Masih pukul setengah dua belas malam, namun Revan sudah pulang ke rumah bersama Calista yang mabuk berat. Revan bahkan berdecak berkali-kali ketika berusaha membantu Calista turun dari mobil. Sejak tadi Calista selalu saja terkikik geli, entah menertawakan apa. Bahkan saat ini pun, Revan harus membantunya berjalan karena kalau tidak, istrinya itu akan melangkah ke arah yang salah.
"Kok pintunya aneh sih, Yang..." kekeh Calista. Revan mendengus malas. "Muter-muter, duh, pusing..."
"Gimana nggak pusing, kamu minumnya nggak kira-kira!"
"Minum? Mau... aku haus..."
"Ck!"
"Minum lagi boleh nggak, Yang? Minuman yang di kasih Adrian tadi enak..."
"Nggak!"
Revan mengeluarkan kunci rumah dari sakunya, tubuh Calista yang tidak bisa berdiri tegak hampir saja terjerembab ke lantai kalau saja Revan tidak kembali menahan tubuhnya. Revan menghela napas berat, menyandarkan punggung Calista pada pintu, lalu mengamati wajah istrinya yang tampak memerah sempurna.
Seharusnya Revan tahu, membawa Calista ketika dia sedang hangout bersama sahabatnya adalah hal yang konyol. Para sahabatnya itu tidak ada yang waras. Bahkan tadi, Adrian meracik minuman khusus untuk Calista, membuat Calista tertawa seperti orang bodoh di sepanjang perjalanan pulang.
Dan kini, Calista terlihat benar-benar memprihatinkan dengan wajah memerah dan senyuman konyol yang terus menerus tersungging di bibirnya. Revan mengamati wajah Calista, hingga beberapa saat dia mulai tersenyum geli. Jujur saja. Calista terlihat sangat lucu ketika mabuk. Dia senang meracau dan selalu saja tertawa dengan suara merdunya yang membuat Revan mau tidak mau ikut tertawa.
Melihat Revan tersenyum, Calista melingkarkan lengannya di leher Revan, menariknya mendekat hingga ujung hidung mereka saling bersentuhan. "Aku suka..." bisik Calista.
"Hm?" satu tangan Revan memeluk pinggang Calista lembut.
Calista mengerjap lambat, bibirnya tersenyum sangat manis hingga Revan betah menatapnya berlama-lama. Jemari Calista juga tidak mau diam, meremas rambut Revan lembut ketika dia memiringkan wajahnya. "Berada ditengah-tengah sahabat kamu. Ikut kamu ketemu sama mereka." Calista memberikan kecupan lembut di bibir Revan yang tentu saja membalas kecupan itu. "aku pikir... selama ini kamu malu..."
"Nggak," jawab Revan sambil tersenyum tipis dan mengeratkan pelukan mereka.
Calista mengangguk-angguk dengan cara yang menggemaskan. Sungguh, Revan benar-benar menikmatinya.
"Sering-sering begini, ya, Van..." Calista kembali tertawa. "boleh kan, aku ikut sama kamu lagi?"
"Boleh," jemari Revan mengusap lembut pipi Calisa. "tapi nggak boleh mabuk lagi."
"Mabuk?" ulang Calista dengan wajah mengernyit. Lalu dia menggeleng kuat. "nggak... aku nggak mabuk, Van..." racaunya.
Revan mendengus pelan meski bibirnya masih tersenyum.
"Kamu nggak percaya?" Calista menggelengkan kepalanya lagi, lalu dia melepaskan sentuhan Revan dari tubuhnya. "lihat nih, ya." Calista mulai melangkah, namun baru dua kali melangkah, dia sudah kembali akan terjerembab ke bawah.
"Tuh, kan." Rutuk Revan.
"Jangan pegang... aku bisa jalan sendiri, Yang..." protes Calista. "itu tadi lantainya tiba-tiba gerak sendiri. Makanya aku mau jatuh."