6. She Didn't Come

127 75 11
                                    

Vote comment jangan lupa, typo tandain ya!
Enjoy, happy reading guys!
****

Sesampainya Lio dan Lia di kamarnya, mereka mulai membicarakan kejadian Seescha yang menangis secara tiba-tiba itu.

"Menurut Abang, kenapa Mommy menangis?" tanya Lia pada Lio.

"Ntahlah, aku juga tidak tau," jawab Lio seraya menaikan bahunya.

Setelah percakapan yang sangat singkat tersebut, keadaan menjadi sangat hening. Mereka berdua fokus pada pikirannya masing-masing. Dan sementara itu di kamar Alden dan Seescha, Alden memeluk Seescha yang masih menangis tak henti dari tadi.

"Udah sayang, jangan nangis lagi. Aku gak suka liat istri kesayangan aku nangis kayak gini," ucap Alden lirih.

Seescha menatap wajah Alden yang ada di hadapannya sekarang ini dengan tatapan sendu. "Dari dulu aku udah ikutin apapun yang Mama kamu mau, tapi apa semua itu kurang Kak?" tanya Seescha yang masih menangis.

"Sayang, kamu kan tau Mama memang kayak gitu da-"

"Tapi apa Aku harus selalu ikutin semua apa yang Mama mau?" tukas Seescha. Alden menghela nafas pelan, lalu memeluk Seescha lagi untuk menenangkannya.

Setelah lama menangis, akhirnya Seescha tertidur dalam dekapan Alden, dan Alden langsung memindahkan Seescha ke posisi tidur yang lebih nyaman. Alden benar-benar tidak habis pikir dengan semua yang direncanakan Mama-nya sedari dulu. Tapi apa boleh buat? Alden dan Seescha hanya bisa diam mengikuti semua keinginan Mama-nya.

"Gue sendiri gak mungkin putuskan Lio atau Lia yang pergi ke Milan, Gue butuh pendapat Seescha dan tentunya pendapat langsung dari anak-anak gue," ucap Alden bermonolog.

Alden berjalan menuju kolam renang dengan membawa rokoknya dan duduk di salah satu kursi yang ada, menyalakan rokoknya lalu menyesapnya. Selagi merokok, pikiran Alden tidak kosong, pikirannya penuh memikirkan masalah yang mulai berdatangan silih berganti di hidupnya dan juga di hidup keluarga kecilnya.

"Lio atau Lia? Gak hanya jangka pendeknya, Gue juga harus mikir untuk jangka panjangnya," ucap Alden setelah menghembuskan asap rokoknya.

"Gue bisa pilih Lio untuk tinggal di Milan, but Lio akan membutuhkan rehabilitasi dan pengawasan langsung dari gue. Tapi kalau gue pilih Lia untuk tinggal di Milan, she's girl, dia pasti butuh gue dan Seescha."

"Gue ikut semua keputusan dari Seescha, apapun akan gue dukung. Tapi apa Seescha bisa putuskan siapa yang akan tinggal di Milan? Itu pasti tidak mudah bagi Seescha."

Setelah lama terdiam sambil merokok, Alden menyudahi aktivitasnya itu dan kembali masuk ke dalam rumah, seketika terlintas di pikirannnya saat ini tentang kedua anaknya yang tadi juga melihat Seescha tiba-tiba menangis, mereka berdua pasti khawatir. Kemudian Alden memutuskan untuk mengecek keadaan anak-anaknya tersebut.

Setelah sampai di depan kamar Lio dan Lia, Alden mengetuk pintu kamar yang ada di hadapannya saat ini "Apa Daddy boleh masuk?"

"Boleh Dad." Jawab Lia.

Lalu Alden masuk ke dalam kamar tersebut dan duduk dipinggir kasur, tepat disamping Lio yang menatapnya datar. Alden tersenyum kikuk melihat ekspresi Lio yang ditunjukkan padanya, terasa aneh 'Ini Lio kenapa natap gue kayak gitu?'

"Kalian gak main mainan yang baru dikasih sama Oma? Atau menonton kartun mungkin?" tanya Alden pada kedua anaknya.

"Gak." Jawab Lio. Alden hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban dari Lio.

"Daddy yang menjadi alasan Mommy menangis bukan?" Lio bertanya masih dengan wajah datarnya.

"Abang kok nanya kayak gitu? Itu sama aja Abang menuduh Daddy, kan kata Mommy menuduh itu gak baik," ucap Lia lembut.

RyshaliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang