5.Luka tak berdarah.

57 8 3
                                    

Seminggu sudah berlalu, namun sejak saat Ara tahu kenyataan bahwa Iannya ingin menikahi Ana kakaknya, ana terus begini.

Diam.

Menangis.

Merenung.

Tertawa.

Ara merasa bodoh, Ara sangat merasa bodoh, seharusnya Ara belajar dari kesalahan bebrapa teman temanya, seharusnya Ara tak memberikan mahkotanya kepada Rian, Ara membenci dirinya sendiri.

"Bella," suara ini yang selalu mengganggu Ara di sela menangisinya.

"Makan dulu ya bell," Ari mengetuk pintu dan berucap berkali kali.

"Ini sudah hari ke lima, besok pernikahan mereka, mereka bahagia? sedangkan aku? Mereka bahkam tidak sedikit pun memikirkan atau mengkhawatirkan ku hiks," tangis Ara pecah, dia sungguh merutuki kebodohannya.

Dia bodoh!

Bodoh!

Bodoh!

Dia terlalu mempercayai Iannya, dia terlalu mencintai Iannya dan ia terlalu bodoh!

"Bell, buka pintunya ya, Bella kuat, Bella gak pernah nangisin hal hal yang nggak penting, kalau dia ninggalin Bella, berarti dia gak pantes buat Bella,"

Bagaiman ara  tidak menangis?

Kehormatannya telah tiada, dia di tinggalkan dan lebih parahnya Rain menikahi makanya sendiri.

Sebodoh itu kah Ara, secinta itukan dia sehingga tidak bisa melihat cinta Rian kepada kakaknya Ana.

Benar kata Rian, Ara terlalu  mengejarnya, ara terlalu berharap lebih darinya, seharusnya Ara sadara,! Seharusnya Ara tidak membutakan matanya sendiri.

Seharusnya! Seharusnya!

Ara membutuhkan bantuan!

Sekarang...

Ara berjalan gontai, tidak makan terlebih menangis membuat dirinya lemah dan kantung mata yang menghitam, matanya merah dan membengkak, Ara memperihatinkan.

Cklek.

Ara memutar knock pintu dan mendapati Ari yang tersenyum miris melihat dirinya, sudah dua hari Ara menangis dan tidak mau membukakan pintu untuknya, tapi Ari akan tetap sabar demi Bellanya.

Tanpa aba aba Ara memeluk Ari, Ari yang tidak siap akan pelukan itu pun Tanoe sengaja menjatuhkan nampan dan memecahkan piring dan gelas kaca yang ada di atasnya.

Ara terus menangis dan memeluk Ari dengan erat, tanpa sadar Ara menggesekkan kakinya ke pecahan pecahan kaca, luka itu berdarah, tapi ntar mengapa untuk sekarang rasanya tidak menyakitkan, tidak ada rasanya.

Tapi kenapa?

Kenapa luka yang tidak berdarah ini jauh terasa lebih menyakitkan, rasanya seperti ara ingin mati saja saat ini, Ara mati rasa karenanya.

Benar kata orang, berbahagialah secukupnya, karna jika kau terlalu bahagia, banyak yang tak terduga juga akan terjadi.

"Bella mau mati aja ndo" Ari terkesiap dan melepaskan pelukannya secara paksa.

Ari menatap marah Ara " jangan pernah katakan itu bella!"

Ara menatap kosong "Bella gak sanggup kalau ada di sini terus, besok mereka menikah, lalu hidup bahagia, sedangkan Bella? Bella akan menderita Ando, bela akan mati perlahan, apa bedanya kalau mati sekarang?" Ara mulai kacau.

Sehancur inikah?

Ari menggeleng dan memeluk Ara "kita akan pergi sebelum mereka menikah," Ara menggeleng pelan.

"Bella mau kemana lagi, selama ini cuma nenek yang jadi tempat larinya Bella, nenek udah gak ada," lirihnya.

"Kita bakalan pergi ke rumahnya Ando, ke rumah mama Lea sama papa Rio, mereka juga keluarga Bella, mereka juga sayang Bella," jelas Ari.

"Tapi, apa mereka mau nampung Bella?" Ara mengadah ke atas menatap mata Ari.

Ari mengangguk pasti "pasti, Bella kan juga anaknya mama sama papa," Ari menjawab dengan raut keyakinan yang jelas terlihat untuk menyakinkan Ara.

Ara mengangguk "sekarang Ando anter Bella pulang buat siap siap dan susun barang ya, malam ini juga kita pergi,"

"Tapi perusahaan Ando gimana?"

"Itu gampang, bisa diatur, yang penting kita pergi oke," Ari menangkap pipi tirus Bella.

Begitu sampai di rumahnya, Ara di suguhi pemendangan yang menyayat hatinya.

Ini kah yang di sebut LUKA TAK BERDARAH?

Di hadapannya Terlihat Rian dan Ana yang tertawa bahagia, begitu pun dengan kedua orang tuanya.

Dia bagaikan angin lalu yang tak terlihat, dia tak dianggap dan diabaikan.

Miris memang,

Seharusnya dari dulu Ara sadar, seharusnya dari dulu dia pergi, bukan nya sekarang, di saat hatinya sudah sehancur hancurnya.

Selesai mengemasi barangnya, Ara terdiam dan menangis sejadi jadinya, beginilah suratan takdirnya, beginilah nasipnya?

Ara memukul dadanya kuat, sesak ini kenapa tidak mau pergi, kenapa harus sangat terasa sekali, Ara membenci dirinya yang lemah, Ara membenci dirinya ini, Ara benci segalanya.

"Mungkin ini yang terbaik," lirihnya.

Ara mengambil handphone nya dan menghubungi Ando "hallo" sapanya.

"Sudah?" Ando bertanya.

"Hmm, rumah udah sepi, Ando dimana?" tanya Ara.

"Udah di depan, buruan gih, jangan bawa barang banyak banyak, seperlunya aja, sisanya beli aja di Singapore nanti," jelas Ando.

Tanpa menjawab, Ara mematikan telpon dan menggeret kopernya keluar, suasana sepi, rumah sudah di hias dan tinggal menunggu pagi, dia tidak akan melihat kehancurannya.

Dia pergi.

Selamat tinggal Ara,

Hallo hy bye bye...
Selamat malam semuanya.
Jangan lupa vote dan komennya ya.
I love you💙

Rabu, 02 September 2020
21.03

A Story' by:

Amita's sibreta💙

  
                             Luv💙

InnaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang