Chapter Six: "Aunt Jangmyung"

6 2 0
                                    

Aewol duduk sambil memeluk lututnya di atas atap kuil. Ia menatap langit yang terlihat sangat dekat dengannya hinga rasa-rasanya ia dapat memetik bintang. Tapi di saat yang sama, saat mengulurkan tangannya langit terasa begitu jauh dari genggamannya. Begitu luas, seperti tak ada ujungnya. Kemanakah langit berakhir? Gumamnya. Apakah dengan terus berjalan ke depan, ia akan menemukan ujung dunia? Ia mengelus kedua lengannya.

Shin, apakah kau sudah lahir lagi? Jika ya, kau dimana sekarang? Apa kau masih mengingatku? Aewol membenamkan wajahnya di ceruk lutut. Betapa rindunya ia pada wajah ceria Shin dan rentetan omelannya yang tanpa henti. Sebuah kelopak bunga jatuh menggelincir di rambut putihnya yang panjang. Aewol mengambilnya. Ia teringat janji Shin untuk melihat bunga bersamanya. Ah, melihat bunga-bunga berwarna merah muda lembut itu justru membuat hatinya sakit. Di depan kuil terdapat sebuah pohon bunga ceri. Indah.. tapi air mata Aewol malah mengalir melihat pohon yang seluruh bunganya mekar sempurna itu.

Aewol memejamkan mata. Malam terasa panjang sekali.

*

Di saat yang sama, Gyeol duduk di kamarnya, membaca buku filosofi. Sebuah kelopak bunga diterbangkan angin mendarat di atas bukunya. Gyeol menatap kelopak itu. Lalu mengambilnya dan mengelusnya. Ia menutup bukunya dan berjalan keluar ke taman di dekat kamarnya. Ia memejamkan mata, menikmati aroma musim semi yang dibawa semilir angin. Wangi manis menyerbak dimana-mana seperti romansa anak muda.

"Sepupuku, aku tadi membawakan teh plum untukmu, tapi tidak menemukanmu di kamar. Rupanya kau ada di sini." Gyeol berbalik dan melihat seorang gadis muda yang seumuran dengannya. Wajahnya cantik dan perangainya lembut. Ia tersenyum dan memberikan Gyeol jubah yang ia tinggalkan di kamar. "Meski sudah masuk musim semi, tapi cuaca masih sejuk. Berhati-hatilah agar jangan sampai terkena flu." Gyeol tersenyum dan mengambil jubah yang disodorkan gadis itu lalu menyampirkannya di bahu. "Terima kasih, Solhwa." Gadis bernama Solhwa itu tersenyum lembut. Ia adalah sepupu jauh Gyeol yang hanya lebih muda darinya dua tahun. Ia tinggal di paviliun itu untuk membantu merawat bibinya, Jangmyung. "Kenapa kau melihat langit dengan begitu sendunya?" Tanya Solhwa. Gyeol terdiam. Selama ini hatinya selalu dipenuhi sebuah perasaan yang aneh. Seperti ada sebuah lubang besar di hatinya yang tidak bisa diisi apapun. Sekeras apapun usahanya mengisi kehampaan itu dengan melukis, musik, puisi dan filosofi, sia-sia saja. Sampai sekarang pun Gyeol masih merasakan hal yang sama. Karena itulah ia merasa cemas. Ia takut ia akan mati suatu hari nanti tanpa bisa mengisi kehampaan hatinya. Sebuah dambaan dan kerinduan akan sesuatu yang abstrak yang tidak bisa dipikirkan dengan akal sehat. Seperti dia tahu apa yang diinginkannya tapi di saat yang sama juga tidak tahu. Karena itu, Gyeol selalu bersikap seakan ada sebuah dinding yang membatasinya dengan orang lain. Ia telah mengkonsultasikan masalahnya ini dengan begitu banyak guru dan orang bijak, tapi tetap saja semuanya tidak memiliki jawaban yang jelas.

Gyeol menghela napas. "Tidak ada apa-apa. Masuklah, Solhwa. Hari sudah malam. Kau harus istirahat." Gyeol berjalan masuk ke kamarnya dan menggeser pintunya hingga tertutup rapat. Solhwa menatap Gyeol dengan penuh dambaan dan kesedihan. Sudah beberapa tahun lamanya ia menyimpan perasaan sepihak terhadap pemuda itu. Tapi Gyeol selalu menganggapnya tidak lebih dari sekedar hubungan antar-sepupu. Hanya sedikit lebih dekat dibanding sepupu biasanya tapi tidak lebih dekat dari seorang adik perempuan. Solhwa menunduk sedih. Suatu hari, akankah Gyeol menyadari perasaannya dan membalasnya? Solhwa mendesah pelan dan berjalan menuju kamarnya dalam langkah-langkah kesepian.

*

Esok paginya, Gyeol memutuskan untuk berjalan ke sekitar gunung lagi. Ia merasa sedang dalam kondisi yang sangat baik sehingga ia berencana untuk mengunjungi kuil sekali lagi. Sebelum itu, ia telah berjanji untuk makan pagi bersama bibi Jangmyung.

"Selamat pagi, bibi. Bagaimana kabarmu hari ini?" Tanya Gyeol sambil duduk di meja yang telah ditata oleh para pelayan di kamar Bibi Jangmyung. Sang bibi yang hanya lima tahun lebih tua dari Gyeol tapi terlihat jauh lebih tua karena kesehatannya yang rapuh dan tubuhnya yang kurus itu tersenyum, "Aku merasa baik-baik saja. Sejak kamu datang aku merasa sangat energik. Padahal biasanya sulit bagiku untuk bangun dari tempat tidur, tapi hari ini aku bahkan bisa makan di meja makan." "Keponakanmu ini berharap bibi tidak memaksakan diri hanya karena ia datang berkunjung." Bibi Jangmyung terkekeh pelan. "Tentu tidak. Sepenting apa dirimu hingga aku harus memaksakan diri untuk sebuah makan pagi denganmu, Yang Mulia Tuan Muda Keluarga Hae?" Gyeol tertawa. "Baik, baik, manusia yang tidak begitu penting ini akan makan."

Segera setelah makanan disajikan, mereka pun makan. Keduanya bergantian saling menaruh daging di atas sendok nasi masing-masing seolah berlomba siapa yang lebih perhatian. Acara makan yang sebentar itu dilanjutkan dengan acara minum teh. Bibi Jangmyung sangat suka minum teh plum. Seleranya pun sama dengan keponakan laki-lakinya ini. Mereka berdua menyeruput teh sambil menatap pemandangan indah taman Paviliun Chunryang yang dipenuhi bunga-bunga yang mekar sempurna. "Gyeol-ah, sudah berapa umurmu tahun ini?" Gyeol meletakkan cangkir tehnya. Akhirnya datang juga topik ini. Ia yakin ibunya menulis surat meminta bibinya membujuknya untuk segera menemukan pasangan. "Sudah 18 tahun, bibi." "Hm.." Bibi Jangmyung mengangguk-angguk. "Sudah usia yang matang untuk berkeluarga, bukan begitu?" Gyeol diam sejenak. "Aku ingin menikahi orang yang kucintai." Bibi Jangmyung terbahak, "Anak bodoh! Tentu saja kau bisa. Kau adalah anak dari Menteri Kebudayaan Hae Seok-ha! Tentu kau bisa menikah dengan siapapun yang menjadi pilihanmu. Hanya saja kau harus mulai mencari. Bagaimana bisa kau mencintai seseorang jika setiap hari hanya menghabiskan waktu dengan kuas dan tinta?"

Gyeol tersenyum kaku. Bukan ia tidak mencari. Hanya saja memang tidak ada satupun perempuan yang menarik hatinya selama ini. "Bukan Bibi mau menjodohkanmu ya, bukan. Tapi bagaimana jika kau tak perlu mencari jauh-jauh, jika sudah ada yang begitu dekat?" Gyeol menoleh dan menatap bibinya lekat-lekat. "Apa maksud bibi?" Bibi Jangmyung tersenyum. Ada sedikit kerling nakal di balik matanya yang kelabu. Gyeol selalu mendeteksi tanda bahaya jika bibinya telah bersikap demikian. Terakhir bibinya mengerling seperti itu, Gyeol terpaksa menghabiskan malam di kandang kuda.

"Bagaimana dengan Solhwa? Dari yang bibi lihat, dia anak yang lembut dan baik. Wajahnya juga cantik dan penyayang. Yang terpenting adalah dia anak yang sangat tekun. Ia merawat dan menemani bibi dengan baik. Semua kualitas seorang wanita dimiliki olehnya. Dia pandai memasak, menyulam, bernyanyi, dan masih banyak lagi. Bibi yakin dia akan jadi istri yang baik-" "Astaga, bibi! Solhwa sudah seperti adik bagiku. Aku tidak pernah memikirkannya dalam arti yang lebih dari itu." Sela Gyeol panik. Lawan bicaranya mengernyitkan dahi. "Kenapa dia tidak bisa lebih dari itu? Jika mulai sekarang kau melihatnya sebagai wanita, kau pasti bisa jatuh cinta padanya. Cinta ditumbuhkan oleh kebersamaan."

Gyeol menggeleng. "Bagaimana dengan bibi? Bibi membawanya ke sini untuk menemani dan merawat bibi kan? Sudah beberapa tahun ia bersama bibi. Aku yakin bibi sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Bagaimana bisa aku merenggutnya dari bibi?"

Bibi Jangmyung tersenyum sedih. "Toh, waktuku sudah tidak lama lagi. Bibi justru akan merasa tenang jika pergi setelah melihatmu menikah-"

Gyeol berdiri, menyela pembicaraan itu. "Aku tidak ingin mendengar lebih dari ini. Aku juga tidak ingin membicarakannya lagi. Kumohon bibi menahan diri dari menyebut-nyebut soal pernikahanku.. dan kematian bibi. Aku permisi dulu."

Bibi Jangmyung melihat punggung Gyeol yang beranjak dari tempat itu dan berjalan pergi, menghilang di balik tikungan lorong. Ia menghela napas. Sulit sekali membujuk anak keras kepala itu. Hae Gyeol, seperti ayahnya, adalah anak yang sangat teguh pada prinsip. Sekali ya, maka ya. Jika tidak, selamanya pun tidak. Sepertinya Solhwa yang kasihan itu akan sulit menempati hati Gyeol sebagai seorang wanita.

The Fire SerpentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang