Iringan 26 : Afeksi

571 77 77
                                    

Ayi

Ucapan Om Widi tadi terus menerus gue ingat. Gue benar-benar sadar bahwa keluarga Sita menerima gue sepenuhnya. Selama ini, gue selalu menganggap bahwa Sita adalah senja dan gue adalah fajar. Sita adalah lebih dan gue adalah kurang. Bahkan ketika kita sama pun, gue dan Sita selalu berada di titik yang berbeda.

Selama ini, gue selalu menganggap kalau ibaratkan sebuah tanaman, Sita itu tumbuh di tanah yang baik, tumbuh dengan subur, daun dan bunganya bagus. Tapi, kalau gue, gue itu tumbuhnya di tanah berbatu. Iya sih tumbuh tanamannya, tapi habis itu cepat layu dan mati deh.

Namun, bertengkar hebat dengan Sita dan Antares, nasihat-nasihat Kak Aci, dan juga mendengar ucapan Om Widi, gue sadar kalau selama ini gue itu bodoh banget. Selama ini gue hanya terus menerus memandang diri gue enggak pantas tanpa pernah berpikir hal apa yang harus gue lakukan sehingga gue bisa melabel diri gue sendiri pantas.

"Aku pesen dulu ya." Gue berjalan menjauh.

Rasanya aneh mengantre sendirian di barisan kaya gini. Gue udah terbiasa mengantre sesuatu berdua dengan Sita, terlebih kalau beli makanan. Dari kejauhan, gue menatap Sita. Ketika pandangan kita beradu, dia malah mengalihkan pandangan sambil mencari sesuatu di dalam tas selempangnya. Sedih, kita enggak pernah kaya gini sebelumnya.

Bahkan ketika gue dan Sita sudah sama-sama duduk sambil memegang sendok masing-masing, kita masih diam. Benar kata Kak Aci, kalau enggak berjuang untuk bicara lebih dulu, masalah kita enggak akan selesai.

"Ta." Akhirnya gue mamanggil namanya.

Mata bulatnya menatap gue sambil berkedip beberapa kali. Dirinya menatap gue dengan tatapan bingung. Hal yang selalu Sita lakukan ketika gue memanggil namanya kemudian gue hanya diam tanpa melanjutkan kalimat selanjutnya. I always love the way she looks at me like that. Gue selalu suka bagaimana wajah innocent-nya menunggu kalimat gue setelah memanggil namanya.

"Minggu kemarin Antares ribut," gue memakan Jcool dengan almond di atasnya, "tapi kita udah baikan kok kemarin malem."

Sejak Antares ribut, gue selalu ingin cerita tentang hal ini pada Sita. Namun, sayangnya enggak bisa.

"Aku sama Leo sampai tonjok-tonjokkan. Kalau diinget-inget lagi, itu tuh malu-maluin banget, Ta." Gue bergedik ngeri, masih enggak percaya bisa baku hantam dengan Leo.

"Ini karena kita sama-sama egois. Dan pas banget, kita berantem, Leo sama Adwin juga berantem."

"Loh, iya? Leo Adwin juga berantem? Terus, Brian, Wira, Gian jadi tahu soal Adwin dong? Kamu sama Leo gimana sekarang?"

Gue tersenyum kecil, gue rindu celotehannya.

"Iya, jadi gitu deh, kita ribut. Diem-dieman hampir seminggu. Tapi, sekarang udah baikan semua kok."

"Jadi waktu di rumah sakit, luka di bibir itu karena berantem? Ih, aku kok enggak bisa bayangin kamu tonjok-tojokkan sama Leo gimana."

"Jangan dibayangin, malu kalau diinget-inget," ucap gue cepat.

Gue menceritakan segala hal yang berhubungan dengan ributnya kita kemarin pada Sita. Kemudian Sita bertanya apakah gue benar-benar udah baikan dengan Antares, gue mengangguk cepat.

"Puji Tuhan kalau udah baikan. Kamu tuh sayang banget sama Antares, Ayi. Kalau amit-amit nanti berantem lagi, pokoknya harus baikan."

"Aku juga sayang sama kamu. Aku mau kita baikan dan enggak berantem lagi."

"Hah?" Dia menatap gue lekat dengan tatapan bingung karena gue bicara sangat cepat.

"Hahahaha, kamu lucu banget."

Soundtrack: Dusk and DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang