Sekolah?

1.2K 180 35
                                    

Aku enggak tau ini gereget atau enggak, tapi inilah kebuntuan ide aku. Maap ya kalo kurang gereget hehe...






Bagaimana pria di depannya tahu jika dia bermarga Janson? Apa pria menyeramkan ini kenal dengan ayahnya? Dia tidak ingin pulang, tapi dia juga tidak tahu harus sembunyi ke mana dari ayahnya.

"Wow, Lo dari keluarga Janson? Tapi kenapa Lo bisa ada di jalan malam-malam?" Kalandra bersorak heboh dengan pertanyaan yang tidak bisa V jawab.

V melihat Kalandra takut, dia diam tidak menjawab. Dengan refleks V menggenggam tangan Arion yang masih menyentuh dagunya, dia menatap Arion penuh harap juga takut.

"V enggak mau pulang, jangan bawa V pulang." wajah Arion masih sama, datar dan dingin. Namun entah bagaimana tangan kecil itu membuat tangannya hangat, dan dia merasakan sesuatu yang aneh.

Arion menghempaskan tangan V kasar, perasaan aneh apa itu? Dia menatap tepat di mata cantik V "Jangan sentuh Gue sembarangan." Arion berjalan meninggalkan mereka, tapi dia berhenti sejenak "Urus kebutuhan sekolah dia." setelah mengatakan itu Arion pergi entah ke mana.

Delvin bersorak heboh "Ini sejarah baru, ketua Canopus ngomong delapan kata, delapan jir." Delvin menepuk-nepuk pundak Gandhi heboh.

Gandhi berdecak lalu memukul kepala Delvin keras dengan buku di tangannya "Goblog, sakit."

"Tapi Arion gila, kalo dia suruh kita urus sekolah V, itu artinya dia setuju buat enggak anterin V pulang." Farzan berbicara dengan serius.

"Dan Arion cari mati." Kalandra menambahkan.

"Damastha sama Janson kan-" perkataan Ezra terpotong oleh deheman Abrisam.

"Ehem." Abrisam mendekati V." Lo bisa tinggal di sini, dan minggu depan Lo bisa sekolah." Abrisam menepuk bahu V pelan.

V menunduk, sekolah? Apa dia boleh sekolah? Max tidak pernah mengizinkan dia sekolah di luar, untuk meminta izin les di luar saja dia harus memohon pada ayahnya. Lagi pula, dia tidak memiliki uang sedikit pun untuk membayar uang sekolah.

"A-aku enggak bisa sekolah." V bergumam lirih, dia tidak bisa membayangkan jika Max menemukannya, lalu menyeret dia dengan paksa, lalu novel miliknya habis di bakar.

Max tidak akan menyiksanya lewat fisik, tapi psikis tanpa Max sadari. V terkadang terlalu mencemaskan banyak hal jika sendiri, dia bahkan pernah berpikir untuk mati karena terlalu lelah menghadapi hidupnya sendiri.

V tahu, dunia ini sangat luas. Tapi dunianya tidak jauh dari sebuah ruangan besar, sudut kamar yang dingin dan sepi. Tidak ada tempat untuk mengadu dan berlindung, bahkan untuk bercerita saja itu tidak ada.

Hal yang dia benci dan takuti harus menjadi temannya. Darah, suntikkan, pisau bedah, orang kritis, dia takut semua itu, tapi lagi-lagi mereka harus menjadi temannya.

Terkadang dia berpikir, apa dia bukan anak Max dan Rose? Kenapa dia tidak bisa melakukan hal yang dia suka? V meremas ujung bajunya, dia tidak mau sekolah, dia takut. Sangat takut.

"V, Lo enggak dengar Gue?" Abrisam menepuk-nepuk bahu V pelan untuk menyadarkan lamunan gadis itu.

V mendongkak, matanya berkaca-kaca "V enggak mau sekolah, V takut." V menggeleng pelan.

Tidak hanya Abrisam yang diam, tapi semua orang yang ada di sana juga diam, bahkan Gandhi menurunkan bukunya untuk melihat V dan Abrisam.

Abrisam menatap mata gadis di depannya, mata itu menyiratkan rasa takut, tapi apa yang gadis ini takutkan? "Kenapa? Kenapa Lo enggak mau sekolah?" Abrisam bertanya dengan lembut.

This MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang