Sebagai "tamu kehormatan", seharusnya Gyeol menjadi orang terakhir yang masuk ke ruang perjamuan. Tapi ia menunggui Aewol di depan pintu, menolak kehadirannya diumumkan para pelayan, dan dengan durhakanya untuk pertama kali membiarkan "tetua"nya menunggu. Tapi Gyeol tidak ingin membiarkan Aewol masuk sendirian, terutama saat gadis itu belum paham tata krama bangsawan. Gyeol tahu bahwa sikap kurang ajarnya akan dimaklumi karena ia telah menjelaskan asal usul Aewol pada bibinya. Mungkin sebenarnya ia hanya mencari-cari alasan. Sesungguhnya ia ingin menjadi orang pertama selain para pelayan yang melihat penampilan Aewol. Jika seperti biasa saja sudah cantik, dia yakin setelah didandani kecantikannya mengalahkan para dewi.
"Gyeo- Tuan." Panggil Aewol. Gyeol menoleh dan tertegun. Di sampingnya, berdiri seorang gadis, dengan mata kelabunya yang jernih menatapnya tepat di mata. Tidak banyak orang berani melakukan itu, tidak kepada putra tunggal satu di antara keluarga paling berkuasa seantero Joseon. Kulit putihnya yang halus seperti batu giok bersinar di bawah sinar bulan purnama. Bibirnya yang manis merekah merah menggoda seperti bunga mawar yang mekar sempurna. Rambut hitam panjangnya halus berkilau disisir rapi dan diselipkan hiasan bercorak daun dan bunga dari perak. Aewol mengenakan jeogori (atasan hanbok) berwarna gading yang dihiasi bordiran teratai yang megah dan dipadu dengan chima (rok) berwarna segelap langit malam yang dihias dengan corak-corak elegan.
"Tuan." Panggil Aewol sekali lagi yang menyadarkan Gyeol dari lamunannya. "Ah- maafkan aku." Aewol tersenyum tipis dengan anggun, "Tidak apa-apa. Apa Tuan menunggu hamba? Padahal tidak perlu.." Gyeol agak kaget dengan cara Aewol berbicara. Sangat berbeda dari sebelumnya yang lancang dan tegas. Sepertinya, Myung telah mengajarkan sedikit tata krama yang mengubah cara bicara Aewol. "Ah, iya. Kupikir mungkin kau tidak familiar dengan tempat ini jadi aku menunggumu." Dengan gugup Gyeol berdeham lalu membuka pintu dan bergegas masuk ke ruangan.
Seketika ruangan perjamuan yang awalnya dipenuhi gelak tawa dan suara berisik percakapan serta dentingan gelas terdiam saat Gyeol membuka pintu dan mempersilakan dirinya serta tamunya masuk. Semua orang seakan tersihir oleh keanggunan dan kecantikan wanita yang kini berada di bawah naungan perlindungan sang tuan muda. Betapa memesonanya ia yang mekar sempurna seperti sekumpulan lili air di bawah sinar bulan purnama. Seperti biasa, Gyeol duduk di samping bibinya dan Aewol yang statusnya rendah, duduk agak jauh di ujung. Solhwa menatap lekat-lekat gadis yang menjadi rival cintanya. Memerhatikan dengan segenap jiwa raga dan siap siaga untuk menyerang setiap kesalahan yang diperbuat Aewol.
Aewol hanya duduk diam. Matanya setengah tertutup oleh bulu matanya yang lebat nan lentik saat fokus menatap ke arah meja yang dipenuhi makanan berbagai warna dan jenis. Aroma yang harum menggelitik hidungnya dan memelintir perutnya, menghadirkan rasa lapar yang sebaiknya segera diredam jika tidak mau mempermalukan diri dengan dengkuran perut yang seperti petir. Sebelum hal itu terjadi, untungnya, mereka mulai makan setelah sedikit perbincangan dan basa basi yang tidak penting. Aewol ingin mengisi perutnya sepenuh mungkin, tapi ia telah berkali-kali diingatkan Myung untuk menjaga sikapnya agar tidak mempermalukan tuannya. Ia harus membuka mulut hanya cukup untuk satu gigitan kecil dan menutup mulutnya dengan tangan sambil menoleh atau menunduk saat minum. Begitu banyak tata krama yang harus diserapnya selama perjalanan ke paviliun hingga Aewol merasa ingin merobek mulut Myung.
"Jadi.. namamu Jo Aewol?" Suara Bibi Jangmyung memecahkan lamunan sadis Aewol. Makan malam telah berakhir dan saat ini mereka sedang duduk sambil minum teh, menikmati pemandangan bulan yang bulat seperti kue yang ada di tangan Aewol saat ini. Aewol mendongak dan menunduk lagi lalu buru-buru meletakkan kuenya kembali ke piring. Ia bisa merasakan bahwa energi Bibi Jangmyung begitu lemah dan hampir-hampir tidak mampu bertahan dalam tubuh manusia yang tidak abadi. Aewol menjawab dengan halus dan agak menunduk, "Iya. Hamba Jo Aewol." Bibinya mengangguk pelan. Setidaknya anak ini cukup tahu tata krama.
"Berapa umurmu?" Aewol melirik Gyeol sekilas sebelum menjawab masih dengan menunduk, "Delapan belas." "Kudengar selama ini kau hidup sendirian di gunung dan terisolasi dari dunia. Maka sudah pasti kau tidak mendapat pendidikan, benar?" Aewol menjawab lagi, masih dengan kesopanan dan keanggunan yang sama, "Benar." Ujung bibir Bibi Jangmyung terangkat. "Tapi keponakanku ini mengatakan bahwa ia terpesona oleh bakatmu yang tidak biasa. Bakat apa yang mungkin dimiliki seorang anak haram yang tidak berpendidikan sepertimu?" Ah. Sudah Gyeol duga. Perjamuan yang diadakan para wanita bangsawan sesungguhnya adalah medan perang yang ganas. Musuh bisa tiba-tiba menyerang saat benteng sedang tidak dijaga. Salah-salah, pertahanannya bisa runtuh dan dikuasai dengan mudah oleh musuh. Harus ada strategi yang tepat menghadapi seorang veteran perang seperti bibinya ini yang sudah begitu ahli dalam bermain kata-kata dan menyiapkan siasat untuk mengalahkan lawannya.
Aewol terdiam sejenak. Di samping Gyeol, Myung sudah basah oleh keringat dingin. Jantungnya berdegup kencang sampai-sampai dia takut akan didengar karena keadaan menjadi sangat hening. Tiba-tiba ia teringat yang Myung katakan sebelum menginjakkan kaki ke paviliun. Katakan saja kemampuanmu adalah bermusik. Biasanya itu yang paling masuk akal, karena kau buta huruf. "Hamba.. bisa bermain bipa dan gayageum." "Ho? Menarik. Maukah kau menyuguhkan sedikit penampilan untuk menemani malam yang indah ini?" "Ambilkan gayageum atau bipa ke sini." Perintah bibinya. Bahkan Aewol yang biasanya tenang pun menjadi gugup. Ia terus menumpuk kebohongan demi kebohongan yang belum matang dibentuk. Belum lewat satu hari, penipuan mereka ini akan langsung terbongkar. Ia telah menyusun rencana melarikan diri dalam kepalanya.
"Bulan berwarna putih di atas bunga pir dan Bima Sakti menunjukkan jam tangan ketiga." Suara Gyeol yang setenang danau dan sejernih embun musim semi memecah keheningan malam yang mencekam.
"Seekor kukuk tidak akan tahu maksud dari cabang musim semi," lanjutnya dengan tatapan sendu.
"Terlalu banyak kesadaran adalah penyakit, membuatku terjaga sepanjang malam." Semua yang ada di sana terpana. Semuanya tahu bahwa Gyeol selalu adalah orang yang puitis dan melankolis."Indah. Indah sekali." Puji Bibi Jangmyung. "Bibi, kurasa Aewol pasti sangat terkejut jika tiba-tiba diminta menyuguhkan penampilan yang tidak terduga. Tapi aku berjanji akan membuatnya memainkan setidaknya satu lagu untuk bibi sebelum kami kembali ke ibukota, ya?" Bibi Jangmyung menghela napas. "Sudahlah. Bibi juga sudah tidak tertarik lagi." "Bibi, udara malam semakin sejuk. Mari Solhwa antar ke kamar." Ucap Solhwa, sambil dengan lembut menggandeng tangan bibinya yang rapuh seperti ranting kering. Bibi Jangmyung mengangguk mengikuti saran orang yang selama ini begitu tekun merawatnya, lalu berdiri dan berjalan pelan menuju kamarnya.
Gyeol menghela napas lega. "Untung sekali." Myung juga sama. "Sekali sebut langsung dua alat musik. Kau gila? Membual juga perlu taktik." Gyeol menggeleng, "Biarkan saja. Setidaknya kita selamat saat ini. Untuk ke depannya, kuharap bisa mengajarkanmu memainkan gayageum. Tapi aku tidak pandai dengan bipa. Myung, tolong carikan seseorang untuk mengajarkan Aewol. Kita juga harus belajar menulis dan membaca. Hari-hari ke depannya akan sangat sibuk."
Myung menatap Aewol yang hanya diam tanpa respon. Ia jelas tidak cenderung mengaguminya, meskipun selalu tahu bahwa siluman itu cantik; tetapi ia tidak dapat menahan perasaan bahwa Aewol memiliki persatuan yang tidak biasa antara simetri, kecemerlangan, dan keanggunan.
Seandainya Myung tidak tahu betapa tidak manusiawinya dia. Seseorang pasti dapat, menyadari perilaku Aewol yang tidak terdidik dan menghubungkannya dengan kehidupannya yang terisolasi di gunung selama ini, lalu menduga bahwa sikap yang kurang ajar secara alami akan mendampingi pemikiran yang kurang ajar; setidaknya Myung sendiri siap menghadapi tingkat kekasaran yang tidak pantas dalam diri Aewol di perjamuan malam ini; tetapi wajahnya benar-benar manis, dan yang paling tidak ia sangka adalah suara serta perilakunya yang lembut. Myung merasa bersalah karena memikirkan apakah ini selain tipu daya?
Hanya dalam satu hari, Aewol sudah mampu menipu semua orang di Paviliun Chunryang, meski masih ada rasa curiga yang pekat dari bibinya dan Solhwa, tapi Aewol sudah terhitung berhasil meskipun itu hanya keberhasilan yang tipis berkat Tuannya yang mengalihkan perhatian semua orang. Myung tidak bisa menahan pemikiran betapa berbahaya dan manipulatifnya Aewol seandainya ia belajar lebih banyak cara berbaur dengan manusia. Ia hanya secara singkat mengajarkannya tata krama yang dibutuhkan saat ini. Bahkan sesama manusia pun biasa masih kikuk dalam percobaan pertama menjadi anggun. Meskipun tidak seanggun Solhwa dan se-elegan tuannya, Aewol dapat membuat orang mengira bahwa ia memang bangsawan yang baru saja turun gunung. Myung hanya berharap bahwa Aewol memang tidak seburuk yang ia kira dan masih seseorang yang tahu cara berterima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fire Serpent
FantasyPada musim dingin, mereka jatuh cinta. Pada musim semi, mereka menikah. Pada musim panas, mereka berpisah. Pada musim gugur, apa mereka bisa kembali bersama? Sebuah kisah melawan takdir. Anak yang tidak diberkati Langit dan ditolak klan-nya, apakah...