Calista merasa sekujur tubuhnya membatu ketika Revan menyebut nama Renata. Dia benar, Revan sudah mengetahuinya dan itu semakin membuat Calista merasa takut. Revan memang terlihat santai di kesehariannya, tetapi jika dia sudah marah, Calista sulit sekali bisa terbebas dari amarah Revan. untuk itu, Calista mengalihkan tatapannya, tidak ingin menatap Revan.
"Aku marah," gumam Revan lagi. Namun, Calista sedikit mengernyit ketika merasakan Revan menyentuh jemarinya, mengusapnya lembut. "tapi untuk saat ini, kesehatan kamu lebih penting."
Calista menatap Revan kembali.
Revan sedikit merunduk, mengecup dahi Calista lembut dan lama, kemudian mengusap bekas kecupannya dengan jemari. "Aku mencintai kamu dan juga seluruh hal yang kamu miliki, Cal," bisiknya lirih. "perubahan apa pun dalam diri kamu, nggak akan mengubah rasa cintaku. Kamu boleh percaya atau nggak, tapi yang pasti, aku nggak akan pernah meninggalkan kamu untuk alasan apa pun. Nggak akan pernah, Cal."
Kedua mata Calista membendung telaga yang terlihat jelas. Bahkan ketika dia mengerjap pelan, telat itu berubah menjadi tetesan air mata yang membuat hati Revan semakin tersenyum melihatnya.
Revan benar-benar marah ketika menemukan banyak sekali foto Renata di ponsel Calista, apa lagi setelah mendengar penjelasan dari Akbar di telefon mengenai Calista yang sempat meminta bantuan darinya mengenai diet. Lalu, ingatan Revan beralih pada gelagat Calista yang cukup berbeda selama Revan berada di Makassar.
Calista jadi lebih sering menghubunginya melalui video call, mengiriminya pesan dan menanyakan Revan berada di mana. Hampir setiap jam Calista melakukan itu. Tadinya Revan mengira kalau Calista sangat merindukannya, sungguh, Revan menyukai hal itu. Tapi, ketika saat ini dia mengetahui alasan di balik sikap Calista yang berbeda, hatinya benar-benar hancur.
Nyatanya masa lalu mereka belum benar-benar bisa menghilang dari hidup Calista. Bahkan selama ini, sepertinya masa lalu itu terus membayangi Calista tanpa Revan sadari.
"Van, maaf..." isak Calista. "aku–"
"Sshhtt," kepala Revan menggeleng pelan. Dia menyeka air mata Calista lembut. "kita bicarakan nanti, setelah kamu sembuh."
"Tapi–"
"Nanti, Cal." tegas Revan hingga pada akhirnya, Calista mengangguk berat.
Satu tangan Calista terangkat ke atas untuk mengelus rambut hingga wajah Revan. "Kamu temenin aku di sini, ya." Pintanya.
"Hm."
"Nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa."
"Kerjaan kamu?"
"Aku minta Vania yang urus."
Calista mengangguk pelan, "Kangen kamu." Bisiknya lembut.
Revan tersenyum tipis, lalu kembali merunduk untuk mengecup bibir Calista lembut. "Aku juga." Balasnya berbisik.
***
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, Calista kembali pulang ke rumah dan di kejutkan oleh seorang asisten rumah tangga yang mulai Revan pekerjakan di sana. Namanya Bu Salma, sebelum ini Bu Salma sempat bekerja di rumah salah satu kerabat Revan yang saat ini sudah pindah ke luar negeri.
Saat Bu Salma memperkenalkan diri, Calista hanya tersenyum kaku dan menatap Revan bingung. Namun Revan hanya berterima kasih pada Bu Salma sebelum membawa Calista masuk ke kamar mereka. Anak-anak masih berada di rumah Omanya dan baru nanti sore akan di antar pulang oleh Bima.