R.I.P Andelyn Part 1

830 20 0
                                    

Tidurlah dengan tenang di sisiNya, Dia akan meyayangimu secara langsung tanpa perantara.

"Andelyn, hei...bangunlah!" Mommy menggoyangkan ranjang hangat putrinya. Sembari menarik selimut hangat bermotif bunga Lily of Valey favorit si pemilik, dia menyibakkan gorden merah darah setinggi dua meter itu.

Andelyn mengerang malas begitu secercah sinar surya menerobos masuk tiba-tiba. Ia mengernyit. Membenamkan kepalanya ke balik bantal putihnya. "No, Mom! Hari ini aku libur, tak bisakah aku bermalas-malasan seperti kuda nil yang berkubang di lumpur?!" protesnya begitu wanita bertubuh semampai itu menarik kakinya.

"Baiklah, kalau begitu Justin akan kusuruh pulang."

"Wait!" pekik Andelyn beranjak dari kasurnya. Mata coklat madunya berbinar terang. "Aku bangun sekarang," ucapnya sambil setengah berlari ke kamar mandinya yang juga masih ada di wilayah kamarnya.

Wanita berdagu lancip dengan pipi tirus itu hanya tersenyum geleng.geleng sambil menutup pintu putih kamar putrinya. Lalu ia berteriak dari atas sini, "kau harus menunggu Andelyn satu abad! Dia masih memakai piama dan sandal kelincinya."

"Mommy!" teriak Andelyn dari dalam kamar mandinya. Pendengarannya memang setajam binatang yang menjadi alas kakinya itu.

Justin terkekeh mendengar Andelyn sudah protes sepagi ini. Gadis berambut sewarna dengan matanya itu selalu membuat laki-laki ini terkekeh sendiri setiap mengingatnya. Ia duduk tenang di atas sofa empuk sembari memainkan ponselnya.

"Aku siap!" pekik Andelyn tiba-tiba sudah ada di hadapan Justin.

Juatin mendongak. Menatap gadis berambut coklat yang selalu dikepang dua layaknya anak pecundang di sekolahan. Dan Justin selalu protes dengan kepangannya itu, meski Andelyn tak pernah menghiraukannya. Ya, Justin hanya merasa kesal ketika mendengar satu sekolahan meledeknya, menertawakan, bahkan terkadang mengerjainya berlebihan. Dan lebih kesalnya, Andelyn selalu diam. Dia tergolong orang pendiam, jarang bergaul, dan semua orang menilainya aneh karena terkadang wajahnya berubah mimik tanpa alasan. Sebagian menganggapnya gila, kecuali Justin. Ia menghela napas sambil memasukan ponselnya ke saku celana olahraganya, "sekali-kali kau perlu ke salon, melihat majalah wanita, atau datang ke acara Fashion Week!"

"Iya! Suatu saat nanti akan kulakukan itu semua, tapi bukan sekarang," jawab Andelyn.

Justin mengernyit. Masa bodoh dengan alasan Andelyn yang kerap ia dengar. Sepatu bertalinya dientak ke lantai sambil dia beranjak. Laki-laki berkulit pucat itu berdiri kokoh di depan Andelyn, lalu berjalan mendahului ke luar pintu gerbang.

"Hei, jangan belok ke situ!" protes Andelyn yang berhenti di depan pagar memandangi punggung Justin.

Justin menghentikan langkahnya yang tengah berlari kecil. Ia menolah sambil merentangkan tangannya, tanda ia protes dengan tolakan Andelyn setiap diajak lewat jalan itu. Padahal belok ke kiri akan menghemat sepuluh menit. Justin masih bertahan di tempatnya berdiri, sementara Andelyn menatapnya tajam. "Ayolah! Kita sudah kesiangan, ke arah sini akan lebih cepat," bujuknya. "Tak akan ada orang jahat yang berani menghampirimu! Aku akan menjadi pagar bumimu!" ia masih berusaha meyakinkan. Tanpa pikir panjang ia membawa lari pergelangan Andelyn sebelum gadis ini melontarkan penolakannya lagi.

"Hei! Justin Kleinstern, kau benar-benar..."

"Kujanjikan keamananmu!" tukas Justin.

Andelyn bungkam. Ia hanya mengikuti langkah kecil Justin yang setengah berlari di tepi jalan. Ia sedikit was-was. Pikirannya melayang ke mana-mana selama pergelangannya masih ditarik kencang oleh Justin. Dua meter lagi. Di depan sana. Ia harus berperang melawan ketakutannya sendiri. Keringat dinginnya mulai mengucur dengan bulu kudu yang berdiri. Langkahnya semakin pelan membuat Justin merasa semakin berat menariknya. Jelas, ia tak bisa menyembunyikan ketakutannya di depan Justin. Ini pun pengalaman pertama Justin melewati jalan ini bersama Andelyn, dan ia pun tak tau apa alasan Andelyn menolak jalan ini. Ia berhenti, berjalan mengiringi langkah Andelyn. Diperhatikannya dengan seksama wajah pucat dan kaku Andelyn. Ia tau gadis ini sedang ketakutan setengah mati. Tapi apa? Tak ada hal yang menakutkan di sini. Ia mengedarkan pandangannya. Satu-satunya hak yang menakutkan adalah tempat peristirahatan terakhir di depan sana. Dan hanya anak-anak kecil yang takut dengan tempat seperti itu. "Kau takut dengan kuburan?"

Andelyn diam. Ia hanya terus berjalan cepat sambil menunduk dan memejamkan matanya meski sulit. Tangannya mencengkeram lengan Justin kuat, bahkan kuku-kukunya bisa menembus kulit putih pucat itu.

"Hei, kau tak usah takut! Itu hanya tumpukan tanah dengan tulang yamg tak bisa bergerak, bahkan sudah dimakan cacing! Lihat! Kakimu sudah memakai sepatu, kau bisa lari kalau kau takut, kita keluar juga memang mau jogging, kan?!" Rentetan kalimat Justin terus mengalir tanpa henti.

Tiba-tiba saja Andelyn berhenti. Meski menunduk, ia tetap tak bisa menahan dirinya untuk tak mengangkat kepalanya dan menatap ke depan.

"Andelyn?" tanya Justin, heran.

Gadis bermata coklat madu itu terbelalak. Pupilnya membesar. Tak ada apapun di hadapannya. Hanya jalanan kosong yang terhampar luas. Tapi ia masih mematung seperti seorang maling yang kepergok mencuri. Seketika wajahnya pucat pasi. Semilir angin membelai kedua ikatan rambutnya dengan tegas.

"An?" panggil Justin pelan. Khawatir kalau tiba-tiba Andelyn jatuh pingsan.

"Ayo!" Seret Andelyn pergi dari depan pintu depan pemakaman umum ini. Langkahnya berat menarik Justin, tapi tetap ia paksa. Toh, hanya jogging pagi. Ia bisa menahan beban beratnya ini.

R.I.P AndelynTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang