Menghalau Depresi

95 19 4
                                    

"Hanya dengan mengingat Allah,

maka Hati menjadi Tenang."

[ QS. Ar Ra'd (13) : 28 ]


"Webenenyaniya..." Hamas bicara dengan mulut menguap. Tapi hanya sesaat, karena lekas ditutupnya mulut yang terbuka itu dengan tangan kanan ketika dilihatnya Bima keluar dari ruang shalat utama di masjid kampus mereka.

"Ngomong naon sih," respons Fajar yang rupanya menunggu kelanjutan kalimat Hamas.

Mereka baru saja selesai menunaikan shalat Zuhur berjamaah. Shiddiq yang tadi jadi muazin, dengan berat hati harus meninggalkan masjid karena ada urusan dengan dosen, mengatur jam kuliah pengganti. Hamas dan Fajar mengobrol berdua, Ben duduk bersandar di satu pilar masjid dengan kaki berselonjor dan sepasang mata menekuri huruf-huruf di dalam buku tebal berisi shirah nabawaiyah yang baru saja tiba kemarin di rumahnya. Bima yang sudah selesai dengan zikirnya, ikut bergabung duduk bersama Hamas dan Fajar. Saad sendiri masih sibuk dengan doa-doa dan zikirnya di dalam ruang shalat utama.

Kelima pemuda itu memang tengah berpuasa sunnah di hari Senin ini.

"Sebenernya! Hadah, ngantuk bat neh!" kata Hamas, mengoreksi ucapannya yang tadi tidak jelas. "Sebenernya jadi artis itu kaga enak, Maliiih!"

"Sotoy luh," balas Fajar dengan ancang-ancang hendak mendorong kening Hamas dengan telunjuknya.

"Lah, kalau jadi artis enak, gue tanya yak, kenapa banyak bat yang bunuh diri? Kan gubluk..."

Hamas berkata ujung kalimat dengan bibir dimanyunkan penuh penghayatan. Fajar sampai terpingkal dan melemparinya dengan kaos kaki yang belum dia kenakan.

"Ettdah, bau bangke!"

Hamas melempar kembali kaos kaki milik Fajar, dan diterima oleh Fajar sambil mesem-mesem.

"Bahas apa sih, kok ada bunuh diri segala?" Bima mengusap kuku-kuku kakinya setelah memastikan keseluruh kaki itu bersih dari kotoran.

"Ini, Mas Bima," Hamas yang menyahut, "ada kabar aktor di negara penghasil ginseng tuh, bunuh diri lagi."

"Hah? Emang bisa bunuh diri dua kali?" tanya Bima takjub.

"Lah, maksudnya orang laennya, bosku," kata Hamas cepat. "Ettdah, loading cepet ya nyambungin lah, jangan sampe salahin provider neh?!"

Fajar terbahak, "Ngadep manajernya, Mas!"

"Tadi katanya, bunuh diri lagi. Berarti kan ngulang," kata Bima sembari angkat bahu.

"Hadeh, padahal bukan anak programming ya ini bocah..." keluh Hamas, menyabar-nyabarkan diri.

Kikikan geli Fajar terdengar lagi.

"Bima mah ngga ngaruh ya, ada yang bunuh diri juga bukan berita gede buat dia mah..." ucap Fajar, sok-sokan bisik-bisik padahal Bima-nya jelas mendengar tiap kalimat barusan.

"Ya gue mau nanggapin gimana, Jar? Nangis ngeraung? Antum bunuh diri aja, ngga bakalan gue tangisin," kata Bima.

"GEULEUH!" Fajar nyolot dengar Bima bicara demikian. "Naudzubillaahi min dzaliik, Bim!"

Tapi Bima cuma nyengir. "Ya udah, jangan ngegas..."

Percakapan mereka terjeda sejenak sebab Ben tampaknya sudah selesai dengan bacaan di tangannya. Pemuda itu kini bergerak mendekati Bima dan duduk di sebelah sahabatnya itu.

"Ada apaan sih ribut-ribut? Ajak-ajak gue lah..." kata Ben dengan cengirannya.

Hamas menyambutnya dengan cibiran, "Kepo ae lau," tukasnya.

[✓] BIMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang