HUJAN Bulan SEPTEMBER
٠٠
“Hujan mengiringi datangnya bulan September
semoga bukan tanda bumi akan berkabung”
٠٠
Tahun lalu, tepat tanggal 1 September kejadian pilu dan menyakitkan terjadi, sesuatu yang tidak pernah aku bayangakan akan menimpa kepada dua sahabatku yang bernama Ratih dan Dewi.
Jelas dan masih terbayang, kedua sahabatku yang gugur karena berusaha menolong seorang remaja netherland yang hidup sendiri disebuah gubuk kecil dipinggir sawah, kepergian yang sadis, yang tidak manusiawi, yang tidak adil, yang biadab, yang direnggut oleh penjajah keji, yang tidak menyadari bahwa kematian adalah urusan ilahi, bukan milik siapapun untuk disudahi.
''
“Aku akan pergi ke gubug Hellena bersama Dewi untuk mengirim makanan, kau mau ikut Laras?” tanya Ratih ketika bertemu denganku dijalan, waktu itu aku mau pergi menengok Baskara yang sakit perut karena terlalu banyak makan mangga muda, sungguh penyakit yang sangat merakyat.
“Engga deh rat, dew, aku salam aja ke Hellena” kataku, oh iya Hellena adalah gadis asli netherland yang lahir dan tinggal di negeriku, alasannya sudah jelas yaitu ikut orang tuanya menjajah negeri orang, sampai akhirnya saat ini ketika bangsanya sudah tidak bisa berkutik lagi, ketika semua keluarganya sudah direnggut, ia tinggal sendiri disebuah gubug kecil dipinggir sawah tidak terlalu jauh dari pusat kota, aku pernah bertemu dengan Hellena satu kali, tapi walau satu kali menurutku dia merupakan sosok perempuan yang ramah terlebih untuk seorang netherland, mungkin ia bisa bisa menjadi teman yang baik, asal kita tidak mengingat penyebab dan apa yang sudah bangsanya lakukan kepada negeri ini.
“Baiklah, akan aku sampaikan” kata Ratih
Masih terbayang bagaimana langkah Ratih dan Dewi pergi meninggalkanku, masih terbayang bagaimana senyuman mereka, dan cara mereka mengucapkan selamat tinggal kepadaku, selamat tinggal yang tidak kusangka akan menjadi ‘selamat tinggal untuk selamanya’.
Selanjutnya aku pergi melanjutkan perjalanan ke rumah Baskara yang tidak terlalu jauh dari rumah ku, sepanjang jalan situasi berjalan seperti biasa saja, kegentingan yang wajar, dan pengawasan yang biasa dilakukan oleh para Nippon, tidak ada yang aneh atau mengagetkan sampai…
“Kunci rumah! Jepang sedang membabi hutan!” teriak Kang Arif sambil berlari dan masuk kedalam rumah Baskara.
“BABI BUTA!” bentakku, Baskara, Ani, Herman, Kakek dan Nenek Baskara.
“cenah jurnalis!” Baskara ngedumel
“Ih ASLINA! Tadi ada 3 orang yang baru saja dipenggal kepalanya” jawab Kang Arif
Sampai disitu aku masih belum sadar atau bahkan kepikiran kalau yang menjadi korban pemenggalan adalah teman – temanku sendiri, tapi mungkin Baskara sudah menyadari sesuatu.
“Tiga – tiganya perempuan seumuran sama laras kayanya mah, kalo ga sal-“
“Tidak perlu dilanjutkan kang, mari kita doakan saja” kata Baskara yang memotong omongan kang Arif “Berdoa dipersilakan…”
KAMU SEDANG MEMBACA
RASA DALAM KARSA
Short Storytugas mengarang cerita bahasa indonesia waktu taun maren, dari pada dianggurin jadi di aplot disini. . . . *CMIIW*