KUMANDANG CINTA

503 82 23
                                    

Sejak pulang sholat Subuh hingga kumandang Dhuhur terdengar, Lesti tampak seperti orang gila. Bagaimana tidak, senyum tak pernah hilang dari bibirnya. Saat melamun juga tiba-tiba dia bisa tertawa sendiri, Selfi sampai bingung dengan keadaan Lesti yang aneh. Dia juga lelah menanyakannya pada Lesti karena jawabannya selalu sama.

"Baik-baik aja tapi kok aneh.. jangan-jangan pas subuh tadi kesambet ini anak.."gerutu Selfi kesal.

"Selfi, gus Faul mencarimu di ruang konseling.."ucap seorang pengajar yang menghampiri meja Selfi dan Lesti.

"Oh iya, terima kasih infonya.."jawab Selfi.

Selfi melirik Lesti yang masih sibuk dengan kertas gambarnya. Entah menggambar apa, sampai sekarang sketsa yang dibuat Lesti belum berbentuk hingga dia tidak bisa menerka apa yang digambar Lesti.

"Les.. aku mau ke ruang konseling dulu.. kamu mau ikut atau tetap disini?"tawar Selfi.

"Aku disini saja.. sekilas tadi kudengar yang mencarimu kak Faul, aku masih malu bertemu dengannya.."jawab Lesti.

Selfi tertawa kecil saat Lesti mengungkapkan alasannya, dia teringat bagaimana kemarin sahabatnya itu salah tuduh orang.

"Hahaha.. yaudah kalo gitu, aku ke ruang konseling dulu ya.. dadah.. Assalamu'alaikum.."pamit Selfi.

"Wa'alaikumsalam.."

Lesti kembali sibuk dengan buku gambarnya yang belum juga berhasil dia isi dengan kaligrafi tugas dari umi Salamah.

"Susah sekali ya Allah.. bagaimana kaligrafiku bisa terlihat indah kalau begini terus.."keluh Lesti.

Tugas dari umi Salamah sebenarnya mudah, Lesti hanya harus membuat kaligrafi dari kalimat basmallah tapi yang membuatnya jadi susah adalah tekniknya. Umi Salamah meminta Lesti untuk menemukan gaya kepenulisannya sendiri walaupun dalam kaligrafi sudah ada ilmu untuk tekniknya.

Ditengah keputusasaannya, Lesti melihat seseorang yang sedang berjalan tergesa meninggalkan area madrasah. Dari raut mukanya sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Rasa penasaran merasuk kedalam benak Lesti, dia pun membereskan barang-barangnya dan bergegas mengikuti langkah yang berjalan dengan cepat itu.

Jantung Lesti berdebar sangat cepat dalam setiap langkahnya. Entah kenapa tapi sejak mengetahui siapa pemilik suara adzan yang sangat dikaguminya, debaran itu semakin bertambah ketika dia melihat orang tersebut. Seolah bukannya adzan yang dikumandangkannya tapi juga cinta di hati Lesti.

Berkali-kali Lesti menepis perasaannya karena tidak mau kegiatan belajarnya terganggu oleh hal tidak penting. Terlebih tak banyak cerita yang Lesti ketahui tentang pemuda tersebut kecuali jika dia adalah anak dari pemilik pondok tempatnya belajar juga ayah dari bayi yang sangat disayanginya. Garis bawahi jika pemuda itu adalah seorang ayah. Ya, ayah dari bayi yang telah ditinggal pergi oleh ibunya. Apa mungkin Lesti jatuh cinta pada seorang 'duda'?.

Cinta memang tidak memandang status apapun tapi bisakah orang tua Lesti menerima cintanya? Meski semua kriteria yang diinginkan orang tuanya ada pada pemuda tersebut, bisakah orang tuanya menerima status sang pemuda yang seorang duda beranak satu?

Sepanjang hari hal itu juga menjadi pikiran Lesti. Selain dia bahagia telah berhasil mengetahui pemilik suara adzan yang selalu dirindunya. Ketika dia berusaha menerka perasaannya dan mencoba menerima jika mungkin dia jatuh cinta lagi, seketika itu pula bayangan orang tuanya muncul.

"Kak Fildan mau kemana ya buru-buru banget.."gumam Lesti.

Kaki Lesti berhenti melangkah saat pemuda itu memasuki kediamannya. Jaraknya berdiri sekitar 100 meter dari rumah khas Jogja tersebut. Dia diam sembari mengamati sekitarnya, sepi. Lalu lalang tidak terlihat karena memang masih jam pelajaran kelas.

Ana Uhibbuka, Ustadz! (FIN✔) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang