Andelyn tengah tertunduk berdiri di depan altar. Rambut ikalnya turun menutup sebagian wajahnya.
Seorang pendeta dengan pakaian khasnya berdiri tegap di depan pintu. Seolah sedang menyambut kedatangan Andelyn, ia masih mematung menunggu gadis itu berbalik badan. Ia tau Andelyn telah menyadari kedatangannya sejak ia berjalan menuju sini.
Andelyn masih diam. Ia hanya memutar bola matanya begitu mendengar suara langkah kaki pria berambut putih di belakangnya sana. Sepertinya langkahnya sudah berhenti beberapa saat tadi.
Gadis itu mengangkat kepalanya. Ia berbalik seraya berkata, "Bapa, ampunilah aku karena telah berdosa." Suaranya terdengar seperti sebuah hinaan. Ia menyeringai menatap pria berjubah hitam yang kemudian melanjutkan langkahnya menghampiri Andelyn.
Merasa ia harus menyambut pendeta itu juga, Andelyn melangkahkan kakinya gontai. Tatapannya tajam lurus menatap pria tua yang tengah bergumam mengucapkan segala doa itu.
Pria itu bergetar. Doa yang ia lafalkan semakin keras diucapkan. Jemarinya bahkan terasa beku untuk membalik lembaran buku kecil di tangannya. Sementara jarak mereka tak lagi jauh.
"Merindukanku?" Andelyn angkat suara begitu mereka telah berhadapan langsung, tak lebih dari satu kaki.
Pendeta itu terperanjat. Tatapannya begitu tajam dan pasi menemukan bola mata coklat madu Andelyn. Ia gemetar. Dilanjutkannya lagi lafalan doa dalam setiap ayatnya.
Andelyn tersenyum kecut. Seperti biasa, ujung bibir kanannya terangkat lebih tinggi. Sinis. Ia menurunkan buku kecil itu dari hadapan pria tua itu. "Bagaimana jika bermain dahulu?" ucapnya.
Pria tua itu tak menghiraukan Andelyn. Ia terus bergumul dengan ayat-ayat dalam Alkitab.
"Kau tak lelah memburuku?" Andelyn tetap berbicara, meski pria tua itu mengabaikannya.
"Seumur hidupmu kau habiskan untuk mengurusiku, aku sangat tersanjung," lanjutnya dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Tatapannya tajam, menghujam pria tua yang telah menghabiskan separuh cadangan air liurnya.
Gadis itu geram. Tatapannya begitu tajam dari sebelumnya. Ia gemetar menahan amarahnya. Seperti sedang mengumpulkan ledakan besar. Matanya memerah dengan napas yang menderu. Kulit putih pucatnya semakin mengkerut dengan pembuluh vena yang bermunculan ke permukaan kulit. Bahkan di wajahnya juga, seperti akar pohon yang tumbuh di tubuhnya. Pupil yang sebelumnya bulat itu berubah menjadi memanjang seperti kucing. Iris matanya terlihat merekah jelas seperti bunga.
"Enyahlah ke surga!" teriaknya dengan suara yang parau. Sangat parau. Wajahnya sangat mengerikan. Bibir kecil itu berubah membusuk dan bergigi runcing berserabut seperti paus. Bahkan hingga ke pipinya. Tubuhnya pun berubah menjadi hitam dan kurus kering. Kulitnya mengeriput, serta kotor dan sedikit hitam kehijauan.
***
Secercah sinar matahari menembus celah ventilasi kamar Ethan. Laki-laki bermata coklat sayu itu menggeliat di balik selimut. Ponselnya berdering, entah di mana. Mungkin di balik bantalnya, atau mungkin tergulung dalam selimut. Ia menggagapi kasurnya sembari mengerjap, mengumpulkan kesadarannya.
"Ethan, Abigail meninggal," suara di seberang sana terdengar panik. Membelalakan mata sayu Ethan yang masih mengantuk. "Sepertinya pembunuhan tragis," lanjutnya.
Ethan termenung. Pendeta yang selama ini berpihak padanya telah pergi tanpa memberi pesan apa pun untuk masalahnya. Masalah menangani adiknya.
Pembunuhnya pun tentu makhluk itu. Tapi itu berarti adalah Andelyn, karena makhluk itu tinggal dalam tubuh adiknya. Jadi, satu-satunya orang yang telah mengetahui sosok dalam tubuh Andelyn hanyalah dia yang telah meninggal.
"Ethan? Ethan?" seru suara di sana.
"Ya, aku mendengarmu," sahutnya, lesu.
Klik.Dia yang berada dalam tubuh Andelyn pastilah juga tau bahwa Pendeta itu adalah orang yang diminta Ethan untuk menjaga Andelyn atas permintaan Daddy sebelum meninggal. Tentu, makhluk itu juga paham bahwa Ethan adalah satu-satunya yang mengetahui ini semua. Hanya saja ia terus berpikir tentang cara pikir makhluk itu yang masih membiarkan Ethan hidup dan memikirkan cara untuk mengenyahkan dia dari tubuh gadis yang semakin hari semakin melemah itu.
"Ethan!" Andelyn menerobos masuk ke kamarnya dengan riang. Seolah tak terjadi apa pun. Seolah dia masih adiknya yang manis dan polos. Ia menghampiri tepi kasur Ethan.
Ethan memejamkan matanya pelan. Pegal rasanya ia terus menatap gadis ini di hadapannya. Sembari menghela napas panjang, tubuhnya melemas. "Pendeta Abigail meninggal," ucapnya.
Andelyn diam. Ia tak menunjukkan raut wajah yang mencurigakan. Ia hanya terus menatap wajah kusut Ethan dengan seksama. Tatapannya teduh, tak tampak seperti sebelumnya.
Ethan menoleh begitu tak mendapatkan respon apapun dari Andelyn. Gantian, tatapannya yang tajam ke arah gadis berambut ikal yang terurai. Ia bangkit, terduduk dalam selimutnya, dada bidangnya begitu menarik untuk dilihat, jika saja ia sedang berdiri di keramaian. "Siapa kau sebenarnya?" Akhirnya Ethan menyerah untuk berpura-pura. Entah apa yang ada dalam benaknya.
Gadis itu diam. Ia masih menatap Ethan teduh. Seolah ia tak memiliki kesalahan apapun untuk bisa menerima tatapan sadis kakaknya.
Ethan muak. Ia menggenggam pergelangan tangan Andelyn. Tangannya sangat dingin. Lebih dingin dari mayat yang membeku di Antartika. Ia meremasnya kuat, membuat ujung-ujung jarinya semakin membiru seperti kehabisan darah.
"Yang kau lakukan hanya akan menyakiti tubuh ini, bukan aku," ucapnya terdengar seperti sedang menertawakan Ethan. Sudut bibir kanannya terangkat lebih tinggi.
"Kembalikan Andelyn! Tubuh itu akan mati jika kau terus memakainya, bukankah ini adalah satu-satunya tubuh yang mudah untuk kau pakai. Kau tak ingin kehilangan jasad yang bisa kau pakai, bukan?!" Ethan menemukan kelemahan musuhnya tiba-tiba. Ia mengancam dengan sangat baik.
Gadis itu terdiam. Ia termenung dalam pikirannya. Lalu menatap Ethan dengan raut curiga, tapi juga bingung. Bagaimana pun juga ia masih membutuhkan tubuh Andelyn. Tapi sialnya manusia ini tengah berusaha untuk mengendalikan dirinya. "Senang mengetahui bahwa kau cukup berani mengatakan itu padaku." Andelyn menyeringai.
Ethan hanya tersenyum kecut memandang punggung Andelyn yang menghilang di balik pintu.
***
"Hei, Justin," panggil Andelyn dengan riangnya. Ia bahkan setengah berlari menghampiri laki-laki bertubuh bidang itu.
Laki-laki berambut gold itu menoleh. Seperti orang yang menemukan harta karun dalam laut. Mata hazelnya berbinar, lengkap dengan senyum manisnya yang mengerutkan ujung matanya. Ia mendengus. "Rasanya lama sekali aku tak melihatmu," keluhnya.
Andelyn mengerutkan dahi. "Benarkah?" godanya. Lalu pandangannya mengedar ke seluruh penjuru. Di sisi kanan ujung lobby sana, tepat di bangku kayu ujung koridor, Andelyn menghentikan pandangannya pada laki-laki berambut hitam yang sedang duduk sendiri.
"Wayne, lagi?" protes Justin, mendengus kesal.
Andelyn tersontak. Ia meraih lengan kekar Justin. Sembari bergelayutan manja, ia merengek, "ayolah, aku hanya meliriknya sedikit. Semua orang tau dia tampan."
Justin mendengus. Berani juga Andelyn mengatakan Wayne tampan, padahal satu-satunya orang tampan yang ingin dia dengar adalah dirinya. Ia memalingkan wajahnya. "Semua orang juga tau dia menjadi aneh setelah gadis pengikut setan itu mati," ketusnya.
Andelyn terhenyak. Laki-laki ini sepertinya telah membuatnya tersinggung. Rautnya berubah kecut dengan tatapan tajam. "Kau tau, Andelyn-mu itu jauh lebih aneh dari Wayne!" gertaknya terdengar aneh di telinga Justin. Apa dia sedang menghina dirinya sendiri? Justin mengerutkan dahinya.
Mata hazelnya membeku begitu bertumbuk dengan mata coklat madu itu. Tatapan yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Lagipula, kenapa Andelyn harus marah dan menghina dirinya sendiri dengan nada tinggi seperti itu? Justin terheran. Lebih heran saat Andelyn mrninggalkannya dan berjalan gontai ke arah Wayne.
KAMU SEDANG MEMBACA
R.I.P Andelyn
HorrorPernahkah kau berjalan melewati makam? Pernah mencoba menghitung jumlah gundukan tanah di sana? Atau, pernahkah kau merasa mereka menemukanmu hanya karena kau menoleh ke arah angin yang tak tampak itu? Jika jiwamu rentan, jangan sekali-sekali menole...