Bab 6: Hati yang Mudah Terbolak-balik ✔

15 2 0
                                    

Oktober 2014

Randi semakin hari terlihat berusaha menyapa Rire di sekolah. Meski ruang kelas mereka berjauhan, keduanya bisa saling memberi senyum. Tentu Randi berusaha untuk lebih dekat dengannya, apalagi teman-temannya tanpa henti menawarkan bantuan. "Nanti kami kirimin salam!" muncul juga tawaran lainnya, "nanti kami minta nomornya!"

Randi merasa lucu dengan sikap teman-teman yang antusias membantunya. Adapun usaha Randi yang ingin meminta nomor Rire adalah dengan melambaikan tangannya dari jauh, lalu membentuk jari kanannya seperti bentuk telepon sebagai isyarat. Rire yang memahami hal itu justru menggeleng, ia belum mau memberikan nomornya. Itu terjadi sekian kali.

Randi memberi isyarat dari jauh, "Ke-na-pa?"

Rire tersenyum sambil menjawab dengan cara yang sama, "Nan-ti."

[]

Bohong bila Rire tidak terpikirkan tentang Randi. Bagaimana tidak, setiap hari ia selalu saja menerima kiriman salam dari teman-teman Randi dan selalu dimintai nomor telepon. Padahal Rire sendiri sudah berniat untuk menjaga jarak dengan laki-laki. Berbagai pengalaman cinta seringkali membuatnya patah hati. Itu sebabnya ia ingin berubah. Saat pergi ke sekolah, Rire pasti berwudu lebih dulu untuk menjaga diri, hingga mulai terbiasa. Itu juga menjadi alasan mengapa Rire sampai saat ini belum mau memberikan nomor teleponnya pada Randi.

[]

Tiba saat ujian tengah semester, Rire yang saat itu hendak menuju koperasi sekolah dihadang oleh Luna dan beberapa junior lainnya. Rire mengenali Luna karena merupakan juniornya sewaktu SMP. "Kak, minta nomor Kakak, dong!"

Rire tentu kaget. Ia dikerumuni secara tiba-tiba dan dimintai nomor telepon. "Untuk apa?" tanyanya.

"Mau kasih ke Randi!" jawab Luna blak-blakan.

Rire mengusap dahinya, ia merasa bingung. "Nanti aja, ya," jawabnya sambil tersenyum.

"Yah, Kakak. Kasih sekarang, ya?" ujar Luna. Siswi lain di sebelah Luna juga ikut membujuk, "Ayolah, Kak. Bantu kami, ya."

Rire merasa tidak bisa kabur dari kerumunan mereka, maka ia pun menyetujui apa yang mereka minta. Luna kemudian menyadari bahwa ia hanya membawa pulpen di sakunya dan tidak ada kertas untuk menulis. "Sini, Kak," kata Luna menyerahkan telapak tangannya, "tulis di sini aja."

"Ya ampun, harus tulis di tangan, Na?"

"Iya, Kak. Nggak apa-apa. Buruan, Kak."

Tidak jauh dari situ, Randi lalu melewati mereka. Ia tidak sadar bahwa Rire ada di sana. Luna yang melihat kedatangan Randi segera menghampiri. "Pas banget kamunya lewat sini! Nih, kami berhasil dapatin nomor Kak Rire," ungkapnya sambil menampakkan telapak tangan yang sudah tertulis nomor telepon.

Randi sejenak memandang Rire yang masih mematung di tempat, ia kemudian beralih memandang Luna lagi. "Nggak percaya," ucapnya.

Luna menggerutu, "Ih, beneran! Barusan ketemu kok sama Kak Rire. Ini tulisan dia."

Randi memandang Rire lagi sekilas. Ia benar-benar butuh bukti. Luna dengan gemas lalu menarik paksa buku matematika yang sedang dibawa Randi. "Ya udah kalau nggak percaya, aku minta ulang lagi!"

Salahku Menempatkan Cinta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang