Perpisahan

18 19 3
                                    

Setiap karya mempunyai arti tersendiri bagi penciptanya. Bisa dikatakan karya adalah ungkapan isi hati yang terpendam. Di mana si pencipta menumpahkan isi dalam hatinya melalui karya-karya yang ia buat. Setiap isi hati yang bersatu dengan pikiran dalam satu waktu akan membuahkan hasil yang begitu sempurna, menyiratkan makna di setiap sentuhan tanpa harus diucapkan melalui kata-kata.

"Itu milikmu?" tanya Saka yang masih memeluk Mentari, namun matanya tertuju pada selembar kertas di samping Mentari.

Mentari menurunkan kedua tangannya, lalu meraih kertas yang Saka maksud. Diperhatikan isi kertas itu sebelum menjawab pertanyaan pria itu.

"Sebentar."

Mentari hendak membuka mulut saat Saka mengangkat bahu beranjak menuju sebuah meja di dekat jendela. Diambil semua kertas yang berserakan di atasnya dan kembali ke tempat di mana Mentari berada.

"Apa semua ini milikmu?" tanyanya lagi setelah kembali duduk di sebelah Mentari sembari menunjuk lembaran-lembaran di genggamannya.

"Ya, itu semua milikku. Ada apa?" tanya Mentari heran memperhatikan wajah Saka yang sulit diterka.

Pria itu melihat lembaran demi lembaran dengan serius. Ia menunggu jawaban yang keluar dari mulut Saka, kedua bola matanya tak melepas penglihatannya memperhatikan pria itu serta beberapa kertas di tangannya secara bergantian.

"Bukankah ini gaun pengantin?" Alih-alih menjawab, Saka kembali melontarkan pertanyaan pada Mentari yang semakin dibuat heran. Jelas-jelas gambar itu gaun pengantin, kenapa pria itu masih bertanya.

"Kau tahu, gaun-gaun ini sangat indah. Bagaimana kau bisa membuatnya?"

"Tidak perlu berlebihan, aku hanya membuat apa yang ada dalam kepalaku saja dan kurasa di luar sana masih banyak yang lebih bagus dari ini," jawab Mentari.

"Kau terlalu merendah. Dengar, design yang kau buat ini cukup bernilai, apalagi jika kau membuat gaun yang sesungguhnya. Aku yakin banyak yang tertarik dengan rancanganmu," tutur Saka begitu antusias.

Tergambar senyum tipis pada wajah Mentari. "Kau yakin?" tanya Mentari dengan alis terangkat sebelah. Ia sedikit tidak mempercayai lelucon pria itu. Bagaimana mungkin gaun seperti itu bisa bernilai? Sedangkan modelnya saja sangat biasa, tidak ada yang istimewa. Bahkan ia yakin semua orang bisa membuat yang sama persis seperti miliknya. Apakah tidak ada kata lain untuk memujinya, yang lebih masuk diakal misalnya.

"Aku sangat yakin, modelnya memang sederhana tapi terlihat begitu elegan. Kau tahu, di jaman sekarang ini banyak calon pengantin yang mencari gaun sederhana, simple namun tetap terlihat elegan. Dan kau punya semua itu," tutur Saka menjelaskan sedikitnya perkembangan design saat itu.

Mentari dibuat termenung mendengar ucapan Saka, entah apa yang ia pikirkan. Jemari tangannya meraba kertas yang sedari tadi digenggamnya. Wajahnya berubah muram, tatapan matanya terlihat sayu ketika memperhatikan rancangannya.

Saka yang membaca perubahan pada Mentari sedikit khawatir.

"Kau baik-baik saja?" tanya Saka. Ia sedikit panik saat Mentari tidak menggubris pertanyaannya. "Hei, kau dengar aku?"

Mentari  terkesiap, mendengar suara Saka. Apakah ia baru saja melamun? Ada apa dengan dirinya.

"Ya, kau bilang apa?" Kata Mentari gugup.

"Kau melamun?"

"Tt, tidak. Aku tidak melamun, aku hanya......ahh,mungkin pendengaranku sedikit terganggu," tampik Mentari membenarkan beberapa helai rambutnya yang sempat menutupi telinganya.

"Tidak usah mengelak, aku tahu kau bohong. Wajahmu itu sangat kentara sekali kalau kau memang melamun. Kau tidak pandai dalam membohongi seorang Saka. Lagi pula sejak kapan pendengaranmu bermasalah, apa perlu aku buktikan?" kata Saka mendekat pada telinga Mentari bersiap mengeluarkan suaranya.

HUJAN KEMARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang