Menyucikan Jiwa

147 33 2
                                    

"Dia lah yang mengutus seorang Rasul kepada

kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya,

menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah, meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata."

[ QS. Al Jumuah (62) : 2 ]

MENUTUP bacaannya dengan kalimat shadaqallaahul 'azhiim, Ben mengusap wajahnya, kemudian bersyukur dalam hati, hari ini dia diberi kemudahan untuk membaca beberapa baris ayat tanpa kesalahan yang berarti.

"Alhamdulillaah," kata Bima dengan senyuman lebarnya. Dia membuka botol air minum dan meneguk air minum hingga nyaris tandas. "Di rumah sering diulang-ulang?"

Mendengarnya, Ben nyengir, "Lumayan, kalau nyokap lagi ngga di rumah sih bisa agak lamaan."

"Masih dilarang?"

"Bukan dilarang," gelengan kepala Benjamin Bin Adam terlihat, "cuma gue agak males aja kalau lihat ekspresi nyokap yang agak gimana lihat gue sibuk tekun sama kitab."

"Penasaran, mungkin..."

Ben mengangguk, "Bisa jadi."

Udara di jam sepuluh pagi kali ini terasa begitu sejuk. Sisa hujan semalam menerbitkan suhu yang lumayan dingin daripada biasanya. Masjid kampus makin sepi kalau semalam turun hujan. Sebab yang biasanya memutuskan untuk mengisi hari Ahad dengan ke masjid untuk mengejar wifi kencang di perpustakaan, rupanya memilih untuk bergelung di kasur.

"Nyokap gue pernah bilang gini," suara Ben kembali terdengar. "Beberapa hari yang lalu sih," sambungnya, "waktu gue pulang ngaji pas malem-malem itu."

"Bilang apa?" tanya Bima kemudian.

"Katanya, ngapain sih ngaji sampe jam segitu," Ben nyengir dengan wajah sedih.

"Lo jawab apa?"

Bahu Ben terangkat sekilas, "Apa ya... Cuma bilang, pengen jadi anak baik."

Bima tertawa. "Terus?"

"Yaaa, dibales lagi lah. Selama ini kan gue udah jadi anak baik di mata nyokap gue, Bim. Katanya, gue ngga harus berusaha sekeras itu. For her, I'll always be her favourite. Gimana juga, gue selalu jadi sosok anak baik di matanya."

Bima manggut-manggut. Tarikan napas panjangnya terdengar samar. "Lo sendiri, apa yang lo dapet setelah belajar ini itu?"

Sepasang mata Ben lantas terarah kepada sepasang mata Bima yang tengah teduh menatapnya. Pandangan Ben kemudian beralih pada tas ransel yang ada di dekat Bima, lantas bertumbuk ke botol air milik Bima yang berdiam di antara mereka.

"Banyak lah," kata Ben. "Ngga bisa diungkapin sama kata-kata."

"Biasa hangout, terus sekarang bergaul sama mushaf, rasanya gimana?"

Bima bertanya dengan sungguh-sungguh, dan Ben merapatkan kedua bibirnya sebelum bersuara.

"Much better," kata Ben pelan. "Gue ngerasa kayak ada yang berubah, tapi kayaknya gue gini-gini aja. Tapi rasanya lebih apa ya... Happier?"

Bima tertawa, lantas mengangguk. "Nih ya, gue kasih tahu rahasianya," ucapnya, "coba buka surat Al Baqarah ayat seratus dua puluh sembilan..."

Bukan hanya Ben yang mencari ayat tersebut di Quran terjemah, tapi Bima juga.

"Gue baca terjemahnya aja ya," kata Bima lagi, "Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayatMu dan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka dan menyucikan mereka. Sungguh, Engkau lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana."

Ben cuma manggut-manggut begitu mendapati terjemahan-nya sama persis dengan yang ada dalam Quran terjemah di tangannya.

"Ini doa siapa? Ini doa dari Nabi Ibrahim 'Alayhis salaam," kata Bima kemudian. "Dikabulkan oleh Allah, diterangkan di surat Al Jumuah ayat dua; Dia lah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah, meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata," Bima membaca terjemah ayat yang dimaksud dengan jelas. "Lihat ngga korelasinya?"

Ben membolak-balik terjemah ayat 129 surat Al Baqarah dengan ayat 2 surat Al Jumuah.

"Oh iya nih, doa Nabi Ibrahim dikabulkan ya, Bim? Maasyaa Allah," pujian Ben terdengar. "Nemu aja lo."

Bima tertawa. "Ini pernah ada bahasannya, Ben," responsnya, "korelasinya ada, tapi bedanya juga jelas. Di doa Nabi Ibrahim kan permintaannya agar ada seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Allah, abis itu ngajarin kitab dan hikmah, biar kemudian jiwa-jiwa mereka tuh jadi suci. Maksudnya, dengan paham kitab, nanti jiwa-jiwa yang kotor jadi suci, gitu pikir Nabi Ibrahim. Tapi Allah jawabnya beda," lanjut Bima dengan wajah cerah. "Ini nih, Maha Baik Allah yang menjelaskan sesuatu dengan jelas banget. Di surat Al Jumuah ayat dua dijelasin, bahwa Allah ngutus seorang Rasul untuk ngajarin ayat-ayatNya, kemudian Allah sucikan jiwa-jiwa mereka, baru deh Allah kasih kitab dan hikmah, ya ngga?"

Ben membaca kembali ayat-ayat tadi di dalam hati, lalu berdiam dalam hening karena tertegun. "Eh, iya juga ya, Bim? Dikabulin tapi beda urutan kejadian. Ngaruh ya?"

"Ngaruh lah," kata Bima serta merta. "Di Al Jumuah itu Allah mau kasih tahu, bahwa Allah utus seorang Rasul untuk ngajarin ayat-ayatNya, kemudian Allah sucikan jiwa-jiwa mereka. Dengan apa? Ya dengan ayat-ayat yang dibawa oleh Rasul tadi. Abis itu, baru Allah kasih kitab dan hikmah. Allah beneran detail ya, Ben. Maksudnya adalah bahwa dengan ayat-ayat Allah maka hati bisa tersucikan."

Dengan ayat-ayat Allah, hati bisa tersucikan?

Ben berpikir seorang diri. Sesungguhnya dia masih belum paham.

"Coba lo pikir, setelah lo rajin baca Quran, banyak perubahan yang terjadi kan?" tanya Bima. "Tadi lo bilang, lo berasa lebih bahagia; Happier. Ya ngga?"

Punggung Ben menegak, lantas bibirnya membentuk lafal O dengan wajah semringah.

"Iya," kata Ben senang, "bener juga ya. Relate. Nyambung."

"Padahal, antum baru sekadar baca. Bacanya juga belum tentu sesuai aturan semua. Masih banyak salah, tapi Allah udah sucikan jiwa antum lewat bacaan Quran antum. Allah sebaik itu sama antum. Artinya, Allah sesayang itu sama antum. Ngerasa istimewa ngga?"

Dengan letupan kecil di dada, Ben lekas mengangguk setuju. "Banget, Bim."

Teringat dulu di awal-awal Ben belajar mengenali huruf demi huruf dalam bacaan Al Quran, Bima pernah bilang padanya, bahwa kelezatan membaca Al Quran itu adalah kelezatan tiada tara. Ada banyak orang yang melewatkan kelezatan ini tanpa sadar kerugiannya. Makanya, kalau Ben bisa membaca Al Quran selembar saja sehari, Ben sudah termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung. Apalagi kalau dua lembar, tiga lembar... satu juz? Ngga terhitung gimana beruntungnya.

"Karena mukjizat yang Rasul Shallallaahu 'Alayhi Wasallam terima ini tuh mukjizat paling menakjubkan," kata Bima seraya mengelus mushaf dalam pegangan kedua tangan. "Mukjizat dari Nabi dan Rasul lain mana ada yang bisa dilihat atau dipegang. Antum punya duit trilyunan, apa bisa pegang tongkatnya Nabi Musa? Ngga bisa..."

Keduanya tertawa.

Sungguh, sebelumnya Ben tidak tahu apa yang istimewa dari kitab suci dalam agama yang tertera dalam kartu identitasnya selama ini. Hingga kemudian dia berkenalan dengan sekumpulan mahasiswa yang sering bercengkrama di masjid lantas merasa tertarik dengan apa yang kerap mereka baca selagi mereka punya waktu.

Dan lewat Bima, Allah jatuhkan hatinya pada barisan-barisan dalam mushaf pemberian Bima yang kini ada di tangannya. Lalu, kendati dia belum sepenuhnya paham dan belum seutuhnya benar dalam membaca ayat-ayat Allah, namun Allah telah sucikan hatinya sedikit demi sedikit.

Bima benar, sesayang itu Rabb-nya pada dirinya, hingga Benjamin Bin Adam punya banyak waktu untuk bemesraan dengan Al Quran.

[✓] BIMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang