Bab 1: Pesan WhatsApp di Malam Takbiran ✔

71 3 0
                                    

23 Mei 2020

(Randi, usia 22 tahun)

Malam takbiran kali ini berbeda, tidak ada kunjungan rumah ke rumah dan tidak ada pawai. Adanya pandemi ini mengharuskan manusia harus bisa menjaga diri.

Benar, malam takbiran kali ini berbeda. Ada satu hal lain lagi, muncul sebuah pesan WhatsApp.

"Bismillah. Assalamu'alaikum, Ran. Ini Rire."

Aku mendadak tidak karuan. Selama empat tahun dia menjauh dariku, hilang kabar. Kini ia menyapaku, pukul 21:42.

"Wa bismillah. Wa'alaikumussalam. Kabarnya gimana sekarang? Baik?" balasku. Sumpah demi Allah, aku merasa bermimpi bisa berbalas pesan dengannya. Malam itu kami melakukan obrolan yang cukup panjang. Inilah malam takbiran yang kukatakan berbeda.

[]

Aku pernah salah, menjadikan luka yang mengecewakan. Dengan pesan itu, Rire mengaku butuh waktu selama empat tahun untuknya agar bisa sembuh. Iya, empat tahun setelah kami sudah berjalan masing-masing. Selama itu pula perasaanku padanya masih tetap sama, kukira Allah sudah menetapkan demikian.

Di sisi lain, aku merasa lega, kami seakan teman lama yang baik-baik saja. Kuhargai usahanya yang berjuang sembuh dari patah hati, sama seperti aku.

Kudengar ia juga semakin lihai menulis. "Dari patah hati awal jadi sukses. Atas izin Allah, aku bisa nulis terus," begitu katanya. Ia juga berkata bahwa ia sedang menulis novel, yakni novel tentang kami. "Ran, kalau suatu saat aku kirim novel ini ke penerbit, apa boleh? Insya Allah bisa dibukukan," katanya meminta izin.

"Iya, boleh. Supaya bisa dibaca anak-cucu kelak, selagi kita berdua sama-sama rida dengan cerita itu," jawabku. Ia lalu membalas dengan kata alhamdulillah disertai emotikon senyum lebar. Aku yakin ia bahagia mendapat izinku barusan. Sama seperti waktu kebersamaan kami dulu, apa pun yang ia sukai, aku selalu mendukungnya.

[]

26 Mei 2020

Setelah tiga hari obrolan kami terjadi, tiba malam itu ia berkata, "Ran, aku mau ngomong sesuatu. Tentang chat kemarin, aku takut dosa khalwat. Rasanya apa yang kita obrolkan udah terlalu jauh. Pesannya juga udah kuhapus. Kita bukan mahram, nggak seharusnya seperti itu."

Aku baru bisa membalas pesan itu satu jam kemudian karena malam itu aku sedang pindah rumah. "Afwan, ini juga mau aku bahas," ucapku terus terang. Aku lalu menjelaskan padanya bahwa aku merasa aneh dengan diriku sendiri. Setelah empat tahun terakhir, aku berusaha menjaga diri terhadap perempuan yang bukan mahramku. Lalu ketika ia mengirim pesan WhatsApp di malam takbiran itu, aku justru begitu berani, seakan aku kembali seperti diriku yang dulu, padahal aku sudah memutuskan untuk hijrah, beralih pada Islam yang sebenarnya, menjaga adanya batasan.

Malam itu kami benar-benar membahasnya, hingga kami memutuskan untuk berpisah baik-baik. Tidak lagi berkirim pesan, tidak lagi memberi kabar.

Kukatakan padanya, "Afwan ya, Re. Aku juga udah yakin, kalau berjodoh, insya Allah aku akan datang ketemu orangtuamu. Baik atau nggaknya kamu untukku, baik atau nggaknya aku untukmu, Allah yang lebih tahu itu."

Dia membalas, "Pisah yang baik-baik insya Allah dikasih jalan yang baik juga nanti ketemunya."

"Semoga Allah mudahkan. Itu aja, kan? Nggak ada lagi? Semoga Allah menjagamu."

"Doanya untukmu juga. Iya, itu aja. Oke, dah. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Saat datang mengucap salam, saat pergi juga mengucap salam, maka kali ini kami berpisah lagi. Berpisah dengan cara yang Allah ridai. Aku yakin semua skenario Allah adalah yang terbaik, untukku dan juga untuknya.

Setelah ini, aku akan mengajak kalian memutar waktu, agar kalian paham makna kesalahan yang pernah kuperbuat bersamanya dulu. Kuharap kisah kami bisa menjadi pelajaran yang dapat kalian ambil.

[]

Salahku Menempatkan Cinta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang