Chapter Eight: "The Savior"

5 2 0
                                    

Esoknya, dengan pantang menyerah, Gyeol kembali ke hutan. Meski Myung menyeret-nyeret kakinya agar Gyeol tidak pergi, meski Myung meminta semua pembawa tandu untuk diam di tempat. Pada akhirnya tak ada yang bisa melawan ke-keras kepala-an tuan muda Keluarga Hae. Gyeol telah membulatkan tekad untuk menemui si gadis berambut perak yang kemarin, tak peduli apapun alasannya. Karena itu, ketika matahari baru terbit saja dia buru-buru mencuci muka dan mengganti pakaiannya lalu pergi. Apa ia sudah terpikat siluman, dia juga tidak tahu. Dan tidak peduli.

Myung ingin sekali menceritakannya pada Bibi Jangmyung dan Solhwa, tapi tiap kali ia hampir membuka bibirnya, saat itu juga Gyeol memberinya tatapan dingin yang membuat bulu kuduknya berdiri. Hah.. sungguh tuan muda yang merepotkan. Batin Gyeol. Akhirnya hari ini terpaksa Myung mengikuti Gyeol lagi. Tapi kali ini diam-diam dia membawa beras dan garam serta sebilah belati kecil yang disisipkannya di sepatunya. Bagaimanapun, di antara mereka berdua, dia harus jadi yang rasional dan melindungi tuannya di kala perlu.

Gyeol kembali ke pohon yang sama, tapi ular maupun gadis itu tidak ada lagi. Di sana ia duduk menunggu hingga matahari tinggi di atas kepala.

"Myung, menurutmu dia tinggal dimana?"
"Tidak tahu."
"Apa dia tinggal di lubang ular, sarang ular, atau semacamnya?"
"Tidak tahu."
"Tapi bukankah wujudnya juga manusia, apa nyaman tinggal di sarang ular?"
"Tidak tahu."
"Apa kita harus mencarinya?"
"Tidak tahu."
"Bagaimana kalau sudah menemukannya, kita ajak dia tinggal bersama Paviliun Chunryang?"
"Tid- Hei! Apa tuan sudah gila?!"

Gyeol terlonjak kaget mendengar Myung tiba-tiba menaikkan suara beberapa oktaf. "Telingaku sakit, ya." Ucap Gyeol tenang, tapi menusuk. "Ma-maafkan hamba.. soalnya tuan berkata hal yang tidak masuk akal. Jadi hamba terkejut.." Cih, pembelaan diri. "Apanya yang tidak masuk akal? Aku hanya berpikir, pasti sangat tidak nyaman tinggal seorang diri di tengah hutan belantara di atas gunung begini. Jika dia bisa berubah jadi ular dan wujud manusia, aku yakin dia mungkin bisa mengubah warna rambut dan matanya. Atau kalau tidak, kita bisa menutupnya dengan sesuatu.." Gyeol mengoceh sendiri. Wah, tuan muda ini. Memang enak jadi orang kaya. Dia berpikir bisa membalikkan dunia dengan telapak tangannya, atau memetik bintang dengan kekayaannya. Sekarang, dia baru saja benar-benar berpikir ingin membawa siluman gunung ke Paviliun Chunryang?! Percuma saja dia pintar. Sungguh menyia-nyiakan bakat. Myung mengoceh dalam hati.

"Hei, Myung, kau pasti mengatai-ngataiku lagi dalam hati kan?" Tanya Gyeol sewot. Myung tersenyum ramah, "iya." Gyeol mengambil sebuah dahan kayu yang sebesar genggaman tangannya lalu melemparnya ke Myung, yang tentu saja dengan mudah ia hindari. "Kau ini." Ia berdiri lalu menepuk-nepuk pakaiannya. "Sebaiknya kita ke kuil saja. Kuil terletak di tengah-tengah hutan. Jika kita mulai mencari dari sana, kurasa kita bisa menemukannya." "Iya.." Mereka berjalan lagi hingga ke kuil. Jelas ada orang yang tinggal di sana, karena semua makanan persembahannya sudah habis dimakan. Gyeol semakin yakin gadis berambut perak itu tinggal di sini. Jika ini rumahnya maka gadis itu pasti akan kembali cepat atau lambat. Gyeol akhirnya memutuskan untuk duduk di sana dan menunggu.

Begitu lama ia menunggu hingga langit berubah warna menjadi gradasi oranye dan kekuningan. Burung-burung pun sudah kembali ke sarangnya. Gyeol melihat ke sekitar dan menyadari bahwa keadaan sudah mulai gelap. "Tuan, apa tuan berencana menginap di sini? Bagaimana jika ada binatang buas? Sekarang bukan waktunya tuan berleha-leha di sini. Ayo, kita kembali sebelum sepenuhnya gelap." Bujuk Myung. Gyeol berdiri, ragu. Ia sebenarnya masih ingin menunggu. Tapi dia juga tidak ingin membuat Bibi Jangmyung, Solhwa, dan para pelayan lain mengkhawatirkannya. Gyeol menghela napas panjang. "Tidak apa-apa, besok kita ke sini lagi." "Apa?!" Kali ini Myung yang menghela napas panjang. Benar-benar tuan yang keras kepala.

*

Gyeol berdiri di tepi sebuah sungai. Sungai kecil itu membelah ruang terbuka di sela-sela pepohonan yang lebat di hutan, membesar menjadi danau kecil alami. Airnya beriak terkena embusan angin sepoi-sepoi. Bebatuan mencuat dari tengah-tengahnya, datar dan tampak mulus. Entah bagaimana, daratan di sekitar air membentuk lingkaran sempurna. Sepetak besar daratan berumput dengan bunga-bunga liar bermekaran di bawah sinar mentari. Keadaannya sungguh damai.

The Fire SerpentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang