A DAY BEFORE THE DAY

44 7 0
                                    

Deg!

Hahhh…
 
Kuhembuskan nafas lega.. matanya normal, tidak ada yang terlihat mencurigakan. Kurasa aku hanya terlalu terbawa rasa takut sehinggga membuatku berimajinasi sebelumnya.
 
Tapi entah bagaimana perasaan tadi terasa begitu nyata, entah bagaimana aku merasa cukup yakin bahwa apa yang sebelumnya kulihat bukanlah sekedar halusinasi atau pun imajinasiku.
 
“Sudah sejak lama aku ingin melakukannya. Bajingan itu, dia selalu mengacau saat bertugas.” Ucap seseorang dari kursi depan memecah ketegangan pikiranku. Kufokuskan kembali pikiranku pada kenyataan dan mencoba untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
 
“John kau sangat ceroboh, Jangan libatkan aku pada apa pun yang akan menimpamu nanti. Aku hanya seorang supir kali ini. Kau mengerti?” balas laki-laki disampingnya lagi.
 
Kurasa benar dugaanku, dalam dunia mereka, membunuh bukanlah sesuatu yang patut ditakuti akan menimbulkan masalah besar bagimu, mungkin bagi mereka membunuh lebih seperti “Ops! Aku tidak sengaja.” Dan selesai.
 
Atau mungkin juga bagi mereka membunuh termasuk dalam kategori ‘solusi akhir’. Nyawa seseorang tidak memiliki harga sama sekali. Mereka bisa membunuh siapa dan kapan saja. Mereka bukanlah manusia. Mereka adalah iblis!
 
“Aku tahu. Akan ku urus.”
 
“Bagaimana kau mengurusnya?”
 
“Bukankah kau bilang tidak ingin terlibat? Jadi diam saja.”
 
“Aku hanya memastikan bahwa rencanamu tidak akan merugikanku lagi.”
 
Mereka terus mengobrol seolah yang baru saja terjadi adalah hal sepele, Hey kalian! Setidaknya pindahkan mayat ini dari tubuhku!
 
“Hahh.. kau benar-benar merepotkan, tidakkah kau berpikir kau terlalu menjadi orang yang bertanggung jawab untuk berada di dunia semacam ini?” balas John.
 
“Aku hanya berprinsip.”
 
Sejauh yang kupahami, laki-laki yang berada di kursi depan sepertinya tidak terlalu dekat dengan laki-laki ini. Mereka setidaknya bukanlah rekam satu tim,  tidak dengan laki-laki ini.
 
Terdapat suatu jarak yang terasa sudah lama ada di antara laki-laki ini dan kedua orang itu. ditambah dengan betapa mudahnya mereka membunuhnya. Orang ini jelas bukan bagian dari mereka, dan entah mengapa aku mulai merasa ada sesuatu yang tidak biasa di antara mereka bertiga.
 
“Berhentilah berbicara seperti kakek tua, kau sangat kuno.”
 
Setelahnya tidak ada jawaban lagi, ia tak lagi membalas. Sepertinya ia sudah sangat terbiasa menghadapi sikap rekannya yang ia panggil John itu.
 
Ayolah! bicara lagi, katakan hal lain lagi!
 
Aku menunggu beberapa saat, tapi mereka masih terdiam. Tidak ada lagi obrolan.
 
Argh!! Sepertinya aku yang harus memancing mereka.
 
“Eum.. permisi.. bisakah salah satu di antara kalian membantuku sebentar saja, laki-laki ini cukup berat.” Pintaku dramatis.
 
Kemudian orang yang bernama John itu menengok ke arahku, kini aku bisa melihatnya dengan jelas. Wajahnya agak bulat dengan alis super hitam dan hidung yang sedikit bengkok. Ia menatapku dengan jijik.
 
“Tahan sebentar lagi, aku akan mencari jurang terdekat.”
 
Hah?!! Apa maksudnya? Jurang? Apa mereka akan melemparnya kesana? Begitu saja? Seperti sampah?
 
“Terakhir kau membuang Eric disana polisi langsung mengendusnya, dan itu menjadi masalah besar. Kau ingat?” tukas rekannya. Yang dibalas dengusan muak oleh John.
 
“Kau punya ide yang lebih baik tuan berprinsip?”
 
“Kenapa kalian tidak menguburnya saja?”
Potongku di tengah obrolan mereka.
 
“Itu terlalu merepotkan.” Sanggah John. diluar dugaanku ternyata mereka lebih mudah di ajak bicara.
 
“Apa kalian tidak bisa membayar orang lain untuk melakukannya?” balasku lagi.
 
“Jangan gunakan ‘kalian’, mayat itu urusan orang ini, jangan libatkan aku.” Protes  laki-laki yang kini tiba-tiba menepikan mobilnya.
 
“Ahh.. jika ini idemu aku tidak akan melakukannya. Aku benci laki-laki itu. lebih baik aku membuangnya ke jurang.”
 
 
Apa kita sudah sampai?

Laki-laki itu memberhentikan mobilnya di depan sebuah Gedung putih besar bertingkat yang belum pernah kulihat sebelumnya, aku bahkan tidak pernah tahu ada Gedung semacam ini di distrik kecil kami. Tempat apa ini?
 
Ia kemudian keluar dan meningalkan kami di mobil.
 
“Emm.. haruskah kita ikut keluar?”
 
John membuka sebuah kotak kecil yang ia keluarkan dari poket kecil dibalik jasnya. Menarik sebatang rokok, menyulut ujungnya menggunakan korek api yang entah bagaimana sudah berada di tangannya dan kemudian menghisap rokok itu dengan frustasi.
 
“Lakukan saja yang kau mau.” Jawabnya singkat.
 
Kemudian tiba-tiba seorang laki-laki berperawakan besar berseragam hitam datang dan mengagetkanku. Ia mengetuk kaca mobil di depanku dan kemudian membuka pintunya.
 
Kami saling bertukar pandang selama beberapa detik. Kemudian tanpa mengatakan apa pun ia langsung menarik laki-laki yang sudah menjadi mayat di atasku, mengangkat di bahu seperti sekarung beras dan kemudian pergi.
 
Seketika dadaku terasa ringan setelah beban yang kutahan selama perjalanan tadi hilang. “Kemana dia membawanya?” tanyaku penasaran.
 
“Bisakah kau tidak banyak bertanya  kido?” balasnya frustasi.
 
Sepertinya ia benar-benar tidak suka dengan ide ini.
 
Kuintip melalui jendela, dinding Gedung itu berlapiskan marmer putih, hanya terdapat satu pintu berukuran besar dan aku tak menemukan satu jendela di sana. Terdapat dua orang penjaga yang bernampilan sama persis seperti laki-laki yang baru saja membawa pergi mayat tadi.
 
Mereka beragam hitam polos dengan sepatu boot tebal dan terdapat berbagai jenis senjata tersimpan rapi di sana.
 
Orang yang menjadi supir kami sedang berdiri di depan pintu masuk Gedung putih itu dengan seseorang yang terlihat seperti seorang dokter. Ia terlihat tengah membicarakan sesuatu yang cukup penting, tak lama setelahnya mereka berjabat tangan dan kemudian kembali ke dalam mobil.
 
“Seperti biasa aku selalu menyesal karena telah meminta pendapatmu, old man. Kau yang terburuk. Kau tahu aku bisa menjualnya dan mendapatkan uang.”
 
Oh tidak, laki-laki bernama John ini benar-benar gila. Tapi entah mengapa bagiku itu terdengar lebih manusiawi ketimbang melemparkannya ke jurang.
 
“Kau tidak bisa, jantungnya rusak.”
 
“Oh begitu? Bagaimana dengan ginjal? Bola mata? Dia masih utuh Albert!” protesnya lagi.
 
Good for you Albert. Kurasa untuk saat ini aku berada di pihak laki-laki yang baru kuketahui namanya itu.
 
“Jangan menyebut namaku dengan mulut kotormu.”
 
Setelahnya John masih tetap mengutarakan ketidaksetujuannya pada Albert, tapi laki-laki yang untuk saat ini kuanggap sebagai rekannya itu hanya diam dan terlihat tidak  tertarik untuk mengatakan apa pun.

THE LAST ARENA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang