Present

5K 464 41
                                    

Felix mendudukkan diri di kursi makannya, sushi mahal di meja. Ia memperhatikan makanan yang direkomendasikan oleh semua orang itu dengan acuh. It's new year, people are outside, merusak tubuh mereka dengan alkohol dan narkoba.

30 pesan tak terbaca dari Changbin tidak cukup untuk menariknya keluar dari apartemen dan menghabiskan malam dengan bersosialisasi.

Felix memperhatikan sushi yang belum ia sentuh selama hampir tiga puluh menit sebelum menggunakan sumpitnya untuk mengambil makanan itu dan mengunyahnya, membiarkan rasa makanan itu menempel di lidahnya sebelum menelan gumpalan nasi itu.

One. One more chat and Felix will accept Changbin's beg.

Tiga menit berlalu diiringi kesunyian. Ia menghela nafas dan membawa piringnya ke dapur, membuang sushi seharga 100.000 won itu ke tempat sampah. Smartphone-nya berdering. Felix berjalan dan mengambil alat komunikasi itu, sudah memikirkan bagaimana menerima ajakan seorang Seo Changbin tanpa terdengar seperti seorang pemuda kesepian yang tidak punya apapun untuk dilakukan saat tahun baru.

It wasn't Changbin who sent him a message. It's Hwang Hyunjin.

*
*
*

- Felix -

Semua berawal ketika seorang bocah berusia enam tahun mencoba menonjol diantara kerumunan manusia. Trying hard to be seen by others. Mencoba menunjukkan apa yang ia miliki. Apa yang diberikan padanya.

Sangat sulit untuk menonjol ketika dunia menempatkanmu di posisi terendah. Sebuah posisi yang tidak bisa kau kendalikan atau kau perjuangkan, karena kau terlahir dengan itu. Privileges.

Sepasang suami istri dengan wajah cerah penuh harapan datang bersama ibu Eunbi. Jantung Felix berdebar kencang ketika mata mereka tidak sengaja bertumbukan. Tetapi hal itu tidak lama, mata mereka segera tertuju pada Minju yang cantik.

Senyum lebar dan bahagia sepasang suami istri yang ditujukan pada gadis kecil itu merobek luka lain di hati Felix. Tapi ia tetap tersenyum, karena Minju bahagia. Karena ia diajari untuk mengasihi orang lain.

Semuanya berawal dari sebuah panti asuhan kecil di Jeonju. Tempat Felix tinggal sejak usianya beberapa jam. Mungkin seorang gadis muda yang membuat kesalahan meninggalkannya dengan penuh penyesalan di depan sebuah panti asuhan bercat putih.

Felix tumbuh menjadi si kecil yang ceria. Ia dibesarkan di sebuah tempat penuh biarawati baik hati. Mungkin itu sebabnya mengapa lebih sulit menunjukkan betapa kecewanya ia setiap kali sepasang orangtua datang dan memilih anak lain. Karena ia harus berbelas kasih. Ia harus menyingkirkan amarah dan rasa iri. Menutupinya dengan rasa syukur karena seorang teman telah mendapat rumah baru.

Felix berpikir bahwa rasa iri hanya akan jauh lebih menyakitinya, jadi ia menahan dukanya dibalik selimut kumal yang membalut tubuh kecilnya. Menutupi kesepian dan air mata karena satu demi satu, teman-temannya pergi.

Ibu Eunbi selalu mengatakan bahwa saatnya akan tiba. Felix hanya berharap waktunya tiba lebih cepat, karena rasanya semakin sakit untuk berpura-pura tersenyum ceria.

*
*
*

- Ayah -

Sementara itu, di Seoul, seorang pria membeku dalam ruang rumah sakit. Memeluk bayinya yang sekarang tidak bernafas. Dia hanya bisa melihat pergerakan dada mutiara mungilnya itu selama beberapa menit, sebelum detak pelan itu berhenti dan pada saat yang sama, ia merasakan dunianya juga berhenti berotasi.

Istrinya terisak, memukul tubuh si suami. Tapi si suami sendiri tidak mampu merasakan apapun. Mereka memiliki segalanya, perusahaan yang stabil, rumah yang megah, dan keluarga yang supportif. Tapi dunia memiliki rencana lain.

Istrinya hancur. Belahan jiwanya itu tidak mau makan ataupun bangkit dari tempat tidur. Seorang relasi memberitahunya tentang sebuah panti asuhan dan untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu ia memiliki harapan.

Mereka tidak punya kriteria tertentu. Anak itu akan menjadi pengganti putra mereka. Tidak lebih dan tidak kurang. Anak itu akan dilingkupi keberuntungan, karena ia bersumpah akan membuat anak itu bahagia. Tidak ada hal yang ia dan uangnya tidak mampu beli. But if anything, the boy he would have chosen...
 
Must be that boy...

Pemuda kecil yang sedang tidur di bawah pohon sembari memeluk gitar mainan. Pria itu merasa seolah seseorang telah mengoyak lukanya yang masih basah dan berdarah ketika ia melihat wajah putranya yang menghembuskan nafas terakhir dalam dekapannya.

Karena bocah itu ... wajahnya yang terlelap, sangat mirip dengan putranya yang telah tiada. Kelopak matanya ... hidungnya ... bibirnya ... Jika ini adalah mimpi ia yakin pemuda kecil itu adalah putranya yang telah tumbuh. Tuhan pasti menyesali perbuatannya karena Dia menunjukkan sosok putranya.

Tapi ini bukan mimpi. Dan da tidak yakin apa yang Tuhan maksudkan dengan semua ini. Jadi ia mendekati si mungil yang sedang bersandar di pohon, angin sepoi-sepoi membelai rambutnya. Ketika ia berjongkok untuk melihatnya lebih dekat, mata  si kecil terbuka lebar. Dan saat itulah ia sadar, ia tidak peduli apa yang Tuhan maksudkan. Pemuda mungil ini adalah putranya.

*
*
*

- Ibu -

Ia mencintai pemuda mungil itu. Si kecil yang mengisi lubang menganga di hatinya dengan sinar matahari dan bunga. The boy was more than she could ask for. Dia baik hati, sopan, ceria, dan penuh kasih. Putra kecilnya adalah malaikat. Seorang putra yang diharapkan setiap ibu dalam doa mereka.

Tapi tidak peduli bagaimana ia mencoba menutupi kekosongannya dengan semua hal baik di dunia ini, ia masih berada di lubang yang gelap itu. Ia masih merasa kedinginan walau cinta Felix menyelimutinya dan itu membuatnya menderita. Ia sampai pada batasnya.

Ia memperhatikan bagaimana raut wajah Felix ketika ia berteriak padanya tanpa alasan. Itu membuatnya merasa ia manusia paling jahat di dunia. Karena apa yang dikatakan suaminya dulu benar, dia terlihat seperti putra mereka yang telah tiada. Mungkin memilih Felix adalah sebuah kesalahan.

Ia mencoba menghentikan kegelapan menggerogoti dirinya, tapi kemudian seseorang berhasil menariknya. Bayinya. Ia mengandung. Butuh waktu setahun setelah mereka mengadopsi Felix. Ia merawat kandungannya dengan hati-hati. It's like being given a second chance. And she won't let the chance slip away from her hands.

*
*
*

Felix menggigit bibirnya. It's an invitation. Ia menghela nafas dan berjalan menuju jendela besar yang memisahkan ruang persegi tempatnya berada dengan dunia luar. Ia menyelipkan tangannya, membuka tirai abu-abu yang menutupi jendelanya sehingga cahaya warna-warni dari kembang api bisa menyelinap masuk. It's been a while.

Felix membiarkan dirinya pergi sesekali. Ia membiarkan dirinya berkata 'fuck it' dan melakukan apa pun yang instingnya katakan. And tonight, it told him to go to the man he broke up with years ago.





TBC

How's? Kedua kalinya nulis angst....aku butuh kritik & saran gaessss>.<

Maaf ya, aku bukannya nyelesaiin tulisanku yang lain tapi malah bikin baru lagi eheeee.....

a place where the sun doesn't shine || hyunlixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang