Episode 1

905 43 5
                                    


Suara gemercik air dari sungai dan kicauan burung yang riang serta udara sejuk yang memberikan semangat pagiku hari ini. Setiap pagi aku mencuci baju di sungai, sungai di desaku masih sangat jernih, aku dan teman-teman sebayaku mencuci baju setiap pukul 6 pagi. Kadang selesai mencuci  temanku akan mandi di sungai, sedangkan aku hanya mencuci muka saja, walaupun hanya mencuci muka tapi jangan ditanya rasanya, yang jelas sangat segar sekali, teman-temanku mandi menggunakan jarik, tenang saja tidak akan yang berani mengintip karena desa kami sangat menjunjung tinggi norma agama dan kesopanan.

Ah hampir lupa, perkenalkan namaku Inayah, namaku hanya Inayah, tidak ada kepanjangannya, entahlah kenapa kedua orangtuaku tidak memberi nama panjang seperti kebanyakan orang, bahkan aku melihat guruku di sekolahku suka kesulitan mengeja nama yang begitu panjang dan kebule-bulean, namaku yang begitu singkat tapi ada manfaatnya juga sih, saat ujian nasional aku tidak perlu banyak waktu untuk mengisi identitas diri, kata Ibu namaku begitu sederhana, Ibu berharap aku menjadi pribadi yang sederhana tidak neko-neko, Ibu selalu memperingatkanku agar aku selalu inget asal usulku, harus menjaga harkat martabat dengan baik, harta kami tak punya, setidaknya kami punya harga diri.

Aku baru saja lulus SMK jurusan tata busana, ilmu dari SMK membuatku bisa sedikit-sedikit menjahit baju sederhana, itupun aku pinjam mesin  jahit tetangga jika mesin jahit tetangga tidak terpakai. Aku sekolah SMK sambil mondok di pesantren Ibu mengirimku ke pesantren karena di rumah sudah tidak ada siapa-siapa lagi, jadi Ibu menitipkanku di pesantren. Disela-sela aku menggilas baju tiba-tiba aku asyik melamun ingin sekali suatu saat aku menjadi penjahit yang bisa menjahit sendiri baju pengantinku kelak. Aku jadi senyum-senyum sendiri ketika membayangkan itu.

“Inayah…inayah.” Suara Kinar memanggilku dengan khas suaranya yang super cempreng membuyarkan lamunanku. Aku mendongakkan kepalaku keatas karena sungai tempatku menyuci berada di bawah hamparan sawah yang sangat luas.

“Ada apa?” tanyaku menatap Kinar, terlihat wajah Kinar menunjukan wajah khawatirnya, Kinar masih belum menjawab, ia masih mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, mungkin saat ke sungai Kinar berlari dengan tergesa-gesa. Aku memberikan jeda waktu untuk Kinar mengatur nafasnya.

“Itu … ada telfon dari Jakarta, menanyakan Ibumu Nay, katanya mau berbicara penting dengan Ibumu.” Kinar turun kebawah, ia lalu segera membantuku membilas baju-bajuku.

“Mereka itu suka sekali seenaknya sendiri, kenapa tidak mencari asisten rumah tangga yang lain saja, kenapa masih saja menghubungi Ibu, sudah tahu kalau Ibu masih sakit,” cerocosku sambil membilas baju yang sudah aku cuci.

“Sabar  Nay, mungkin majikan Budhe sudah sangat percaya pada Budhe, jadi tidak mau menggantinya dengan orang lain,”  ucap Kinar mencoba menenangkan hatiku.

Kinar adalah sahabat baikku, aku dan Kinar usianya sama, Kinar anak Pak Kades, kehidupanku dan Kinar sangatlah berbeda, orangtua Kinar lumayan berada. Ayahnya menjabat sebagai Kepala Desa, sedangkan Ibunya adalah seorang Guru. Berbeda denganku, Ayahku  sudah meninggal sejak aku kecil, sedangkan Ibuku  terpaksa merantau menjadi asisten rumah tangga sejak aku masuk sekolah SMP sekaligus mondok di Pesantren, aku dititipkan dan di asuh oleh Ibu Kinar, jika  ingin pulang dari Pesantren,  Ibu Kinar merawatku dengan baik, menganggapku seperti anak sendiri, Ibu Kinar merasakan kesedihan yang dialami oleh Ibuku yang sudah di tinggal oleh suami dan harus membesarkan anak seorang diri.

Selesai mencuci aku segera membawa keranjang yang berisi baju cucianku, aku dan Kinar  berjalan melewati jalan setapak yang biasanya dibuat petani. Aku  dan Kinar sangat hati-hati saat melewati jalan pematang sawah ini, karena jika lengah sedikit saja akan tergelincir, melayang jatuh kedalam sawah, sangat tidak lucu bukan.

Sesampainya di rumahku, aku menjemur baju terlebih dahulu, tentu saja dibantu oleh Kinar juga, Kinar sengaja membantuku  agar aku cepat menyelesaikan pekerjaanku lalu segera kerumahnya, menelfon majikan Ibuku itu.

“Emmm …. selesai juga.” Aku menepuk-nepuk telapak tanganku, satu pekerjaan pagi ini selesai sudah, aku hendak masuk kedalam rumahnya untuk melihat Ibuku, tapi malah di cekal Kinar.

“ Ih Nay, kamu lupa yah, aku memanggilmu tadi supaya kamu kerumahku, orang dari Jakarta itu menyuruhmu menelfon balik.” Kinar menarik pergelangan tanganku agar aku mengikutinya. Aku akhirnya mengikuti Kinar kerumahnya.

Kinar langsung membawaku kedepan telfon rumah milik keluarga Kinar, Kinar segera membantuku untuk menelfon kembali orang Jakarta itu. Kinar memberikan gagang telfonnya padaku.

Beberapa menit kemudian terdengar suara khas laki-laki yang mengangkat telfon. Aku segera mengucapkan salam dan menanyakan perihal tentang kenapa orang Jakarta itu menelfonnya. Setelah sekitar 15 menit berlalu aku menutup telfonnya, meletakan gagang telfon pada tempatnya. Aku memasang ekspresi kebingungan di hadapan Kinar.

“ Kenapa? Apa ada masalah serius Nay?” tanya Kinar yang penasaran dengan ekpresi wajahku yang tiba-tiba berubah sendu. “Ceritakanlah, jangan dipendam sendiri.” Kinar mengusap lenganku.

Aku  duduk, lalu menceritakan tentang pembicaraan tadi di telfon, sang pemilik suara maskulin di balik telfon itu bernama Mas Gagah, Mas Gagah adalah majikan Ibuku. Mas Gagah ingin Ibuku cepat kembali lagi ke Jakarta karena Mas Gagah tidak bisa mengurus dirinya sendiri, biasanya ia dibantu Ibuku, tapi sudah hampir satu bulan ini Ibuku tak kunjung sembuh, mungkin juga karena penyakit orang yang sudah menua.

Kekasih HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang