R.I.P Andelyn Part 2

392 14 0
                                    

Aku menemukanmu!
Andelyn?
Kau sangat indah!
Andelyn?
Andelyn?
Andelyn?
Ajak kami bersamamu... kami ingin bermain. Jabatlah jemariku, ulurkanlah tanganmu! Andelyn, Andelyn sayangku... ajak kami denganmu.

Suara-suara itu menggema di pikiran Andelyn. Pertama, hanya terdengar sekilas. Samar. Kemudian semakin intens. Semakin cepat gadis berambut kepang sepanjang punggung itu berlari kecil, semakin suara itu terus mengejarnya. Perlahan menjadi sebuah kalimat bernada. Seperti sebuah nyanyian keramat pemanggil setan.

Tetes demi tetes keringat Andelyn mengucur di pelipis. Pandangannya semakin kabur.

"Liburan ini Harry mengajak ke pantai, kau mau ikut?" Justin memulai pembicaraan setelah keheningan sejak berjalan melewati kuburan tadi.

Gadis berkulit agak coklat itu masih bungkam. Matanya sayu. Entah, sejak kapan. Bibir kecil itu terengah-engah mengatur napasnya. Sedikit bisa Justin dengar ada sedikit getaran di setiap napasnya. Ia tak menjawab, tapi memelankan langkahnya. Lalu berhenti, sementara Justin baru menyadarinya setelah tertinggal lima langkah.

"An? Are you okay?" tanya laki-laki berambut gold itu. Keringatnya mengalir melewati rahangnya yang terlihat tegas.

Andelyn diam. Ia hanya membungkuk. Kedua tangannya menumpu di lutut dengan napas tersengal-sengal. Pandangannya kabur, Justin di hadapannya itu menjadi dua--samar--lalu gelap.

Andelyn pingsan di tengah jalanan yang ramai oleh orang-orang yang sedang jogging. Otu memang tempat khusus untuk jogging.

Andelyn, Andelyn, ajak kami bermain.
Andelyn, Andelyn, kau sangat manis sekali.
Andelyn, Andelyn, ayo bermain ke luar.
Andelyn, Andelyn, kau sahabat yang baik.
Andelyn, Andelyn, kau pasti lelah di sana.
Andelyn, Andelyn, berbagilah jasad dengan kami.

Suara nyanyian itu masih menggema semakin sering.

"Nooooooo!" teriak Andelyn terbangun dari ranjangnya. Rambut coklatnya terurai bebas. Matanya masih sayu dengan napas tersengal.

"An, it's ok! It's ok!" Wanita berambut ikal sewarna dengan Andelyn itu mengusap pipi putrinya.

Sementara laki-laki berwajah maskulin yang berdiri di depan tempat tidur sana masih khawatir. Ia menyeringai panik. Kaki kanannya terus bergoyang selama menunggu gadis yang ia bawa lari tadi sadar dari pingsannya.

Andelyn, Andelyn, jangan diamkan kami.
Andelyn, Andelyn, kau sahabat terbaik.
Andelyn, Andelyn, berbagilah sedikit.

Lagi, suara seperti nyanyian itu menggema di kepala Andelyn. Ia berusaha tak acuh. Ditatapnya wajah panik mommy, wanita yang seorang diri merawatnya mati-matian itu sedang panik dengan alis yang mengerut. Ia lekas memeluk tubuh kurus wanita itu. Lalu menangkap sosok Justin di depan sana yang sedang mengusir cemasnya.

"Hei," sapa Andelyn melepaskan pelukannya.

Justin tersenyum pasi. Ada sedikit kekakuan di wajahnya. Kulit pucatnya terlihat lebih pucat.

"Akan kuambilkan minuman untuk kalian," ucap mom beranjak memberikan kesempatan Justin untuk duduk di tepi kasur Andelyn.

Justin mengangguk. Ia melangkah lambat dari tempatnya. Benaknya masih berkecamuk menyalahkan dirinya sendiri atas pingsannya Andelyn. Seharusnya dia paham, setiap orang memiliki rasa takutnya sendiri. Bahkan ada orang pobhia dengan laba-laba, lalu tentu saja pasti ada juga orang yang pobhia dengan kuburan. Itu hal yang wajar. Seharusnya ia mengerti dan tidak memaksa. Rasa bersalahnya semakin memuncak saat Andelyn kembali menjadi aneh seperti halnya ketika di sekolah.

Mata sayu Andelyn menatap Justin tajam dengan wajah kaku dan penuh ketakutan. Seperti halnya di sekolah, lagi-lagi ia merubah mimik wajahnya tiba-tiba tanpa sebab.

"An?" panggil Justin pelan sembari menepi di ranjang temannya itu.

"Justin," ucap Andelyn setengah berbisik dengan wajah yang masih pucat pasi dan mata yang terbelalak. "Jangan menoleh ke belakang! Jangan menoleh ke arahnya!" bisiknya.

"Apa? Ke arah siapa? Ada seseorang di sini?" Justin menghujani Andelyn dengan pertanyaan, lalu bersiap mencari sesuatu yang sedang ditatap gadis itu dengan tajam.

"Jangan!" Andelyn menahan kepala Justin. Tangannya sedingin es dan bergetar di rahang Justin.

Justin mengangguk pelan. Lalu ia menutupkan tangan kanannya ke kedua mata Andelyn. "Kau juga tak harus memandangnya seperti itu!"

Andelyn menggeleng kaku. Bibir keringnya berkata, "it's ok! I'm fine!" ucapnya sembari menarik simpul ujung bibirnya, berubah 180 derajat. Ia menarik tangan Justin menjauh. Senyum lebarnya terpasang indah dengan deretan gigi yang rapi. Sama sekali tak terlihat sisa-sisa ketakutan di wajahnya. Seolah semua itu tadi hanya sebuah lelucon yang ia buat. Ia terkekeh kecil, meski Justin masih menatapnya serius.

"Minuman datang!" seru mommy, tiba-tiba masuk dengan dua gelas air putih dan dua gelas jus stroberi.

"Wuuuaaah!" Andelyn berbinar menatap gelas-gelas di atas mejanya. Lalu ia tersenyum, "thanks, Mom!" ucapnya seolah tak terjadi sesuatu hal yang serius.

Wanita yang sering dipanggil Renee itu mengangguk sambil tersenyum lembut. Kemudian ia menoleh ke arah lelaki yang masih terpaku melamun di tepi ranjang putrinya. "Apa sebentar lagi giliranmu yang pingsan?" godanya.

Justin terhenyak kaget. Lalu ia menggeleng. "Mana mungkin aku pingsan," bantahnya.

Hening.

"Oiya, Harry mengajak ke pantai liburan ini," bahas Justin menatap Renee.

"Lalu?" sahutnya sambil melipat kedua tangannya di dada. "Aku tak percaya kalian mengajak orangtua untuk berlibur," sambungnya.

Andelyn terkekeh.

"Bukan. Maksudku, aku meminta izin untuk mengajak Andelyn," jawab Justin.

"Tidak," tukas Andelyn, "aku tak akan pergi ke mana-mana," lanjutnya.

Alis tebal Justin mengerut. Ia saling tatap dengan Renee. "Kau yakin? Liburan di rumah akan sangat membosankan." Ia mencoba membujuk.

Andelyn tetap bergeleng. Sambil menatap Justin memelas dan menghela napas, "kau salah besar! Akan lebih menyenangkan jika waktu liburan kuhabiskan untuk bermalas-malasan di sini," ucapnya sambil menepuk-nepuk kasur empuknya. Senyumnya sangat manis, membentuk pelupuknya seperti bulan sabit.

"Baiklah! Terserah kau saja, aku tak akan pernah berhasil membujukmu," keluh Justin sambil mengambil segelas air putih dan menenggaknya habis. Kemudian ia menatap mata coklat madu Andelyn yang teduh. "Aku pulang dulu," pamitnya sambil mengusap kepala Andelyn. Lalu keluar berbarengan dengan janda yang tergolong muda itu.

Andelyn!

Suara itu mengangetkan gadis berhidung lancip itu. Ototnya tiba-tiba kaku. Tak berani ia menoleh ke arah sesuatu yang ada di samping kanannya itu. Meski deru napasnya mampu membelai bulu kudu Andelyn.

R.I.P AndelynTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang