat gue jadi tersadar kemudian malah berakhir memutuskan untuk melepasnya.

Namun, gue terus menerus berpikir. Bahkan setiap gue senggang, gue selalu memakai waktu itu untuk memikirkan hal yang sama. Kalau Sita mengangkat telepon gue atau pun membaca pesan-pesan gue, gue mau apa?

Minta maaf? Terus berharap Sita maafin gue? Gue sendiri aja bingung. Gue udah terlalu sering buat kesalahan dan Sita terlalu sering memaafkan segala kesalahan gue. Lantas kalau kali ini dia capek atas semua kesalahan dan juga sikap gue gimana?

Apa gue harus diam aja tanpa berusaha minta maaf dan juga enggak berusaha untuk ngapa-ngapain? Biar Sita sekalian marah dan punya alasan untuk membenci gue.

Gue yang emang suka susah tidur, belakangan ini semakin gila-gilaan enggak bisa tidurnya. Selalu tidur jam tiga atau jam empat pagi padahal gue ada kelas di jam setengah delapannya. Gue kira ini hanya faktor kepepet deadline, tapi ternyata enggak. Makin gue memaksa untuk memejamkan mata, makin banyak yang gue pikirkan dan gue sesali.

"Sir."

"Wut?"

Gue mengernyitkan dahi ketika lamunan pendek gue buyar karena suara cowok kelas dua SMP yang memanggil gue.

"I am done." Jasper namanya. Gue udah ngajar dia sejak gue semester dua, berarti sejak dia kelas enam SD.

Dia menyodorkan bukunya yang berisi deretan hanzi yang gue aja enggak tahu itu artinya apaan anjir.

Oh ya murid gue cuma ada dua, Jasper dan satu lagi namanya Enzo. Mengajar mereka ini membuat gue mau enggak mau harus belajar Mandarin yang rasanya bikin kepala mau pecah. Padahal dari jaman SD sampai SMA sekolah gue ada pelajaran Mandarin. Ya, tapi tetap aja ujung-ujungnya tetap bego.

Jasper ini kebetulan dari jaman SD sekolahnya ada Mandarin. Gue yang enggak enak hati sampai bilang ke Nyokap Jasper kalau enggak akan bisa bantu banyak di Mandarin.

Gue sampai pernah iseng tanya Jasper kenapa enggak ambil les Mandarin pisah gitu. Lo tahu gak dia jawab apa?

"Nah, I don't like. Also I am exhausted, Sir. I will take the course if my head is not going to explode when reading Hanzi."

Lo tahu gak sih tipe anak jaman sekarang yang anaknya masuk sekolah internasional dengan berbagai lesnya? Nah itu, Jasper gitu. Selain privat semua mata pelajaran sama gue, dia masih ada les piano. Ditambah les renang setiap weekend.

"Done?" tanyanya lagi sambil melirik gue ketika dia sibuk main hp.

"No yet." Jasper enggak tahu aja, gue selalu chat Dira buat tanya Mandarin karena dia udah master of masters dari semua temen gue yang jago Mandarin. Apalagi sekarang dia kuliah di China.

Jasper sih gak masalah, murid gue satu lagi yang namanya Enzo, itu yang lebih bikin gue stres. Bokap Nyokapnya enggak bisa ngomong Indonesia dong. Ya persis lah kaya gue yang lagi coba menjermah Indonesia ke Mandarin, Bokap Nyokap Enzo juga gitu. Mereka terjemahin Mandarin ke Indonesia buat ngomong sama gue. Alhasil, sering banget gue mau ngomong malah harus translate dulu pake google translate.

Soundtrack: Dusk and DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang