KAK, TOLONGLAH..

526 88 29
                                    

Suasana pondok pesantren masih sangat sepi dari aktifitas para santri dan santriwati karena waktu libur baru saja dimulai dan banyak santri yang memilih untuk pulang ke rumah mereka. Sebagai pengganti abinya dalam mengurus pondok pesantren, Fildan harus mulai belajar banyak hal untuk mengembangkan pesantren agar lebih maju lagi. Sebenarnya, pondok pesantren milik Fildan sudah sangat memiliki nama tapi tetap saja dia harus bisa memberikan inovasi yang semakin membesarkan nama pesantrennya.

Saat sedang sibuknya memeriksa beberapa berkas di kamarnya sembari menjaga putra kesayangannya, pintu kamar Fildan diketuk dengan pelan. Dia mempersilahkan calon tamunya untuk masuk dan muncullah sang adik tercinta dari balik pintu. Menyembulkan kepalanya terlebih dahulu, bergaya sok imut yang selalu mampu membuat Fildan tertawa. Adik yang berjasa pagi hidupnya, yang mengerti dirinya, jika ada yang bisa dia berikan untuk membalas kebaikan sang adik, pasti akan dia lakukan karena kebahagiaan adiknya adalah salah satu kebahagiaannya.

"Nggak usah sok imut gitu, udah tua.."ucap Fildan.

Faul memanyunkan bibirnya kesal karena kakaknya malah meledek. Dia duduk di tepi ranjang dan memperhatikan keponakannya yang sedang terlelap bermain dalam mimpi.

"Ada apa?"tanya Fildan.

"Kak, Faul juga ingin memiliki putra seperti Ihan.."

Mata Fildan terbelalak kaget, dia bahkan sampai memutar badannya agar menghadap pada adiknya. Dia juga menepuk pipinya untuk menyadarkan bahwa dia sedang tidak bermimpi dan yang didengarnya adalah kenyataan. Jika ditarik benang, beberapa sifat dan sikap Faul sedikit banyak memang persis seperti Fildan -namanya juga saudara- termasuk idealismenya tentang pasangan hidup. Mendengar Faul ingin memiliki seorang anak sungguh membuat Fildan senang, itu artinya adalah sang adik telah menemukan pasangan seperti yang dia impikan.

"Alhamdulillah.. siapa perempuan itu? Abi dan Umi sudah tau?"tanya Fildan bersemangat.

"Baru kak Fildan yang tau, Faul sendiri masih belum yakin kak tapi beberapa hari ini hati Faul selalu dibuat gelisah, tidur tidak nyenyak, mengerjakan apapun selalu terbayang sosoknya.."jawab Faul.

"Sudah istikharah?"

"Sudah, tapi yang Faul lihat di mimpi Faul hanya punggung seorang gadis.."

Mata Faul menerawang  menatap keponakannya, sesekali jemarinya mengusap lembut pipi balita berusia satu tahun itu.

"Lalu siapa gadis itu, jika katamu sosoknya selalu membayangimu berararti dia santri disini.."

Faul mengangguk pelan.

"Dia dekat kak.. sangat dekat.. bahkan saking dekatnya dia sudah seperti keluarga bagi kita semua.. dia sayang Ihan, dia sayang umi, dan Faul sayang dia.."

Faul menghentikan ucapannya dan sebuah senyum terkembang dibibirnya. Fildan melihat perubahan raut wajah adiknya, dia ikut senang melihat adiknya seperti itu.

"Istigfar Fa.. dia belum halal untuk kamu, bahkan untuk kamu bayangkan.."tegur Fildan halus.

"Astagfirullahal Adzim.. kakak sih bikin Faul keinget dia lagi aja.."ucap Faul.

Fildan tersenyum tipis, sebagai seorang kakak dia juga harus bisa menjadi panutan adiknya dan juga mengarahkan adiknya dalam kebaikan.

"Kalau kamu sudah yakin, lebih baik disegerakan.. kuliahmu sudah selesai, sekarang kamu juga sudah dapat pekerjaan dan memiliki penghasilan cukup..."

"Tapi apa dia mau sama Faul yang seperti ini?"tanya Faul sendu.

"Hai.. 'seperti ini' apa maksudmu, adikku adalah laki-laki hebat, seorang hafiz sejak umur 10 tahun, qori' terbaik di Jogja, seorang dokter spesialis, tampan.. apalagi yang kamu ragukan dari yang kamu miliki?"

Ana Uhibbuka, Ustadz! (FIN✔) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang