Gadis itu menghampiri Wayne. Begitu cepat ia melupakan Justin yang tengah berbicara dengannya. Langkahnya gontai, dengan senyum khasnya. Ia menghentikan langkahnya, tepat di depan kursi panjang yang tengah Wayne duduki. Ia menunduk, menunggu laki-laki berambut hitam itu mendongak ke arahnya.
Sepasang sepatu kulit berwarna coklat berhenti tepat di mana Wayne tengah melamun menatap lantai marmer itu. Tali sepatunya diikat sembarangan. Mengingatkannya akan seseorang. Tapi ia lekas mendongak. Cukup silau, karena matahari pagi ini tepat terlihat bersinar di balik punggung gadis itu. Wayne mengernyit.
"Hai, Wayne," sapa Andelyn senyumnya.
Wayne mengernyit. Ia bergeser untuk menghindari silau matahari. Ternyata Andelyn. Sekarang dia benar-benar terlihat aneh di mata Wayne. Makhluk ini tiba-tiba menyapa dan berbicara dengannya, bahkan sebelumnya mereka hanya saling berjalan seperti angin. Laki-laki ini hanya diam menatapnya. Menunggu apa maksud dari kedatangan Andelyn.
Gadis itu merubah rautnya. Tampak lebih serius dari sebelumnya. Senyumnya lenyap. "Aku perlu bantuanmu."
"Bantuan?" Wayne heran. Selama ini dia tidak merasa pernah atau sedang membuka jasa bantuan. Jadi, kenapa manusia aneh ini meminta bantuannya?
Andelyn mengangguk. Ia lekas duduk di samping Wayne tanpa permisi. Tanpa memperdulikan ekspresi bingung dan terkejut Wayne.
Laki-laki itu hanya diam. Berpura-pura tak sedang berbicara dengan Andelyn dan mengedarkan pandangannya. Semua orang tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tapi ada satu mata yang ia tangkap sedang memperhatikan mereka. Mata hazel di seberang sana, tepat di ujung koridor dekat tangga menuju lobby kelas Sejarah.
Sementara Andelyn tetap fokus dengan topiknya. "Apa kau tak melihat aku semakin pucat setiap harinya?" Lalu, "apa kau tak memperhatikan sikapku yang berubah akhir-akhir ini?"
Wayne kembali pada pembicaraan Andelyn. Hanya beberapa kalimat yang ia tangkap. "Kenapa aku harus ingin tau?" jawabnya menatap Andelyn. Ia sedikit terhenyak begitu menatap gadis itu yang sepertinya memang berbeda. "Apa kau tak ingin tau siapa yang sedang memperhatikan kita dari tadi?"
Andelyn menoleh ke segala arah. Tampaknya semua orang ribut dengan urusan mereka masing-masing. Jadi, siapa yang Wayne maksud? Ia mengangkat bahu. Lalu mengikuti arah pandang Wayne yang menunjuk ke arah ujung koridor barat. "Biarkan saja dia, aku tak ada urusan dengannya..."
"Kau yang tak ada urusan denganku!" tukas Wayne.
Andelyn diam. Ia memejamkan matanya sesaat, lalu membukanya begitu iris matanya berubah menjadi bunga yang sedang mekar.
"Ca-Cassandra?" Wayne tergagap.
Gadis berkulit putih pucat itu tersenyum, khas. Ujung bibir kanannya terangkat lebih tinggi. Samar, ia mengangguk, membenarkan tebakan Wayne. "Bantu aku. Tubuh ini akan mati jika terlalu lama kupakai," ucapnya.
Wayne masih diam. Ditatapnya dalam bulatan mata coklat itu. Hampir ia tenggelam dalam lamunan. Laki-laki beralis tebal itu beranjak. Ia ingin tau apakah Justin masih ada di tempat tadi, tapi ia tak berani menoleh. Terpaksa, ia harus bersikap biasa dan tidak bertingkah berlebihan, karena ia tak ingin Justin khawatir dan mengikuti mereka jika ia langsung menarik Andelyn pergi. "Ikut aku," ucapnya.
Andelyn gegas beranjak dengan semangat.
"Jangan berlebihan! Pacar dari pemilik tubuh itu sedang memperhatikan kita." Wayne memperingatkan.
Andelyn mengangguk, samar. Ia hanya menatap punggung Wayne yang menghilang di tengah kerumunan pintu utama sekolah. Ia menghela napas, lalu menoleh ke arah koridor barat. Sekilas, Justin sudah menghilang menaiki tangga. Sepertinya aman. Ia berjalan cepat menyusul Wayne.
KAMU SEDANG MEMBACA
R.I.P Andelyn
HorrorPernahkah kau berjalan melewati makam? Pernah mencoba menghitung jumlah gundukan tanah di sana? Atau, pernahkah kau merasa mereka menemukanmu hanya karena kau menoleh ke arah angin yang tak tampak itu? Jika jiwamu rentan, jangan sekali-sekali menole...