1: Slippery Feelings

3.6K 484 122
                                    

Di balik layar: aslinya aku ngetik ini sampai ARC 1 kelar, tapi kurang puas jadi kurakit ulang, buang-ganti adegan. It supposed to be romcom, kepala aku aja sering nggak sadar diri~

Anyway, selagi bisa update cepet, aku up sebisanya. Bantu ramein ya 🌚

 Bantu ramein ya 🌚

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-----

Kata orang, SMA itu masa paling berkesan dan akan jadi waktu yang paling kita rindukan begitu beranjak dewasa. Guru sosiologiku dulu sampai bilang, "Kalian di sini cuma 3 tahun, dan Bapak harap nggak lebih. Manfaatin waktu sebaik-baiknya. Cari teman dan pacar sebanyak-banyaknya. Buat momen berharga kalian di sini."

Kesannya kurang masuk akal, ya? Aku nggak akan protes di bagian cari banyak teman, tapi untuk pacar? Agaknya meragukan. Hanya saja kalau dipikir-pikir lagi sekarang, kurasa guruku itu ada benarnya.

Karena banyak pacar berarti banyak pengalaman. Banyak pembanding. Dan kemungkinan besar aku nggak perlu stuck sama satu orang.

Anehnya, orang-orang justru senang sama hubungan yang begitu—stuck bertahun-tahun dengan orang yang sama sampai sah di mata publik dan agama.

"Awet banget lo sama Rico, Von. Bentar lagi jadi deh tuh." Begitu kata Riana, teman semejaku dulu sewaktu kami reunian, tepat 3 bulan sebelum aku dan Rico putus. "Nggak semua orang bisa pacaran selama kalian, atau ketemu soulmate-nya sejak SMA. You're so lucky, girl!"

Kalau semua orang pacaran hampir 12 tahun kemudian ditinggal dengan kalimat kurang ajar dan kepercayaan diri yang lebih tinggi dari Burj Khalifa, bisa-bisa rumah sakit jiwa penuh. Yah, untungnya aku belum didaftarkan sebagai pasien. Harusnya malah si brengsek itu yang ke sana.

Pernah menonton atau baca cerita yang isinya pria idaman, tapi ternyata dia juga tokoh antagonisnya? Kalau hidup ini cerita, aku yakin Rico antagonisnya. Karena nggak ada orang yang lebih jahat dari dia, yang pertama kali menghampiriku dengan kemeja batik khas tamatan kelasnya untuk menyatakan perasaan sehabis acara penamatan, dan 11 tahun kemudian menganggap hanya dia pria yang mau denganku. Seakan-akan jadi pacarku lebih seperti menanggung utang.

Memangnya dia siapa? I can kiss, marry, fuck whoever I want. Sejak kapan hanya dia satu-satunya opsi dalam hidupku?

"Kali-kali lo lupa, ini monitornya masih baru. Jangan ditonjok kayak laptop elo, Von. Masih ada cicilan lain buat dibayar."

Aku menoleh, mendapati Abimanyu, copy supervisor dari kantorku, sudah mendorong kursinya ke dekat meja kerjaku. Dia nongkrong di meja kosong samping kubikelku yang sejak bulan lalu seperti jadi tempatnya. Padahal copy writer punya ruangan sendiri. Kepalanya meneleng dengan bibir merapat, gestur yang kupercaya sebagai tanda ingin direspons.

"Apa?" Aku membalas galak. "Nggak usah gangguin gue deh. Sana lo!"

"Lo ngerjain apa sih sampai muka sepet begitu?" Tatapannya beralih dariku ke monitor, melihat desainku untuk iklan EM, sebuah wedding organizer baru yang menyewa jasa kami sebagai advertising agency. Aku nggak ada masalah dengan WO sih, tapi berurusan dengan hal-hal berbau pernikahan sering memancing perasaan-perasaan tak diundang.

Something's Wrong With My Ex (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang