Revan melilitkan handuk di pinggangnya. Dia baru saja selesai mandi. Begitu sampai di rumah, Revan segera bergegas mandi karena merasa luar biasa gerah sedangkan Calista mengurus anak-anak. Acara lamaran Bima berjalan lancar dan kedua belah pihak sepakat jika tiga bulan mendatang pernikahan mereka akan dilaksanakan.
Revan tidak banyak memberi masukan mengenai pernikahan Bima, dia hanya membicarakan mengenai bisnis pada adiknya itu. Revan tahu, bisnis Bima berjalan sangat baik, tapi menurut Revan akan lebih baik lagi kalau Bima mulai terjun dalam bisnis perusahaan keluarga mereka.
Pengeluaran ketika belum menikah dan setelah menikah jelas berbeda, Revan ingin Bima memberikan hal yang terbaik untuk keluarganya sendiri nanti. Maka itu, Revan berusaha membujuk Bima agar mau berkecimpung di dalam bisnis keluarga.
Dan yang Bima katakan hanyalah nanti, gue pikir-pikir dulu.
Revan sudah akan beranjak keluar dari kamar mandi saat dia menemukan sebuah benda yang tak lazim di atas wastafel. Benda itu tergeletak begitu saja di sana hingga Revan mengambilnya dan menatapnya lama.
Revan mengerjap. Dia tahu benda apa itu, tahu juga kegunaannya dan cara kerjanya. Namun, ini kali pertama dia menyentunya dan ketika menemukan sesuatu di sana, tiba-tiba saja Revan merasa pikirannya mendadak kosong, kedua matanya hanya terpatri pada garis di benda itu.
Mengerjap dengan wajah datarnya, Revan bergegas keluar dan mencari Calista.
"Yang!" teriaknya. Dia tidak menemukan Calista di ruang televisi maupun ruang tengah. Di dapur juga begitu. Maka itu, Revan melangkah lebar menuju kamar anak-anak. "Yang, ini–"
"Ssshhhuuttt!" desis Calista sambil memelototi Revan, satu telunjuknya berada di depan bibirnya. Anak-anak yang tadinya sudah berbaring dan terpejam kembali membuka mata dan duduk menatap Revan. "sshh... Azka tidur lagi ya, sayang..." ujar Calista lembut sambil menepuk-nepuk pantat Azka.
"Ayah..." rengek Azka karena sudah melihat Revan di sana.
"Tuh, kan." Rutuk Calista menatap Revan sebal.
Namun kini suaminya itu malah menghampirinya dengan langkah tergesa-gesa. "Kamu hamil?" tanya Revan langsung. Calista mengerjap terkejut, apa lagi ketika Revan memerlihatkan tespek di tangannya. "ini... garisnya dua." Ujarnya lagi.
Calista mengerjap dua kali, menatap Revan dan tespek itu bergantian dan teringat mengenai tespek itu. Mungkin karena sibuk mengurusi lamarannya Bima, Calista sampai lupa mengenai kehamilannya dan bahkan lupa memberitahu pada Revan.
"Ibu hamil?!" sahut Dimas dengan suara terpekik.
"Hamil?" bahkan Azka pun turut melakukannya meski setelah itu kepalanya menoleh pada Dimas dan dia mengerjap lucu. "hamil itu apa?"
"Hamil itu artinya di perutnya Ibu ada adik bayinya." Jawab Dimas penuh semangat.
"Adik bayi? Aka adik bayi, tapi kan nggak di pelut ibu."
"Bukan... bukan Azka, tapi ada adik bayi yang lain."
Azka mengernyit bingung, menggaruk kepalanya tidak mengerti.
"Cal?" tegur Revan lagi. Wajahnya terlihat sangat penasaran.
Sementara itu, Calista yang sejak tadi mendengar percakapan kedua anaknya hanya tersenyum-senyum geli. Kemudian, dia menarik Azka mendekat, meletakan telapak tangan Azka di perutnya. "Di perutnya Ibu ada adik bayi, adiknya Azka. Nanti, kalau adiknya udah lahir, ada yang panggil Azka Abang."