Junho mendapat ceramah selama hampir tiga puluh menit malam itu ketika ia dengan bangga menceritakan pada Felix bagaimana ia hampir adu jotos dengan senior yang seorang atlet judo.
"Apa kau pikir dirimu itu jagoan, hah?" tanya Felix setelah acara mengomelnya selesai.
"Aku tidak salah, hyung! Dia yang salah! Dia hampir mem-bully temanku."
"Hampir Junho-ya. Hampir."
"Tapi bukankah hyung sendiri yang memberitahuku kalau pencegahan itu tidakan terpenting dan aku harus selalu menolong orang lain?"
Felix memutar mata, "I can honestly saw this coming dengan kau yang berani-beraninya memanjat pohon yang bahkan tidak punya dahan. You are gonna be the source of my stress I swear to God."
Junho tertawa menyaksikan hyung-nya itu mengeluh. Ia memimpikan hal seperti ini jutaan kali. Mengobrol dengan hyung. Membicarakan hal aneh yang ia lakukan di sekolah.
Felix tersenyum melihat Junho yang tertawa lepas. "Junho-ya," panggil Felix, dengan nada suara yang jauh lebihs serius dari sebelumnya.
"Call your mom, will you? Dia pasti sangat khawatir."
Junho mencoba menghindari tatapan mata Felix, memilih menatap layar gelap televisi.
"She always worried. But she never listens," Junho bergumam.
"Itu karena kau terlalu berharga Junho-ya. She went through so much to have you, you know," kata Felix.
Junho mengangkat pandangan dan memperhatikan bagaimana kesedihan perlahan menjalari netra hyung-nya.
"Apa kau membenci ibu, hyung?" Junho bertanya dengan suara pelan. Felix sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Pertanyaan Junho bukan sesuatu yang pernah terlintas di kepalanya. Did he? Apakah kebencian adalah perasaan yang selama ini ia rasakan terhadap wanita yang pernah menjadi ibunya itu?
"Mungkin. Mungkin aku membencinya. Mungkin dulu aku membencinya ketika ia menemukan fotoku dan Hyunjin. Mungkin aku membenci hal yang dia katakan tentang kami. Mungkin aku membenci fakta bahwa dia menjadikan foto itu sebagai alasan untuk berkata bahwa 'kau bukan anakku lagi' padahal aku tahu bahwa sudah sejak lama aku berhenti menjadi seorang anak baginya."
Junho merasakan perasaan bersalah yang amat besar ketika Felix menyebut tentang foto itu.
"Sebelum dan sesudah itu aku hanya merasa sedih. Dia berubah dan aku sama sekali tidak mengenalinya lagi. Beberapa bulan awal saat aku bersama ibumu rasanya seperti tidak nyata, kau tahu. Ibumu... dia selalu tersenyum. Dia memelukku, mencium pipiku, menyanyikan lagu supaya aku bisa tertidur. Kemudian secara perlahan dia berubah. Like when she holds and talk to me less... Look at me straight in the eyes less... Kau tahu Junho-ya, selama ini aku selalu bertanya-tanya 'apakah aku berbuat salah? Mengapa ibu membenciku?'."
"Kemudian aku sadar bahwa masalahnya bukan what did I do but who Iam. So..well there's not much I can do about it, isn't there?" Felix bertanya perlahan.
Junho tidak bisa berkata apa-apa. Ia bahkan tidak bisa menawarkan kata penghiburan untuk hyung karena penyesalan memenuhi dirinya. Felix mengangkat kepalanya dan tersenyum.
"See, she might have been the 70% of my life problems, Junho-ya. But she used to be 100% of my happiness too. She was something I never had the privilege of. She was the center of my world so when she hates me, it felt like the world ended too. Tapi aku sudah tidak memikirkan itu lagi."
Junho mengangkat kepala, tertarik untuk mengetahui kemana pembicaraan ini mengarah.
"Dia membenciku, lalu apa? Aku tidak bisa mengubahnya. I'm trying to live my life being happy now, in others ways than her. Aku pernah membiarkan diriku terjerembab jatuh. Aku menabrakkan mobilku sendiri ke kereta yang berjalan yet here Iam. Not dead. But I can't taste and smell anything now," Felix tertawa pahit.
"And it's funny because it sounds so simple. Aku tidak kehilangan anggota tubuhku dan jadi cacat. Kepalaku masih berfungsi seperti sebelumnya; of all things that could happened after a train hit me, is that I can't taste and smell things anymore,"suara Felix mulai bergetar, ia tidak bisa lagi membendung perasaannya.
"But it hurts so much, Junho-ya. So damn much. Because it was such a small things. Kupikir dunia sudah mengambil hal terbesar yang kupunya, keluargaku, tapi ternyata tidak.."
"They take small things too. The things I never felt significant about. And at first, I thought maybe I deserve that. Mungkin aku memang tidak pantas merasakan makanan yang masuk ke mulutku. Mungkin aku tidak pantas untuk mencium parfumku sendiri dan mungkin aku juga tidak..." Felix terisak, ia tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
Junho menatap Felix hyung. Ia tidak tahu harus melakukan apa sehingga hal terbaik yang bisa ia lakukan hanya menggenggam jemari hyung-nya itu.
"Iam completely, utterly a mess. Tapi kemudian aku menyadari betapa banyaknya cinta yang kudapat darimu, dari Changbin, dari.."
Senyum Hyunjin perlahan memenuhi kepala Felix dan entah bagaimana ia merasakan suatu ketenangan aneh yang seakan meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.
"And now I can let go of her, Junho-ya. Aku mungkin pernah membencinya, tapi aku sudah melupakan itu semua. Apapun yang dia lakukan terhadapku, itu semua adalah masa lalu. Dan aku ingin kau melupakan apa yang terjadi diantara ibumu denganku dan Hyunjin. Foto itu hanya alasan yang dia gunakan untuk mengusirku pergi dan itu bukan salahmu. Itu semua tidak pernah menjadi salahmu. Don't let it bother you anymore because it doesn't matter, you hear me? Ingatlah bahwa aku baik-baik saja sekarang. I get love from so many other places."
Air mata yang tadinya telah terlupakan perlahan turun kembali.
"Sekarang dengarkan aku baik-baik, Junho-ya. Aku ingin kau pulang dan menyelesaikan masalah yang ada diantara kau dan ibumu. Dia sendirian sekarang, suaminya baru saja meninggal dan kau adalah satu-satunya yang ia punya. She hurt me but she never did you anything wrong, did she? She still your mom, even with all her flaws. Jika kau merasa dia melakukan kesalahan maka beri tahu dia, buat dia mengerti. Kau adalah satu-satunya orang yang akan didengarkan olehnya dan kau tahu itu. Please, do it for me."
Felix menghela nafas panjang, akhirnya ia bisa menumpahkan segala hal yang menyesaki dadanya selama bertahun-tahun.
"Karena hingga sekarang aku tetap mencintainya, Junho-ya. Dia ibuku. Dia pernah menjadi ibuku."
Kata-kata Felix membuat Junho terisak dan Felix segera memeluk adiknya itu.
All this time, the things that made everything so hard was that. Fakta bahwa ia masih sangat mencintai wanita itu. Felix couldn't erase the memory of her smiling happily as she watches Felix eats the cake she made. The way her fingers draw cirles on Felix's back as she hugs him on his bed. Wanita itu adalah ibunya. Dan Felix tidak ingin melupakan hal itu apapun yang terjadi. Wanita adalah sumber cinta yang dirasakan ia selama ini dan itu sangat berat karena ia berpikir tidak ada seorangpun yang mencintainya seperti wanita itu.
Sekarang, ketika ia sadar bahwa hal itu salah. Bahwa ada banyak orang yang mencintainya. Ia siap untuk mencintai ibunya itu tanpa perasaan terluka karena pada akhirnya ia tidak akan mendapat balasan dari cintanya. The things she did to Felix that made everything crumble, Felix forget it and he is ready to start a new.
"Okay, little brother?"
"Okay, hyung," bisik Junho.
TBC
It's been a year I guess. So, hello for whoever who still read this. I know it's super late, but here Iam hehe...
Dan maaf banget kalo misal cara penulisanku jadi beda... Tolong dimaklumi karena aku udah ga nyentuh draft ini setahun.
Makasii⊂((・▽・))⊃
KAMU SEDANG MEMBACA
a place where the sun doesn't shine || hyunlix
FanfictionAfter 20 years, Felix finally knows what it feels like to belong to someone. And he let himself fall deep. He lose everything. Can Hyunjin save him? © acientrunes Start : 18/06/19 Finish : 02/09/20