Chapter Five: "A New Beginning"

7 3 0
                                    

Saat Aewol terbangun lagi, masih dalam wujud ularnya, ia menyadari bahwa tubuh Shin telah menghilang. Bahkan pakaiannya pun tidak ada lagi. Ia tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu. Samar-samar Aewol mengingat momen terakhirnya sebelum tertidur untuk waktu yang lama. Ia murka dan menenggelamkan seluruh desa. Kekuatan besar yang ia keluarkan tiba-tiba itu menguras seluruh mana (energi) -nya sehingga membuat ia tertidur lama sekali untuk memulihkan semua jumlah mana yang terkuras.

Aewol mencari-cari dan akhirnya menemukan pita rambut peninggalan Shin yang terlihat sangat lusuh. Ia mengikatnya ke lengannya lalu melihat ke sekitar. Gua itu masih sama terbengkalainya dengan dulu. Barang-barang yang dulu Shin berikan melapuk dan membusuk hingga tak jelas bentuknya. Semua barang tersebut memfosil. Yang tersisa hanyalah tusuk rambut pemberian Shin. Apakah Shin sudah terlahir kembali? Ia benar-benar ingin segera mencarinya tapi tidak tahu dari mana harus memulai. "Shin, apa benar kau akan mencariku?" Batinnya.

Aewol keluar dari gua dan berjalan menembus hutan. Ia merasa lapar tapi tubuhnya penuh dengan mana setelah begitu lama tertidur. Sekali-sekali ia berhenti untuk makan buah-buahan liar dan minum di sungai-sungai kecil yang membelah hutan. Aewol merasa hutan sudah agak berubah. Pepohonannya tidak selebat dulu dan sayup-sayup ia mendengar suara manusia. Bahkan aroma manusia tercampur dimana-mana. Ia terus berjalan hingga akhirnya sampai di tepi hutan. Di sana terdapat sebuah kuil yang cukup besar. Aneh, mengingat kuil itu tidak ada di sana sebelumnya. Aewol berubah menjadi sesosok ular kecil berwarna putih dan masuk ke dalam diam-diam.

Terdapat sebuah altar dengan patung perunggu berbentuk orang yang tidak ia kenali. Di depan patung itu terdapat sebuah wadah perunggu yang dipenuhi dupa dan membuat seisi ruangan semerbak oleh aroma dupa. Di depan wadah dupa itu terdapat begitu banyak makanan yang terlihat menggiurkan. Ditata dengan rapi di atas piring-piring perak. Bahkan di tengah-tengah ada kepala babi, dikelilingi ayam rebus, ikan, sayuran dan buah-buahan serta kue-kue warna warni yang cantik. Aewol yang kelaparan teringat makanan yang diberikan Shin. Aewol melirik ke seluruh ruangan, mengamati. Tidak ada satu manusiapun di dalam. Aewol sebenarnya tidak paham sama sekali tempat apa itu atau apa gunanya. Aewol hanya merasa lapar dan menurut pada keinginan dasarnya untuk merasa kenyang, dan makan saat ada makanan di depan mata. Tapi ia cukup menyadari bahwa ia harus menjaga dirinya agar tetap jauh dari penglihatan manusia atau bahkan kehadirannya disadari oleh manusia, sesuai ajaran Shin. Diam-diam ia memakan sesajian tersebut.

Tiba-tiba, saat ia tengah menikmati manisnya kue-kue yang melengkapi kecantikan dan keunikan bentuknya, terdengar suara derap langkah. Pintu digeser dengan pelan, dan masuklah seseorang. Aewol dengan cepat menyembunyikan dirinya ke balik patung yang besarnya hampir sebesar Shin dulu. Aewol menunggu kesempatan untuk keluar dari kuil itu.

Orang yang masuk itu berpakaian rapi seperti seorang sarjana. Saat itu sudah era Joseon. Aewol tertidur begitu lamanya hingga era telah berganti. Pemuda itu berpakaian sederhana dan rapi tapi tak dapat dipungkiri bahwa pakaian yang ia kenakan terbuat dari sutra yang mahal. Ia mengatupkan tangannya dan memejamkan mata, lalu berdoa,"Dewi, kumohon, lindungilah desa ini, seperti yang telah kau lakukan selama ratusan tahun terakhir. Dan berikanlah kesembuhan pada bibi Jangmyung, adik ibuku yang sangat ibuku kasihi seperti anak sendiri. Kesehatannya memang lemah sejak kecil, tapi kumohon jagalah ia agar ia dapat hidup dengan tenang di hari-hari terakhirnya."

Dewi? Aewol heran. Kepada dewi yang mana pemuda ini berdoa? Ibunya adalah dewi api, dan ibunya pernah memberitahu ada banyak jenis dewa dan dewi lainnya. Tapi kepada yang mana pemuda ini berdoa dengan begitu khusyuknya? Setelah bergeming dalam beberapa saat, pemuda itu berdiri lalu keluar. Seketika ruangan ini kembali senyap. Aroma milik pemuda ini terasa sangat familier hingga Aewol sempat mengira dia adalah Shin. Tapi auranya begitu elegan dan terdidik hingga rasanya sulit menyangka bahwa itu adalah Shin. Aewol yakin dia salah orang, meskipun ia juga tidak sempat melihat wajahnya. Belum sempat Aewol pergi dari tempat persembunyiannya, terdengar lagi percakapan dari balik ruangan.

"Tuan muda, apa anda sudah selesai?" Orang yang disebut tuan muda itu tersenyum dan mengangguk. "Kenapa tuan muda sering ke sini? Padahal kuil ini hanya kuil tua yang terbengkalai." tanya seseorang yang berpakaian lebih lusuh dan berjalan dengan agak terbungkuk. Ia adalah Myung, pelayan si tuan muda. "Apa kau tahu? Masyarakat desa membangun kuil ini untuk menenangkan amarah dewi air yang pernah sekali menenggelamkan desa karena marah setelah seorang anak dibunuh dengan kejam oleh tuan tanah. Katanya anak itu berteman dengan sang dewi. Sejak kuil ini dibangun, dewi menjadi tenang dan desa pun dijaga dengan baik. Kejadian itu sudah sangat lama. Begitu lamanya waktu berlalu hingga tidak ada yang tahu apa kisah itu benar terjadi atau tidak. Meski begitu, pepatah mengatakan 'dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung'. Aku percaya bahwa aku harus menghargai kebiasaan orang-orang desa."

Mendengar itu Myung mendengus, "Apanya yang kebiasaan orang-orang desa? Mereka sendiri bahkan menelantarkan kuil ini. Lihat saja, kotor dan penuh debu. Langit-langitnya berlubang dan sudutnya dipenuhi sarang laba-laba. Untuk ke sini saja tandu tidak bisa naik dan harus mendaki melalui jalan setapak yang berbatu-batu. Saya paham udara gunung bagus untuk kesehatan tuan muda, tapi tetap saja perjalanan ke sini terlalu menguras tenaga jadi anda selalu demam di malam hari-" Ocehan Myung berhenti saat melihat tatapan dingin tuannya. Ia langsung mengatupkan bibir rapat-rapat dan menunduk dalam-dalam. Tuannya adalah seseorang yang bijak dan berbudi luhur. Ia tidak sembarangan menghukum para pelayan dan memperlakukan mereka dengan baik. Tapi kadang ia juga bisa tegas dan tidak segan menghukum pelayannya yang memang berbuat salah sesuai tingkat kesalahannya. Ia adalah orang yang bahkan lebih adil dari Raja Neraka sekalipun.

Myung telah melayani tuannya sejak kecil. Sayang sekali tuannya sudah lemah sejak lahir. Ia mudah sakit sehingga akhirnya lebih sering menghabiskan waktu di tempat tidur. Padahal tuannya adalah seseorang yang cerdas dan penuh talenta. Benar-benar sungguh disayangkan! Apalagi dia adalah pewaris tunggal keluarga Menteri Kebudayaan Hae, Hae Seok-ha. Ah, tuannya bernama Hae Gyeol. Alasan Gyeol berada di desa kecil itu dan bukannya di Hanyang adalah untuk menemui bibinya, adik ibunya, yang sakit keras dan memutuskan untuk menghabiskan saat-saat terakhirnya lebih dekat dengan alam. Desa kecil itu diapit pegunungan dan pantai. Sebuah tempat yang sangat indah. Bibinya, Bibi Jangmyung, beristirahat di paviliun keluarganya, Paviliun Chunryang. Tiap kali Gyeol mengunjungi paviliun ini untuk liburan musim panas, ia pasti menyempatkan diri datang ke kuil, berdoa untuk keselamatan desa dan kesehatan keluarganya serta kedamaian dan kemakmuran Joseon. Ia juga menyuruh orang membersihkan kuil ini dan memperbaiki bagian yang rusak, mengecat dinding yang lusuh, dan menyajikan begitu banyak makanan untuk sesajian. Sejak kecil, Gyeol sering bermimpi tentang tempat ini dan pertemuannya dengan seorang wanita berambut putih yang misterius. Begitu sering ia memimpikan hal yang sama hingga ia merasa bahwa pemandangan dalam mimpi itu telah menyatu menjadi bagian dari dirinya. Ia merindukan sosok wanita dalam mimpinya yang wajahnya selalu kabur oleh air mata, dan mengutuk keinginannya yang begitu besar untuk memeluk wanita dalam mimpi itu.

Aewol yang mendengar semua percapakan dari balik patung menyadari bahwa kuil itu dibangun untuknya. Ia merasa lucu. Manusia-manusia itu begitu takut pada kekuatan di luar nalar manusia, tapi mereka dengan gampangnya menindas orang yang lebih lemah. Aewol menumbuhkan sedikit prasangka dan kebencian terhadap manusia-manusia serakah semacam Tuan Jang si tuan tanah yang telah membunuh Shin. Selain itu, ia juga ingin tertawa mendengar orang-orang mengagung-agungkannya sebagai dewa. Sebagian memang benar, tapi sebagian lagi sepenuhnya salah dan hanya karangan orang-orang yang selalu tertarik pada kisah yang didramatisasi. Desa ini bukan aman karena ia menjaganya setelah ia dibangunkan kuil dan diberi persembahan. Semua itu karena ia tertidur setelah tenaganya terkuras habis. Selain itu Aewol hanyalah setengah siluman ular meski memang benar setengahnya lagi adalah dewi api.

Namun tiba-tiba Aewol tersadar akan satu fakta. Kuil itu memang dibangun untuknya dan persembahan itu memang disajikan untuknya. Sama seperti Shin yang memberinya selimut, bantal, pakaian dan makanan, orang-orang desa memberinya makanan agar tidak kelaparan dan atap untuk berteduh. Aewol juga berpikir ia harus tinggal di suatu tempat yang lebih dekat dengan desa dan mulai mencari keberadaan Shin jika ia memang telah dilahirkan kembali. Dari percakapan itu Aewol menyimpulkan bahwa tempat itu telah ditelantarkan orang desa. Bahkan untuk melanjutkan tradisi dan membersihkan kuil pun mereka tidak mau, meskipun memang tidak ada gunanya mereka melakukan itu. Tetap saja, Aewol merasakan sebuah perasaan nostalgia akan kenangan bahwa ia berkali-kali ditinggal orang yang ia cintai, meski yang terakhir bukan penelantaran, tapi dipisahkan oleh maut.

Aewol pun memutuskan untuk tinggal di sana.

The Fire SerpentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang