R.I.P Andelyn Part 8

202 11 0
                                    

Laki-laki berambut gold itu tergesa. Ia sedikit bernapas lega begitu menemukan mata coklat madu Andelyn yang tengah membentuk bulan sabit itu. Ia berdehem kecil memperbaiki sikapnya sambil melenggang santai, lalu mengangkat alisnya sebelah. "Kau bilang kau sakit?" protesnya.

"Aku tak bilang sakit, tapi baru saja pingsan," balas Andelyn tak kalah dengan nada tinggi.

"Kalau kau pingsan itu harusnya kau juga sakit." Justin tak mau kalah.

"Apa kau sedang mengharapkanku sakit, huh?" Andelyn merengut kesal.

Masih dengan wajah dingin dan kesal, Justin menatap Andelyn tajam. Alisnya mengerut, berkumpul menjadi satu. Lalu ia menghela napas sembari bergeleng. "Seharusnya kau meminta Wayne yang ke sini." Ia meletakkan bokongnya ke tepi ranjang.

"Wayne lagi," keluh Andelyn.

"Beberapa hari kemarin kau hanya memperdulikannya." Justin memalingkan wajahnya kesal.

"Kau cemburu? Jika ya, maka jangan pernah meremehkan phobia-ku!"

Justin mendengus kesal sembari memutar bola matanya. Sekilas ia menangkap jemari Andelyn yang terluka kecil. Ia langsung mengernyit sembari menarik paksa tangan gadis itu.

Ssshhh! Andelyn meringis, lalu melotot tajam ke arah Justin.

"Apa ini sakit?"

"Kau tak melihat aku kesakitan?!" Andelyn menyeringai kesal.

Justin terkekeh. Gigi kecilnya tertata rapi. Sangat manis. Sayang, Andelyn lebih memilih mengabaikan senyum manis itu. "Jadi, ini sakit?" Justin memencet tepi luka di ujung jari Andelyn dengan semangat. Seperti seekor kucing yang tengah mempermainkan tikus.

Andelyn menarik kembali tangannya. "Kau mau mati, huh?!" Gadis itu menodongkan bogem di depan wajah Justin.

Laki-laki berambut gold itu masih terkekeh geli, sembari menyobek bungkus hansaplast. Terlalu lama ia tertawa puas sampai giginya hampir kering. "Berikan tanganmu!" Ia memintanya dengan sopan kali ini. Tangan kanannya menyodor meminta Andelyn menyerahkan tangannya.

Masih dengan raut kesal. Andelyn menaruh tangannya di pangkuan Justin dengan terpaksa.

Laki-laki bermata hazel itu memperhatikan luka kecil Andelyn. Terlihat agak parah jika itu luka tertusuk duri. Duri apa yang menusuk satu jarinya saat pingsan di tengan taman? Duri mawar pun tak mungkin melukainya seperti ini. Ia tertegun sesaat, tapi Andelyn segera membuyarkan pikirannya.

Ia mendongak. Menatap Andelyn yang masih memasang wajah kesalnya. "Apa kau pingsan di proyek bangunan, huh?" komentar Justin sembari menempelkan bagian tengan hansaplast ke luka Andelyn. "Seharusnya kalau kau mau pingsan itu pilih tempat yang strategis dan aman," lanjutnya.

"Kalau begitu aku memilih pingsan di ranjang empukku yang hangat ini!"

Justin masih menunduk merekatkan hansaplast bermotif ikan itu. Kemudian ia melirik ke atas, memperhatikan gadis gila yang tengah mengoceh liar ini. "Pingsan saja di pelukanku! Terjamin keamanannya!"

"Percaya diri sekali pelukanmu lebih aman dari ranjangku."

"Jelas saja! Kau tak lihat?!" Justin melirik ke bagian kosong ranjang Andelyn. Ada gunting, pensil runcing, kertas berwarna, lilin kecil dengan korek api, dan jarum dengan benang yang berserakan di tepi seberang sana.

Andelyn meringis. Ia mengibaskan selimutnya sampai barang-barang itu jatuh berserakan di lantai. "Sekarang bersih!" Senyum lebarnya terpasang.

Justin terkekeh sembari bergeleng. Ia mengedarkan pandangannya ke arah meja samping ranjang Andelyn. "Mana majalah wanita yang sudah kau baca?" tanyanya sembari celingukan.

Andelyn mengernyit. "Majalah?"

Justin mengangguk. "Kau mengubah gayamu karena mengikuti saranku, kan?!"

Andelyn bergumam beberapa saat. Ia baru sadar rambutnya terurai sedari tadi. "Sebaiknya kau jangan pedulikan aku jika rambutku tak kuikat!" Ia memperingatkan. Tentu saja, ia mati-matian mempertahankan gaya rambut pecundang itu sebagai ciri khasnya, meski ia sangat ingin merubah gayanya seperti gadis-gadis lain di sekolah yang selalu ikut trend.

***

Tangan kasar itu kembali menyisir helai demi helai rambut blonde itu. Meski tatapannya tajam, tapi terlihat kosong. Kelamnya langit di luar sana tak menghiraukan batin Wayne yang tengah berkecamuk. Mata bulatnya beralih pada sosok boneka kayu yang bersandar di lampu belajarnya yang padam. Boneka yang terus menyunggingkan senyum dengan tulang pipi yang naik. Sudah beberapa hari ini dia tetap berada di posisi seperti ini. Kantong matanya bahkan semakin turun dan menghitam.

Graaakkk!! Sesuatu mengejutkan Wayne yang tengah melamun. Boneka kayu yang cukup lama ia belai itu baru saja terjatuh beberapa detik lalu.

Boneka dengan gaun renda berwarna krem itu tergeletak di bawah meja. Meski sedikit aneh kejadiannya. Bagaimana bisa boneka yang bersandar di tengah meja itu tiba-tiba jatuh, bahkan tak ada angin yang berani menghamburkan kertas di meja ini.

Laki-laki berambut spike yang acak-acakan itu terbelalak. Tiba-tiba saja jantungnya memompa ekstra. Meski begitu, tatapannya tak lepas dari boneka itu. Ia tak ingin ambil pikir. Dipungutnya kembali boneka yang menjadi persemayaman arwah Cassandra itu.

Tapi kemudian, begitu boneka kayu itu berada di tangan Wayne kembali, jendela kaca di hadapannya yang sempat ia pandangi tadi tiba-tiba terbuka. Semiut angin malam telah berhasil menerobos masuk. Membelai tengkuk Wayne dan menyibakkan rambut blonde boneka itu. Sementara dadu huruf di ujung meja sana tengah bergetar hebat di balik secercah sinar lampu dari luar.

Seketika, dadu itu bergerak menyusun dirinya sendiri. A-N-D-E-L-Y-N.

Wayne masih bungkam. Wajahnya masih pucat dengan kantung mata yang besar dan menghitam. Bibir kecilnya itu digigit, sembari menatap lelehan darah kering Andelyn yang sengaja ia oleskan di bola mata boneka itu agar arwah Cassandra tetap terhubung dengan tubuh gadis pecundang itu.

Sekilas, Wayne menoleh pada sosok gadis yang tengah berjalan di tepi jalan sana saat malam telah larut dan kabut tengah menebal. "Cassandra," gumamnya dengan tatapan yang tak lepas dari sosok gadis berkulit coklat dan berambut coklat di bawah jalan raya sana.

Langkah kaki Wayne tergesa. Bahkan lantai bangunan apartemen tua ini ikut bergetar. Ia langsung menarik tudung kepala jaketnya, lalu menoleh ke arah perginya Andelyn.

Tapi kabut semakin tebal. Di ujung sana, sosok gadis itu akan tenggelam di balik kepulan udara dingin ini. Membuat Wayne setengah berlari menyusulnya, meski harus terengah.

Ia segera menarik bahu lebar gadis yang mengurai rambut coklatnya itu. Napasnya masih tersengal, tapi ia menyambut baik senyum gadis di hadapannya itu. Senyum khas, ujung bibir kanan yang diangkat lebih tinggi.

"Jangan hanya mendiamkanku dan tak bicara padaku," ucap bibir kecil itu dengan nada kasar.

"Maaf." Hanya itu yang Wayne lontarkan. Ia terus mengiringi langkah Andelyn, sembari sesekali menoleh ke arah gadis di sampingnya. Lekuk dahi, hidung, dan bibirnya memang berbeda, tapi ia begitu patuh dengan sosok di dalamnya. Sosok gadis yang ia cintai, sekaligus mengenalkannya pada dunianya ini, kehidupan lain bersama para pemuja setan yang semuanya terlihat hidup normal seperti umumnya. "Mau ke mana kita?" Wayne memberanikan diri untuk bertanya.

Namun, gadis itu tetap berjalan dengan tatapan lurus ke depan, bahkan tubuhnya berjalan tegap di tengah dinginnya angin malam dan tebalnya kabut, sementara tubuhnya hanya dibalut piama pink yang kelihatannya tipis. "Kutunjukkan sesuatu yang akan membuatmu tak lagi perlu memikirkan persahabatanmu dengan makhluk terkutuk itu," terang Cassandra dalam tubuh Andelyn.

"Kenapa kau sangat benci Noah? Kita bersama selama ini. Apa kau yakin, kau adalah Cassandra?" Tiba-tiba Wayne meragukan Cassandra.

Kulit coklat yang tengah memucat itu masih terus menerjang kabut. Ia menoleh ke arah Wayne. Menatapnya dengan tajam. Kelihatannya dia marah, tapi mungkin juga tidak. Bukankah semua hantu berwajah begitu?! "Kau tau, hantu tak suka banyak bicara?!" jawabnya yang membuat Wayne seketika bungkam dan hanya terus mengikuti langkah kaki kil itu.

R.I.P AndelynTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang