Bab 1. Siapa dia?

115 37 24
                                    


Rasa gusar mulai menyelimuti kepala seorang pemuda. Entah sudah berapa kali bola matanya melirik selembar kertas bernoda hitam di tangannya. Ia sendiri pun lupa. Sampai saat ini, sama sekali belum menemukan titik terang. Lelah? Ya. Kakinya mulai terasa lelah dan pegal. Bagaimana tidak? Sudah hampir kurang lebih dua jam dia berjalan mencari alamat yang akan dituju.

Dan lihat! Dia belum menemukan tanda-tanda petunjuk yang diberikan. Ingin rasanya ia mengumpat. Sungguh menyebalkan. Susah sekali menemukan alamat ini, pikirnya. Entah pada siapa dia harus bertanya. Sementara sejauh mata memandang, tak seorang pun menunjukkan batang hidungnya.

"Huh, apakah tempat ini tidak berpenghuni?" Gerutunya pada diri sendiri. Bagaimana tidak? Di sana terdapat rumah. Walaupun bisa dibilang masih sangat jarang. Setidaknya, salah satu dari bangunan itu ada pemiliknya, bukan? Tidak seperti saat itu yang kelihatannya tidak ada tanda-tanda kehidupan. Membuatnya semakin kesal.

Dengan enggan, ia melangkahkan kakinya lagi untuk kesekian kalinya dan berharap akan segera berakhir.

DEGG!!!

Baru saja melangkah, ada sesuatu mendarat di pundaknya. Tengkuknya meremang, pompa jantungnya bekerja lebih cepat dari biasa, dan bisa saja ikatannya akan lepas jika cara kerjanya bertambah dua kali lipat.

Ia tak tahu apa itu, kepalanya tidak bisa berpikir dalam situasi seperti itu. Apa mungkin... Tidak, jelas-jelas ia sudah memastikan tidak ada tanda-tanda mencurigakan di sekitar.

Kegelisahan mulai menguasai seluruh tubuh, bulu kuduk juga semakin menjadi-jadi. Ia benci suasana seperti itu. Ingin rasanya untuk berlari sekencang-kencangnya tanpa harus mengetahui sesuatu itu.

Oh, tidak. Kedua kakinya tidak bisa diajak bekerja sama. Jangankan untuk berlari, digerakkan barang seinchi saja dia tidak mau. Sial, apa yang harus ia lakukan?

Mau tidak mau ia harus memastikan. Keringat dingin mulai keluar dari persembunyiannya. Dipejamkam kelopak mata sembari mengatur nafas sedatar mungkin. Dan, ya. Ia mencoba menggerakkan kepala ke samping. Membuka mata perlahan. Ditautkan kedua alis setelah mengetahui sesuatu yang mendarat beberapa detik yang lalu. Heran bercampur takut.

Tangan? Tapi milik siapa? Apa mungkin dia berjalan sendiri tanpa ada pemiliknya? Banyak pertanyaan berkecamuk di kepalanya.

'Kumohon, hentikan semua ini. Aku berjanji tidak akan berbuat ulah lagi, asal hentikan suasana yang sangat kubenci ini,' ratapnya dalam hati.

Ya, ia menyadari jikalau sering berbuat ulah. Hanya sekadar memberi tahu saja, ia paling tidak bisa tinggal diam walau hanya sedetik. Itu akan membuatnya bosan, sangat bosan. Jadi, ia melakukan apa saja dengan sekitar dan seringkali berbuat ulah untuk mengusir rasa bosan.

Seperti halnya saja saat berada di rumah. Menurutnya diam di rumah sangatlah membosankan. Ia sering memutar musik sekencang-kencangnya tanpa mempedulikan orang rumah yang berteriak untuk menghentikan kelakuannya karena sangat mengganggu. Ia tidak peduli, bahkan sangat tidak peduli. Baginya apa pun akan dilakukan asal bisa membuat pikirannya senang meski orang-orang di sekitar merasa terganggu.

Semua terjadi setelah kehangatan rumah telah direnggut oleh keegoisan orangtuanya. Tanpa mempedulikan adanya dirinya yang masih membutuhkan kehangatan rumah. Jadilah ia yang sekarang.

Ia tampak menelan saliva dengan susah payah. Keadaan itu membuat tenggorokannya kering yang amat sangat seperti berada di gurun sahara.

"Apa yang sedang nak muda cari?"

Setidaknya kalimat itu yang sempat didengar oleh inderanya. Suaranya sedikit berat dan dipaksakan. Ia membalikkan tubuh secara sempurna ke arah datangnya sumber suara.

HUJAN KEMARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang