(3) Berdegup

3 0 0
                                    

Namanya Baskara, laki laki berumur 19 tahun, tinggi sekitar 170 cm, berbadan ideal, dan berkulit sawo matang.

Dia adalah teman SR kakakku dulu, lalu mengapa aku bisa mengenalnya? Jawabannya adalah karena semenjak SR hampir setiap hari disepulang sekolah dia selalu main ke rumahku, kakak bilang, Baskara sama dengan kita dalam arti ia juga tinggal bersama neneknya sementara orang tuanya merupakan orang penting yang tinggal di Jakarta, dari dulu aku mengenal Baskara sebagai sosok yang semangat, sosok yang ceria, sosok yang bawel, sosok yang cerdas, dan sosok yang pantang menyerah.

Dia juga orang yang ramah, bahkan dia adalah satu - satunya orang yang ga mau di panggil 'kang' oleh orang yang lebih muda darinya

"Kamu panggil kang kalau beda umur sama saya lebih dari 5 tahun" katanya

Dia juga orang yang gampang bergaul, buktinya sekarang - sekarang ini dia sudah bergabung kesegala macam organisasi yang ada di Bandung.

Tapi dia juga menyebalkan, iseng dan susah serius, terutama kalau sedang bersama denganku, dia juga gampang tersanjung, dan aku ga bisa ngebayangin kalau dia baca cerita ini, dan tahu kalau disini aku sangat mengaguminya.

Eh~

"Baiklah Rap..."

Rapat yang baru saja mau dimulai oleh Baskara harus terhentikan karena terdapat suara keributan dari depan rumahku, kami semua hening, berusaha mendengarkan hal apa yang sedang terjadi diluar sana.

"Semua perempuan masuk ke kamar! Sebagian laki - laki jaga di pintu belakang, dan sebagian lagi ikut saya kedepan!" perintah Baskara

"Siap" jawab kami semua memakai isyarat mengaggukan kepala

Aku membawa semua perempuan termasuk nenekku yang sedang berada di dapur untuk masuk kedalam kamar, dengan keadaan yang super panik dan super bikin jantungan kita semua bertanya - tanya, apa yang terjadi diluar sana?

"Ada apa laras?" tanya nenek padaku

"Keributan terjadi di luar mak, aku juga tidak tahu"

"aki sedang berada di luar laras! Bersama Pak Sirun membicarakan tentang kemerdekaan negeri ini"

"Mak berdoa dan tenangkan diri, tadi Baskara dan yang lainnya juga pergi keluar untuk melihat keributan" kataku

Entah kenapa, aku bisa menenangkan orang lain tapi tidak bisa menenangkan jantung sendiri, sudah hampir 10 menit jantungku berdegup kencang karena keributan semakin terdengar menjauh dan semakin membuatku khawatir karena tidak bisa mendengar pembicaraan apapun.

*DOR!

Suara tembakan tunggal membelah kesunyian, mengundang prasangka buruk masuk kedalam pikiran, membuat imajinasi menjadi tidak bisa dikendalikan, berkerliaran kearah negatif yang aku benci.
Keadaan semakin mencekam, banyak dari kami yang sudah mulai meneteskan air mata, terutama nenek.

Ditambah kini dari luar kamar, terdengar langkahan kaki mendekat, tempo yang semakin cepat membuat kami menahan nafas semakin lama, bahkan ada yang sampai menutup mulut, atau bersembunyi ke bawah ranjang.

Sementara aku? Entah, aku menyerahkan pada Allah, siapapun yang datang saat itu, jika bangsa sendiri 'alhamdulillah' jika bangsa asing sudah pasti sudah aku lawan semampuku!

*tok tok

Pintu diketuk dua kali
Aku sudah memegang sebuah tongkat kayu dan aku juga sudah sangat siap jika harus memukul kepala seseorang.

*tok tok tok

Tertanam dalam benak ku, ketika pintu yang sudah terkunci ini berhasil dia buka, tanpa hitungan 1 2 3, akan langsung ku hajar dia!

*Tok tok tok tok

Tempo ketukannya semakin cepat dan tergesa - gesa
OK! INI SAATNYA!!!!!!
ARRGH!
Tunggu, suasana menjadi hening dalam seketika
Apa yang terjadi?
.
.
.
"Ras! Apa kau didalam?" panggil seseorang dari luar

Eeeeeehh!

Ini kan suara kakek ku!

Aku buka pintu kamar tersebut, dengan nafas yang terengah - engah

"Eh? Kenapa kau? Sudah lomba lari?" tanya beliau dengan santai

Sebetulnya pengen jawab, iya kek, jantungku yang ikut marathon~

"Kalah hereuy! Ari di payun teh aya naon atuh pa?" tanya nenek ke kakek menggunakan bahasa sunda yang artinya "Malah becanda! Emangnya didepan ada apa?"

Kakek menunjukan senyum lima jari andalannya "Tadi ada tahanan Belanda kabur yang coba mengacau tapi tenang, karena semua sudah bisa dilumpuhkan oleh TRI

" Alhamdulillah, Syukurlah..."

"Lalu yang lain gimana ki?" tanyaku

"Yang lainnya atau Baskara mu?" tanya kakek mengejekku

"Yang lainnya kek..." jawabku, karena apa hak-ku jika menanyakan dia secara khusus jika mengacu pada hubungan kami yang sangat biasa.

"Dia ada diluar, sedang bicara dengan Pak Sirun dan yang lainnya"

"Yang lainnya tidak bisa digambarkan dengan kata 'dia' tapi yasudah lah, apa aku boleh keluar kek?"

"Sepertinya bahasa Indonesia mu semakin baik sekarang" jawab kakek sambil tertawa

"Tunggu saja dia didalam" katanya lagi

"Iih kek-"

Harap - harap cemas, berekspektasi tinggi tentang kebahagian, namun realita pahit yang menyakitkan selalu menjadi jawaban, lelah berharap sampai takut akan bermimpi menjadi musuh kami dalam menghadapi era kemerdekaan ini.

RASA DALAM KARSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang